Soal Pasal Penghinaan, PSHK UII Sayangkan Sikap Pemerintah

Keberadaan pasal penghinaan presiden itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan.

Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi Penghinaan Presiden
Rep: Dian Fath Risalah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, menyayangkan, sikap pemerintah yang masih mengajukan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). PSHK FH UII memandang, keberadaan Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi.

Tak hanya itu, pasal itu juga dapat menciptakan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif yang berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karenanya, keberadaan Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHPidana dapat dikatakan tetap tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

"Kami memandang rumusan pasal penyerangan kehormatan atau harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya dikeluarkan dalam rancangan KUHP guna menjamin konstitusionalitas KUHP di masa depan," tegas Direktur PSHK FH UII Allan FG Wardhana kepada Republika, Rabu (23/6).

Allan mengatakan, pengaturan Pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden juga tidak bersifat tegas, pasti, dan limitati. Kondisi ini berpotensi membuka celah lebar penafsiran terhadap frasa “penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat” Presiden atau Wakil Presiden.

"Adanya celah lebar dalam penafsiran frasa ini menimbulkan 2 permasalahan yakni membuka ruang penafsiran yang cukup luas (bersifat multitafsir) dan tidak mencerminkan asas kejelasan rumusan sebagai bagian dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Allan.

 

 

Selain itu, juga tidak sejalan dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis. Indonesia merupakan negara demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.

Salah satu unsur negara demokrasi, adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

"Partisipasi ini dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan," kata Allan.

Adanya pasal tersebut cenderung bersifat multitafsir dapat dijadikan ruang untuk memidanakan setiap orang yang melakukan perbuatan ‘yang sesungguhnya kritik’. Namun, dianggap sebagai tindakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. Sehingga, secara langsung akan bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri.

Pasal tersebut juga tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 MK dalam Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan inkonstitusionalitas Pasal/Delik 134, 136 bis, 137 KUHPidana yang mengatur terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. MK dalam putusan tersebut secara garis besar beralasan bahwa:

Ketentuan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHPidana berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal tersebut digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.

Presiden atau Wakil Presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif yang berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Dengan melakukan perbandingan di beberapa negara lain, penghinaan terhadap penguasa atau badan publik seharusnya penuntutannya dilakukan atas dasar pengaduan.

 
Berita Terpopuler