Nasabah yang tak Bisa Bayar Utang dalam Telaah Fikih

Perbankan telah menjadi salah satu pilihan masyarakat ketika mencari dana pinjaman.

johndillon.ie
Utang/ilustrasi
Rep: Andrian Saputra Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Perbankan telah menjadi salah satu pilihan masyarakat ketika mencari dana pinjaman. Ada nasabah yang bertanggung jawab atas utangnya. Namun tak sedikit juga yang justru tak mampu melunasi utangnya.

Baca Juga

Alhasil aset-aset nasabah yang mempunyai utang pun disita pihak bank. Akan tetapi bagaimana bila aset yang disita juga tak mampu menutupi utang? Sedangkan nasabah sudah jatuh miskin. Apakah nasabah bisa dibebaskan dari utangnya? Bagaimana penjelasannya dalam fiqih Islam?

Pakar fiqih yang juga sekretaris bidang Perbankan Syariah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Ustadz Muhammad Maksum menjelaskan dalam hukum Islam secara prinsip seseorang yang berutang harus membayar utangnya lunas. Ketika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki utang maka harta warisannya harus terlebih dulu dipergunakan untuk melunasi utang. 

Lebih lanjut ustaz Maksum menjelaskan utang bisa dalam bentuk meminjam uang atau dalam sebagai sisa pembayaran jual beli cicilan yang belum lunas atau belum dibayarkan. Ketentuan utang piutang dalam syariat Islam di antaranya juga mengatur bahwa orang yang berutang harus membayarkan dengan nominal yang sama jumlahnya. Sementara pemberi utang tidak boleh meminta tambahan dana atau menerapkan bunga kepada yang berutang. 

 

 

 

Ustaz Maksum menjelaskan berdasarkan hukum di Indonesia utang piutang melalui lembaga keuangan seperti perbankan didasarkan atas perjanjian yang dibuat. Pihak bank sebagai pemberi utang dan nasabah sebagai yang berutang akan terlebih dulu menandatangani perjanjian pinjaman dana.

Umumnya orang yang berutang akan dimintai jaminan sebagai pembayaran utang semisal rumah, kendaraan, surat-surat berharga dan lainnya. Jaminan semisal itulah yang digunakan sebagai pembayaran ketika nasabah yang berutang tidak bisa membayar. 

"Sehingga misalnya kalau nasabah tidak bisa membayar maka bank akan melakukan eksekusi penjualan jaminan di mana hasil penjualan jaminan itu digunakan untuk membayar sisa utang yang tersisa. Kalau ada kelebihan dari jumlah penjualan atau hasil penjualan jaminan dengan nilai utang maka kelebihannya itu harus dikembalikan kepada nasabah. Kalau masih ada kekurangan maka di dalam hukum perjanjian itu tetap akan dimintakan kekurangannya tersebut," kata ustaz Maksum kepada Republika beberapa hari lalu. 

Ustaz Maksum yang juga dosen di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan utang piutang akan hapus bila terjadi tiga hal. Pertama, sudah dilunasi. Kedua, perjumpaan utang. Maksudnya nasabah memiliki utang kepada perbankan namun juga memiliki piutang kepada pihak ketiga. Maka setelah dipertemukan, piutang nasabah kepada pihak ketiga dialihkan untuk melunasi utang pada perbankan.

Atau ketiga, utang bisa hapus bila perbankan sebagai pemberi utang melakukan penghapusan (write-off) utang nasabah tersebut. Maka dari sisi hukum positif, menurut ustaz Maksum seseorang yang berutang dalam hal ini kepada perbankan konvensional maka harus dilunasi semua utangnya termasuk bunganya. Karena hal tersebut berdasarkan perjanjian yang dibangun berdasarkan pembiayaan.  

 

 

 

Sementara itu dalam fiqih Islam mengenal pemberian kemudahan bagi orang yang kesulitan dalam melakukan pembayaran utang. Di mana perbankan akan memberikan perpanjangan waktu pelunasan sehingga cicilan utang dapat lebih terjangkau.   

 

"Dalam hukum Islam dikenal istilah do' wataajal yaitu apabila seseorang yang berutang kemudian tidak mampu membayar utang maka hukum islam menganjurkan untuk diberikan kemudahan. Kemudahan itu misalnya diperpanjang waktu utangnya sehingga jumlah cicilan bulanannya kecil. Di dalam hukum islam juga dikenal mengikhlaskan, sebenarnya di dalam hukum positif juga berlaku seperti itu. Jadi kalau nasabah tidak mampu bayar itu biasanya akan dilakukan restrukturisasi yaitu dengan melakukan perubahan utang misalnya waktunya ditambah sehingga cicilannya berkurang itu namanya rescheduling atau restructuring yaitu merubah perjanjian baru dengan skema-skema  yang baru," katanya.

 
Berita Terpopuler