Kisah Batavia Sebagai Kota Budak

Pada masa kolonial perbudakan di Batavia adalah hal umum terlihat

Google.com
Kastil of Batavia. Ini sebutant kota Batavia (Jakarta sekarang) di masa lalu. Tampak tembok kota yang kini telah dirobohkan dan suasana asri kawasan yan berada di luar tembok kota tersebut.
Red: Muhammad Subarkah

JAKARTA -- Batavia itu kota koloni Belanda yang penuh legenda. Berbagai sebutan baik dan buruk sudah dikenal dan disematkan pada kota yang kini bernama Jakarta itu. Ada sebutan mewah sebagai kota kanal seperti Venicia Asia, ada juga panggilan sebagai kota indah alam tropika di dunia. Dan ada juga sebutan buruk, misalnya kota sarang nyamuk dan penyakit, kota gundik, hingga kota budak.

Dalam tulisan kali ini kita kisahkan soal Batavia sebagai kota budak. Dan ini dengan mengacu pada gambaran beberapa lukisan kuno yang tersimpan di museum Belanda. Sebagian tulisan ini berasal dari 'Journal Of Historian Of Netherlandish Art yang berjudul: Dutch Hierarchy of The Dutch Colonial City (Hirarki Belanda Kota Kolonial Belanda). Tulisan ini karya Marsely L. Kehoe.

Tulisan itu begini:

Di latar depan luksan kastil Batavia (The Castle of Batavia pada 1661) di atas yang merupakan karya Andries Beeckman, tampak seorang pedagang berpakaian Eropa berjalan-jalan di pasar dengan istri Eurasia di lengannya. Sementara di belakanya tampak seorang pelayan kecil berjuang untuk memegang payung di atas kepala mereka.

Payung ini dimaksudkan di satu sisi untuk melindungi mereka dari sinar matahari tropis yang keras, dan di sisi lain berfungsi sebagai simbol status, aspek yang digarisbawahi oleh kehadiran pelayan.

Pada tahun 1647, penanda status seperti itu telah dilarang untuk semua kecuali pejabat tertinggi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), yaitu gubernur jenderal dan dewannya – yang lain hanya dapat menggunakan payung jika memegangnya sendiri.

Orang Batavia Belanda , bagaimanapun, seperti pedagang dalam lukisan Beeckman itu, terus menunjukkan kekayaan dan status mereka melalui pakaian dan perilaku yang mencolok, sehingga mengacaukan ekspresi peringkat sosial yang tepat. Pejabat tinggi VOC dan pengamat belakangan menganggap perilaku ini sangat tidak Belanda.

Tampilan seperti itu melanggar kesopanan sosial dan merusak kohesi dari populasi minoritas Belanda yang mengkhawatirkan di antara beragam etnis di kota itu.

Tulisan ini akan berargumen bahwa pemerintahan VOC sebenarnya lebih menyukai penguatan kontrol Belanda yang lebih halus yang dapat dicapai melalui struktur hierarki lingkungan binaan kota kolonial ini.

Keterangan foto: Lukisan karya Andries Beeckman, Kastil Batavia, pada tahun 1661.

 

Warga Belanda Batavia adalah kelompok kecil, diliputi oleh populasi Cina, India, Indonesia, dan budak yang lebih besar.

Untuk mendominasi kelompok-kelompok ini, orang-orang Batavia Belanda menghadapi tuntutan yang kontradiktif: untuk tampil sebagai kelompok Belanda yang kohesif dan secara kultural. Dan secara teori ini bermaksud menghindari pamer status yang mencolok, namun pada sisi lain tetap ingin memaksakan dominasi mereka atas kelompok lain.

Ketegangan ini dalam praktiknya menyebabkan tampilan status yang mencolok melalui kostum, perilaku, dan akumulasi rombongan besar budak pribadi. Tampilan ini termasuk adopsi simbol lokal, seperti payung, di samping praktik yang lebih akrab bagi penduduk Eropa, seperti pemakaian tekstil halus dan perhiasan dan perlengkapan gerbong.

Berbagai gubernur jenderal Hindia Belanda memperkenalkan semacam kode kesopanan atau yang dikenal sebagai kode sumptuary selama periode perusahaan (1619-1795). Ini tujuannya sebagai upaya untuk mengatur perilaku ini.

Untuk sebagian besar, kode-kode ini hanya mengizinkan masyarakat Batavia Belanda yang paling atas, gubernur jenderal dan keluarganya, dan kemudian beberapa perwira tinggi, untuk menunjukkan statusnya. Penduduk Belanda yang tersisa ditolak tanda-tanda utama prestise. Dan pada dasarnya aturan ini untuk meratakan hierarki dalam penduduk Belanda, dan secara teori mengarah ke kohesi sosial yang lebih.

