Dekade Setelah Revolusi Tunisia dan Mantan Milisi ISIS

Ketidakpuasan pada pemerintah dn ekonomi labil mendorong warga bergabung dengan ISIS.

AP Photo/Moncef Tajouri
Dekade Setelah Revolusi Tunisia dan Mantan Milisi ISIS. Demonstran melempari polisi di Kota Ennour dekat Kasserine, Tunisia, Rabu, 20 Januari 2016. Tunisia memberlakukan jam malam akibat protes yang meluas.
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Mantan milisi Mohamed bergegas menaiki tangga rumahnya. Sampai di rumahnya, ia mengenang sebuah foto yang menampilkan Mohamed muda dengan janggut tebal dan panjang, mengenakan tunik, dan taqiyah.

Baca Juga

Di foto itu ia baru saja tiba di Sanli Urfa, kota yang diyakini sebagai tempat kelahiran Nabi Ibrahim. Setelah beberapa panggilan telepon, dia bertemu dengan pria yang merekrutnya beberapa bulan sebelumnya saat dia masih di Tunisia.

Pria itu membawa Mohamed menuju Deir ez-Zor, Suriah pada musim gugur tahun 2014. Mohamed yang berusia 29 tahun itu resmi bergabung dalam kelompok ISIS.

Tunisia adalah negara pengekspor milisi terbesar di dunia. Menurut PBB, pada 2016 lebih dari 5.500 warga negara berusia antara 18 dan 35 tahun telah bergabung dengan organisasi militan di Suriah, Irak, dan Libya termasuk ISIS dan afiliasi Alqaidah, Jabhat al Nusra.

Hingga saat ini, sekitar 1.000 milisi telah kembali ke Tunisia dari berbagai zona konflik. Dari jumlah tersebut, 800 orang berada di penjara dan 200 orang telah dibebaskan di bawah pengawasan pengadilan.

Banyak dari mereka seperti Mohamed yang melakukan radikalisasi pada tahun-tahun awal Musim Semi Arab. Sekarang ia tinggal di rumah sederhana di Kalaa Kebira, Sahel Tunisia.

Mohamed menjelaskan semua dimulai dari pahlawan revolusi Tunisia, Mohamed Bouazizi. Pedagang kaki lima yang berusia 26 tahun itu membakar dirinya sendiri pada 17 Desember 2010 di depan Balai Kota Sidi Bouzid. Dia mengorbankan dirinya sebagai ungkapan protesnya terhadap korupsi dan ketidakpedulian pemerintah.

“Gerakannya adalah tanda protes, tangisan putus asa, dan seruan untuk perubahan,” ujar Mohamed.

 

Tindakan tersebut memicu aksi protes yang berkembang. Protes melanda seluruh negeri dan dalam beberapa pekan menyebabkan jatuhnya Diktator Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali. Setelah itu, terjadi transisi demokrasi yang diikuti dengan janji keadilan, pembangunan, dan reformasi.

Namun, kombinasi dari kekacauan dan pengabaian setelah revolusi membuat sedikit perubahan. Harapan warga memudar karena ketidakpedulian pemerintah.

Perekonomian semakin tidak stabil dan rasa ketidakpuasan semakin tumbuh. Ini menyebabkan hubungan antara pemerintah dan warga semakin renggang.

Kekosongan politik dan sosial ini dimanfaatkan oleh propaganda para milisi salafi untuk membentuk asosiasi baru, mengumpulkan dana, dan terlibat dalam kegiatan dakwah. Dalam waktu kurang dari tiga tahun, kelompok militan Tunisia Ansar al-Sharia yang didirikan pada April 2011 dan setia kepada Alqaidah dan ISIS merekrut lebih dari 70 ribu anggota.

