Ekonomi Syariah adalah Ekonomi Kerakyatan

Mengapa ekonomi dan bank syariah menjadi sangat penting dalam pembangunan nasional?

Republika/Aditya Pradana Putra
Ekonomi Syariah dan Perbankan Syariah: Teller bank syariah sedang menghitung uang nasabah (ilustrasi)
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID.

Oleh Euis Amalia, Ketua Prodi S3 Perbankan Syariah FEB UIN/Dewan Pakar MES dan Arief Rosyid, Komite Pemuda MES

Perjuangan untuk mengembangkan ekonomi Syariah bukan semata-mata alasan “bunga” tetapi sistem ini dipandang sebagai pilihan dari suatu sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif dan predatori ke dalam sistem ekonomi yang lebih menekankan etika dan moral yang tujuannya untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bagi rakyat. 

Ekonomi Syariah memiliki nilai-nilai yang sejalan (compatible) dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Demokrasi ekonomi menghendaki adanya suatu sistem ekonomi yang bertumpu pada rakyat, di mana rakyat berada di posisi utama dan substansial bukan di posisi marginal. 

Demokrasi ekonomi menghendaki adanya keadilan ekonomi dan ini sangat sejalan dengan nilai moral Islam. Ekonomi Islam telah mendapat tempat dalam konteks Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas. Mengutip Sri Edi Swasono dalam bukunya Ekonomi Islam dalam Pancasila, 2009. sebagai berikut: 

“Umat Islam Indonesia seharusnya mensyukuri adanya Pasal 33, 34, dan 27 (ayat 2) UUD 1945 yang sangat Islami ini, di mana Hatta adalah advocator utamanya, yang menempatkan nilai-nilai dan perjuangan Islam dapat secara strategis memperoleh posisi imperative-konstitusionalnya…”

Pasal 33 UUD 1945 dengan demokrasi ekonominya adalah dasar yang tepat bagi pelaksanaan sistem ekonomi syariah. “…Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang…” “…Kemakmuran bagi semua orang…” Dalam konteks demokrasi ekonomi di mana pengutamaan kepentingan masyarakat diprioritaskan, kedudukan masyarakat berada di atas kedudukan individu. 

Manusia individu adalah makhluk sosial atau homo socius. Meskipun kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang namun kepentingan dan hak-hak warga negara orang-seorang dihargai dan dihormati dan tidak boleh diabaikan semena-mena. Kepentingan orang-seorang warga negara harus dapat diselaraskan dengan kepentingan bersama di dalam suatu kehidupan kolektif. 

Demokrasi ekonomi sebagai inti dari pasal 33 UUD 1945 menegaskan, penolakan atas individualisme (asas perseorangan yang mengutamakan self interest atau kepentingan indivdu orang-seorang, mengabaikan kebersamaan). 

Sebaliknya demokrasi ekonomi Indonesia berdasarkan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhwah) yang mengutamakan kepentingan masyarakat. 

Implementasi dari makna ini adalah setiap aktivitas ekonomi, membangun usaha, membentuk badan-badan usaha maka harus selalu membawa serta rasa bersama, gotong royong, maju, dan makmur bersama. Di sini perlu diberlakukan makna partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi. 

Oleh karena itu perlu dikembangkan ide prinsip tentang Triple Co, yaitu Co-Ownership (ikut pemilikan bersama), Co-Determination (ikut menilik dan menentukan kebijakan perusahaan), dan Co-Responsibility (ikut serta bertanggung jawab bersama).

Implementasi konsep Triple Co ini dapat dilihat pada beberapa kasus antara lain: Di kota kelahiran Soekarno, Blitar, terdapat sebuah Koperasi Susu Jaya Abadi. Sebuah Koperasi yang mampu bertahan di masa pandemi melalui usaha bersama para anggotanya. 

Mereka mampu berproduksi hingga 170 ton liter susu yang siap dipasok untuk pengolahan susu komersial seperti Ultra dan Nestle. 

Koperasi ini mampu memberdayakan sekitar 6.000 kepala keluarga petani dan peternak yang tersebar di tujuh kabupaten/kota sekitar Blitar. Proses gotong royong dan kerja sama dimulai sejak pagi hari dengan proses penghantaran dan dilanjutkan sore hari. Setelah itu disetor dan diproses, selanjutnya dibawa ke Jawa Barat. 

Kisah menarik lain, dapat dilihat melalui desa binaan Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan pembiayaan syariah, klaster peternakan kambing dan domba, yaitu Desa Kedarpan, Purbalingga, Jawa Tengah dan klaster peternakan sapi di Desa Jati, Trenggalek, Jawa Timur. 

Keguyupan warga desa yang bahu membahu membangun perekonomian perdesaan terlihat nyata, sehingga berdampak sangat luas.

Demikian juga sejumlah komunitas usaha kecil mikro telah banyak yang meraih sukses dengan pembinaan melalui sejumlah koperasi yang berbasis syariah atau lebih dikenal sebagai BMT “Baitul mal wa at Tamwil”. 

Kemitraan bank syariah seperti BSI ini dapat dilakukan bersama sejumlah koperasi syariah untuk linkage program pembiayaan bagi kelompok usaha kecil mikro dan juga pengembangan industri halal yang saat ini sangat didorong oleh pemerintah. 

Selain soal pembiayaan syariah untuk penguatan kelompok usaha kecil, yang tidak kalah pentingnya adalah peran para pendampingan yang diberikan oleh mereka yang berpengalaman dalam menggerakkan usaha masyarakat tersebut.

Proses pemberdayaan melalui pendampingan ini dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan sangat menentukan keberhasilan kemandirian ekonomi masyarakat. 

Tentu saja selain itu dilakukan aksi memfasilitasi dan memberikan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi, misalnya dengan membuka akses pasar. Pendampingan penggunaan sosial media seperti instagram, facebook, youtube untuk akses pemasaran bahkan hingga pemanfaatan market place.

Di berbagai tempat selain permodalan, aspek pemasaran ini menjadi persoalan yang juga krusial bagi para pengusaha kecil. 

Hal-hal kecil yang dimaknai sebagai konsep gotong royong semacam itulah yang justru dapat menghasilkan output yang luar biasa. Berbagai kisah sukses di atas semakin mengukuhkan bahwa proses pendampingan sangat efektif bagi upaya pemberdayaan masyarakat yang berdampak bagi naiknya kapasitas produksi dan  peningkatan pendapatan. 

Konsep ini telah mengakar lama dan menjadi kekayaan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Indonesia. Konsep gotong royong inilah yang menjadi “sharing the pain” dan diimplementasikan dengan baik di lapangan.

Keterpaduan aspek ekonomi dan sosial tersebut senantiasa perlu dipacu lagi untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dikelola secara bertanggung jawab. 

Tak ketinggalan peran negara lewat pemerintah dalam memastikan gotong royong ini berlangsung sempurna dari bawah ke atas, dari masyarakat hingga pemerintahnya. Kemampuan mengarahkan proses pembangunan di mana rakyat harus diposisikan utama atau subtansial buka residual apalagi marginal. 

Berbagai contoh inisiatif yang dijelaskan di atas, dan tentu saja cerita dari berbagai sudut Indonesia lainnya yang sesungguhnya menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan apa yang sesungguhnya telah lama kita miliki dengan gotong royong tersebut. 

Tentu, setelah merefleksikan kita perlu menyusun berbagai langkah yang terukur untuk melakukan “lompatan demi lompatan kemajuan”, meminjam apa yang diharapkan Presiden Jokowi.

 
Berita Terpopuler