Peluang dan Bisnis Media di Tengah Gempuran Media Sosial

Media masih mempunyai peluang besar di tengah banjir media sosial

pixabay
Media masih mempunyai peluang besar di tengah banjir media sosial. Ilulstrasi media sosial
Rep: Fauziah Mursid Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Perkembangan media siber di Indonesia di era digital saat ini membutuhkan dukungan berbagai aspek mulai dari perbaikan kualitas jurnalisme digital, ekosistem media, dan kapasitas bisnis yang sehat. Optimisme saja tidak cukup bagi pengelola media siber dalam menghadapi perubahan situasi industri media saat ini, baik disrupsi digital maupun pandemi Covid-19.  

Baca Juga

Hal itu merupakan salah satu hasil studi riset Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bertema “Lanskap Media Digital di Indonesia: Menyambut Tantangan dan Peluang Digital untuk Media Online Lokal” yang diluncurkan pada Kamis, (29/7) kemarin. 

Dalam riset yang melibatkan 100 media lokal di 21 wilayah AMSI yang tetap bertahan di era digital, menggambarkan responden dari industri media siber ini optimistis dengan perkembangan industri media ke depan. Namun demikian, optimisme para responden belum didukung dengan kemampuan memadai untuk menghadapi perubahan situasi industri media saat ini.

"Modal mandiri yang tidak besar, perangkat analitik yang sederhana, pemasukan kurang maksimal dan perencanaan bisnis ke depan yang juga terbatas adalah kondisi kondisi yang dihadapi oleh para responden di berbagai wilayah," ujar Periset Utama sekaligus Dosen Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto saat paparan.

Ignasius mengungkapkan, salah satunya terkait dengan transformasi digital, ada sekitar 88 persen responden di Jakarta yang optimistis dengan situasi saat ini. Sedangkan tingkat optimisme di daerah dari pengelola media lokal sebanyak 79,7 persen. 

Namun, media harus melakukan inovasi, dan 19 persen yang lain merasa bahwa industri media masih memiliki masa depan yang cerah.

"Inovasi diyakini para responden sebagai salah satu jalan, ketika kita tanya apa kunci sukses media siber,  di Jakarta bahwa 28 persen inovasi teknologi penting, kemudian 24  persen kualitas jurnalistik, yang ketiga 20 persen itu peluang iklan bisnis," ujarnya.

Sedangkan, gambaran media lokal di luar Jakarta juga tidak berbeda jauh dalam menilai kunci sukses media yakni pada inovasi teknologi, kualitas jurnalistik, dan terkait dengan iklan.

Untuk inovasi, media siber di Jakarta menilai interaktif dengan media sosial merupakan sesuatu yang penting dengan persentase 24 persen,  lalu pengembangan teknologi untuk menyebarkan berita dan 20, 4  persen dan juga membangun sistem berlangganan lewat dompet digital.

Sementara di luar Jakarta, situasinya juga lebih tinggi yakni interaktivitas dengan sosial media itu dipercaya 28,3 persen responden. Kemudian terkait teknologi untuk menyebarkan berita ada 23 persen dan sistem berlangganan itu 10,7 persen. 

Temuan dalam riset lainnya juga terkait jumlah karyawan yang melek teknologi. Dari pengelola media siber di Jakarta sebanyak 25 persen responden menyebut persentase karyawan yang punya kemampuan teknologi hanya 50 persen dari total karyawan.  

 

Terdapat 25 persen responden lainnya yang mengaku persentase karyawan yang punya kemampuan teknologi dalam perusahaan sudah mencapai 100 persen. Sedangkan  sisanya 16,7 persen responden mengaku baru 40 persen saja dari total karyawan dalam redaksi yang melek teknologi.

"Sedangkan kondisi ini untuk media di luar Jakarta, 20,8 persen pengelola mengaku bahwa 50 persen karyawannya melek dengan teknologi, dan hanya 15,1 persen yang mengaku 80 persen karyawannya melek teknologi,"  katanya.

Ignatius juga mengungkap harapan lain responden terkait peran pemerintah dalam mengangkat industri media di masa mendatang. Antara lain dengan mendorong perusahaan platform digital bekerjasama dengan media, meminta potongan pajak dan memberi iklan pemerintah ke media. 

Namun demikian, ketergantungan yang cukup tinggi kepada pemerintah, khususnya melalui iklan  menjadi dilematis tersendiri bagi media. Ada 31,4 persen responden di Jakarta dan di luar Jakarta sebanyak 29,8 persen, yang mendorong peran keterlibatan Pemerintah, melalui pemberian iklan. 

"Ini ada kecenderungan dengan iklan pemerintah yang bisa menimbulkan pertanyaan terkait dengan independensi media," ujarnya. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dhyatmika, mengatakan riset lanskap media online Indonesia diperlukan sebagai data awal (baseline) untuk menyusun langkah strategis mendukung pengembangan media online di Indonesia. 

Dia mengatakan, transisi pengelolaan media konvensional menuju media digital tidak dapat terelakkan lagi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak problem yang dihadapi dalam pengelolaan media digital mulai dari kapasitas manajemen bisnis, pemahaman jurnalisme sampai eksekusi menghasilkan produk berkualitas. 

Karena itu diperlukan intervensi program yang tepat untuk mengatasi kesenjangan antara gagasan dan realitas. 

"Langkah tersebut diperlukan sekaligus sebagai upaya untuk menyehatkan media digital, perbaikan kualitas jurnalisme dan penguatan civil society. Harapannya dengan media yang sehat percakapan di ruang publik akan lebih sehat,"  katanya  

Senior Rule of Law Government Relations Advisor USAID, Dondy Setya, mengatakan media menghadapi kondisi yang cukup berat. Ini karena kehadiran media sosial mendominasi pendapatan iklan (revenue), kehadiran influencer individu di platform media sosial, maraknya mis-disinformasi dan rendahnya literasi publik, yang mengancam kepercayaan masyarakat terhadap media.  

 

“Peluncuran riset ini diharapkan dapat memberi wawasan terbaru untuk menjawab pertanyaan eksistensial peran kritikal media beberapa tahun ke depan, khususnya media di daerah. Ini bentuk Dukungan USAID agar media tetap dapat menjalankan peran pentingnya,” ujarnya.

 
Berita Terpopuler