Pada saat pemerintah mendeklarasikannya sebagai kelompok teroris pada 2013, mereka telah menyusup ke komunitas lokal dan memanfaatkan rasa frustrasi masyarakat terhadap pemerintah. Selain mengutuk tindakan sekularisme di Tunisia, kelompok itu juga mempromosikan visinya menentang dunia dan berperang atas nama ISIS di Suriah dan Irak. Mohamed bergabung dengan milisi di Suriah dalam upaya memperluas negara Islam.

Pertempuran terus terjadi sehingga menewaskan banyak orang. Kontradiksi doktrin ISIS dan kerasnya pertempuran memengaruhi Mohamed dan ia segera mengakhirinya.

“Saya masih percaya pada Negara Islam dan kembalinya bentuk murni Islam tapi tidak mengotori tangan Anda dengan darah. Tidak memenggal kepala, menyiksa, dan memperkosa,” ucap dia.

Pada musim panas 2015, Mohamed kembali ke Tunisia. Dia segera ditangkap dan didakwa sebagai anggota kelompok teroris. Dia menghabiskan lima tahun di penjara Mornaguia, penjara terbesar di Tunisia selama 60 bulan dengan 47 orang lainnya. Banyak mayat tak dikenal yang ditumpuk di atas satu sama lain di ruang yang suram dan sempit.

 

Beberapa kali sehari, terjadi penyiksaan verbal dan fisik. Pasal 23 Konstitusi baru Tunisia yang disetujui pada 26 Januari 2014 dan diberlakukan pada 10 Februari di tahun yang sama melarang adanya penyiksaan moral atau fisik. Nyatanya, penyiksaan terus terjadi.

Dilansir New Lines Magazine, Kamis (29/7), Presiden Union of Independent Tunisians for Freedom (UTIL) yang bekerja pada pencegahan radikalisasi dan ekstremisme Moez Ali mengatakan pusat penahanan memiliki peluang besar untuk perekrutan para milisi. “Mereka yang masuk untuk mencuri atau menjual narkoba tanpa kecenderungan agama tertentu, memiliki kemungkinan besar mendekati Islam paling radikal dan menjadi milisi melalui osmosis internal. Risiko ini telah diketahui pihak berwenang setidaknya sejak awal 2000-an,” kata Ali.

Selama tahun penahanan yang panjang, khususnya para tahanan muda mulai dipengaruhi oleh milisi veteran Irak, orang-orang Tunisia yang telah bergabung dengan kelompok militan untuk mempertahankan dar al-Islam, wilayah Islam dari orang-orang kafir.

UU No. 75 tanggal 10 Desember 2003 di bawah Eks Presiden Tunisia Ben Ali ditujukan untuk melawan terorisme dengan hukuman lima sampai 12 tahun penjara. Pada 2011, itu telah digunakan untuk menahan 3.000 tersangka teroris, banyak dari mereka dihukum berdasarkan bukti yang diambil melalui penyiksaan.

Sebuah undang-undang pascarevolusi yang disahkan pada 25 Juli 2015, meningkat dari enam menjadi 15 hari bagi tersangka untuk diinterogasi di tempat rahasia tanpa kontak dengan dunia luar. Peneliti Institut Studi Strategis Tunisia (ITES) Fakhreddine Louati mengatakan masalah sebenarnya adalah kurangnya strategi jangka panjang pemerintah yang ditargetkan dan fungsional.

Kurangnya penjara khusus dengan sistem manajemen khusus, larangan komunikasi antarnarapidana, tidak adanya program deradikalisasi, pendidikan ulang, dan reintegrasi sosial menjadi faktor alasan utama dibalik masalah ini. Menurut laporan ITES, 90 persen jihadis di penjara dan pengikut baru mereka memiliki keinginan yang tak terpadamkan untuk membalas dendam. Bukannya merehabilitasi, sistem itu semakin mempersempit cakrawala mereka dan mengubah jalan mereka menjadi radikal.

https://newlinesmag.com/reportage/sacred-terror-in-secular-tunisia/

 
Berita Terpopuler