AS Batasi Ekspor ke 5 Perusahaan Terduga Pelanggar HAM Uighu

Perusahaan China disebut menerima atau menggunakan kerja paksa.

ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas Bahasa Mandarin, Jumat (3/1/2019).
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) menerapkan pembatasan ekspor ke lima perusahaan China yang diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Mereka disebut menerima atau menggunakan kerja paksa.

Baca Juga

 

Dilaporkan laman Aljazirah pada Rabu (23/6), perusahaan-perusahaan yang dicantumkan ke the Commerce Department’s Entity List yakni Silikon Hoshine, Xinjiang Daqo New Energy (sebuah unit dari Daqo New Energy Corp), Xinjiang East Hope Nonferrous Metals (anak perusahaan dari raksasa manufaktur East Hope Group yang berbasis di Shanghai), Xinjiang GCL New Energy Material, dan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC).

Setidaknya beberapa perusahaan adalah produsen utama silikon monokristalin dan polisilikon yang digunakan dalam produksi panel surya. Pada Desember lalu, AS juga melarang impor kapas dari XPCC dengan alasan perbudakan buruh.

 

Pemerintahan Presiden Joe Biden dan mantan presiden Donald Trump sama-sama mengambil sikap keras ke Cina terkait perlakuan serta kebijakannya terhadap Muslim Uighur. Pemerintahan Trump sempat menyatakan bahwa apa yang dilakukan Beijing di Xinjiang adalah genosida. Hal itu diungkapkan sesaat sebelum pemerintahannya berakhir dan digantikan Biden.

 

 

 

Biden sendiri telah mendorong para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan dan merespons laporan tentang dugaan kerja paksa di Xinjiang. Negara-negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang dipimpin Kanada mendesak Cina membuka akses kunjungan bagi Komisaris Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet ke Xinjiang.

 

Duta Besar Kanada untuk PBB di Jenewa, Leslie Norton, membacakan pernyataan bersama kepada dewan atas nama lebih dari 40 negara termasuk Albania, Australia, Prancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). “Kami sangat prihatin dengan situasi HAM di daerah otonomi Uighur, Xinjiang,” kata Norton pada Selasa (22/6), dikutip laman Anadolu Agency.

Menurut pernyataan bersama yang dibacakan Norton, terdapat laporan kredibel yang menunjukkan bahwa lebih dari satu juta warga Uighur ditahan sewenang-wenang oleh otoritas China di Xinjiang. “Bahwa ada pengawasan luas yang secara tidak proporsional menargetkan orang-orang UIghur dan anggota minoritas lainnya serta pembatasan kebebasan mendasar dan budaya Uighur," ucap Norton saat membacakan pernyataan bersama.

 

Pernyataan bersama itu pun mengutip beberapa contoh perlakuan tak manusiawi terhadap masyarakat Uighur, antara lain penyiksaan dan perendahan martabat perempuan yang dipaksa menjalani sterilisasi. Ada pula kekerasan seksual dan berbasis gender serta pemisahan paksa anak-anak dari orang tuanya.

"Kami mendesak China untuk mengizinkan akses segera, bermakna, dan tak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi," kata pernyataan bersama merujuk pada Bachelet. 

 
Berita Terpopuler