Kebutuhan akan undang-undang ini, dan pengulangan serta penerbitannya kembali, menunjukkan bahwa orang Batavia Belanda terus-menerus melanggar peraturan ini. Mereka tetap bertindak di atas status mereka dan di luar norma-norma sosial Belanda tersebut.

Keterangan foto: Lukisan komandan Armada Homeward-Bound, pada 1640–60. Lihat mereka berjalan bergandengan dengan isteri Eurosia dengan dipayungi budak dari kalangan pribumi.

Selain dua lukisan itu ada bukti lukisan lain mengenai suasana maraknya budak di Batavia. Lukisan di bawah ini adalah lukisan yang bertajuk Aelbert Cuyp's The Commander of the Homeward-Bound Fleet, dilukis antara tahun 1640 dan 1660..

Pada lukisan itu menunjukkan seorang komandan Belanda, mungkin Jakob Martensen, dan istrinya, berdiri di atas bukit dengan pemandangan pelabuhan Batavia dengan latar belakang benteng di tengah.

Tampak gaun sederhana dari pasangan ini lebih sesuai dengan harapan orang Belanda tentang kesopanan daripada pedagang Beeckman yang sombong dan bahkan di sini pasangan itu sudah melanggar aturan tahun 1647., yakni tetap saja melarang payung yang dipegang oleh pelayan (budak). 

Penampakan payung dalam potret yang ditugaskan ini berfungsi sebagai penanda keunggulan Batavia. Terlepas dari apakah Martensen dan istrinya benar-benar berjalan di sepanjang kanal Batavia dengan seorang pelayan di belakangnya, tampaknya mereka ingin digambarkan melakukan hal itu untuk secara lahiriah menegaskan dominasi mereka dengan masyarakat pribumi.

Keterangan foto: Lukisan Jacob Coeman, Pedagang Senior Batavia Pieter Cnoll, Istri dan Putri Eurasianya dan Budak Domestik, pada tahun 1665.

Contoh ketiga dari lukisan yang menentang kesopanan sosial tradisional Belanda yang menggambarkan pedagang senior Pieter Cnoll juga memag terlihat. Dalam lukisan yang dibuat pada tahun 1665 jelas menegaskan gambaran potret dia, istrinya, dan dua putri mereka yang disertai  dua budaknya.

 

 

Dan kemudian di Batavia, pada tahun 1680 keluar kode atau aturan yang melarang perhiasan yang diarak di depan khalayak: seperi mutiara pada para wanita serta kancing dan gesper emas ala Pieter.

Kehadiran para pelayan juga menandakan status tinggi Cnoll, meskipun mereka hanya mewakili sejumlah kecil dari lima puluh budak yang dimilikinya.

Lalu kemudian, pada tahun 1754, seperangkat undang-undang yang paling luas muncul di Batavia. Aturan ini beruapa  “Tindakan untuk Mengekang Kemegahan dan Keadaan'. Kebijakan ini menetapkan standar mulai dari kostum kuda pelatih hingga jenis bantal yang dapat digunakan dalam kereta untuk prosesi pemakaman.

Kode ini juga menetapkan berbagai denda untuk pelanggaran aturan: semakin rendah kelas dan status etnis, semakin tinggi denda.

Keterangan foto: Seorang budak asal Bali di Batavia - (google.com)

Jean Gelman Taylor menulis tentang kode-kode ini dalam volumenya tentang hubungan sosial di Batavia abad kedelapan belas, menyatakan bahwa kode tahun 1680 adalah tentang "membawa praktik ke dalam kebiasaan Belanda.

Sementara kebijakan atau kode yang terbit pada tahun 1754 dan lainnya itu untuk menandai Batavia sebagai sebuah koloni. Ini juga sekaligus menegasan bila mereka telah meninggalkan kepura-puraan sebagai orang Belanda.

"Saya berpendapat bahwa perilaku yang mendorong pembentukan kode sumptuary dianggap bermasalah bukan karena tidak Belanda, tetapi untuk mengungkap sifat hierarkis masyarakat Batavia,'' tulisnya.

Sementara beberapa manifestasi dari prestise ini dipinjam dari penduduk lokal. Ini semacam sebuah keasyikan bagi orang Batavia Belanda atas posisi sosial meski ornamen budaya prestise ini tidak unik dalam lingkungan wilayah kolonial ini.

  

 

Sebaliknya, suasana Batavia kala itu malah mengungkapkan hierarki yang melekat pada masyarakat Belanda baik di dalam maupun di luar negeri pada abad ketujuh belas. Beberapa penampilan status yang terkait dengan praktik lokal—seperti payung—adalah di Batavia saat itu hal biasa sebagai cermin masyarakat kolonial.

Kooptasi simbol-simbol lokal terbukti efektif baik untuk menegaskan dominasi maupun memperumit peran pihak luar penjajah. Penjajah memiliki kecemasan yang sama tentang mempertahankan kontrol seperti penguasa pribumi yang menunjukkan bentuk ritualistik yang sama.

Namun berbeda dengan orang Belanda, para penguasa pribumi status mereka saat itu sangat lemah dalam kaitanya dengan hubungan populasi yang lebih besar di Batavia dan di seluruh kawasan Hindia Timur.

 Adanya penegasan dominasi itu sendiri menyebabkan ketidaknyamanan bagi penjajah Belanda. Dan cara ini  nagi Belanda  malah semakin menegakkan hierarki  untuk menyembunyikan dominasi mereka.

Maka tanpa disadari ini juga memantik sehingga perpecahan sosial  yang itu dilakukan melalui regulasi terbuka. Sebaliknya, lingkungan binaan Batavia dimaksudkan untuk melakukan pekerjaan membentuk populasi kota yang beragam menjadi semakin mempunyai hierarki yang  hanya melayani kebutuhan kolonial.

Keinginan untuk menghindari tanda-tanda dominasi yang jelas ini berkontribusi pada reputasi Belanda yang tidak layak pada periode VOC itu. Mereka disebut sebagai pedagang yang adil, bukan penjajah, yang bertentangan dengan kekuatan kolonial Eropa lainnya.

Bentuk Batavia sendiri, yang dibangun mengikuti prinsip-prinsip perencanaan kota Belanda abad ketujuh belas tertentu, pada awalnya sebenarnya pun hanya dibuat untuk melayani kepentingan VOC dengan mengatur masyarakat Batavia ke dalam hierarki yang dipimpin oleh Belanda.

Kota ini, yang dipenuhi dengan bangunan bergaya Belanda (terlihat di latar belakang lukisan Beeckman dan Cuyp di atas itu), memberikan pernyataan identitas Belanda yang dapat dikenali dan meyakinkan bagi segmen atas masyarakat Batavia, yang meskipun bersatu, dapat mendominasi penduduk yang tersisa.

Maka dalam lukisan itu tersembunyi rencana  Belanda untuk menghambat gerakan yang mengorganisir orang Batavia ke dalam kelompok etnis yang berbeda, dengan berbagai tingkat akses di dalam kota.

Nantinya pemisahan sosial di Batavia kemudian dikodifikasikan oleh tata ruang Batavia itu sendiri sendiri: yakni dengan adanya rencana kota memisahkan populasi dengan kanal dan tembok kota yang tidak dijembatani.

Keterangan foto: Para budak di Batavia memayungi tuan koloninya dalam sebuah perjalanan. - (google.co.id)

Tapi bila disadarkan tesis pada karya para sarjana dari lingkungan binaan kolonial, seperti Swati Chattopadhyay dan Brenda Yeoh, yang masing-masing menjelaskan pengalaman dari pemisahan yang terjadi di Kalkuta dan Singapura. Para penulis ini melihat bagaimana penjajah dan terjajah berfungsi di dalam kota-kota yang sudah dibangun ini. Jadinya keduanya menciptakan dan memperkuat stratifikasi sosial kolonial.

Batavia memang berbeda dari kedua kota ini dalam hal arsitektur dan tata letaknya sendiri yang memberlakukan pemisahan ini.

Dan bila meneliti rencana Batavia dan hubungannya dengan prinsip-prinsip perencanaan Belanda abad ketujuh belas pada sisi lain memang ada anggapan adanya hal menyesatkan untuk memahami Batavia. Kota ini tidak seperti yang digambarkan beberapa sarjana, sebagai representasi tatanan pragmatis dan egaliter yang kemudian dirusak oleh situasi kolonial.

Namun, pada kenyataannya justryu sebaliknya. Bahkan, stratifikasi dan segregasi sosial Batavia dengan cara tertentu diturunkan langsung dari rencana Belandanya. Dan salah satunya dari gambaran dengan bersliewerannya budak laki dan permpuan di Batavia yang melayani tuan kolono Belanda. Mereka merupakan warga pribumi nusantara dan pendatang.

 
Berita Terpopuler