Muslim Kurang Terwakili di Sebagian Besar Negara Eropa

Penelitian Ungkap Muslim Kurang Terwakili di Sebagian Besar Negara Eropa

Google.com
Muslim Inggris ke luar dari ruangan usai mengikuti pemilihan suara dalam Pemilu Inggris.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, LONDON -- Sebuah penelitian menyebut komunitas Muslim di Eropa merupakan bagian signifikan dari minoritas di kawasan itu. Mereka tidak terwakili secara proporsional dalam bidang politik.

Studi berjudul “Pelembagaan Keanekaragaman Etnokultural dan Representasi Muslim Eropa” oleh profesor Akener Aktürk ini diterbitkan oleh Cambridge University Press. Penelitian berfokus pada perbandingan situasi di 26 negara Eropa selama 11 tahun dan mengungkapkan kontras yang mencolok di antara mereka.
 
Perancis, Swedia, Spanyol, Italia, Inggris dan Jerman merupakan negara-negara di mana populasi Muslim kurang terwakili secara proporsional dibandingkan populasi mereka.
 
Sementara di Belgia, Bulgaria, Belanda, Rumania dan Serbia, Muslim memiliki angka representasi yang tinggi, diikuti oleh Kroasia, Finlandia, Montenegro dan Norwegia.
 
Dilansir di Daily Sabah, Selasa (22/6), studi ini berpendapat pelembagaan keragaman etnokultural dapat memfasilitasi representasi minoritas agama yang lebih proporsional.
 
"Pelembagaan multietnis dan multikultural semacam itu menanamkan gagasan bahwa pemerintahan terdiri dari banyak kolektivitas dengan fitur budaya yang sangat berbeda,” kata studi tersebut.
 
Di Belgia misalnya, sekitar 6 persen dari populasi yang diperkirakan beragama Islam, anggota parlemen Muslimnya tersebar di antara lima partai politik. Partai-partai ini memiliki ideologi yang sama sekali berbeda, termasuk sosialis, kiri-tengah dan kanan-tengah.
 
Mereka bebas bersaing dalam pemilihan federal dan regional, tanpa harus menyembunyikan identitas mereka. Hal ini sangat kontras dengan Prancis, di mana hanya Muslim sekuler yang bisa menang.
 
Meskipun Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, negara ini memiliki catatan paling buruk dalam hal keterwakilan mereka. Hanya ada empat anggota parlemen Muslim pada 2012 dan delapan Muslim di Parlemen Prancis pada 2017. Minoritas dan perempuan lainnya juga terwakili secara tidak proporsional di negara itu.
 
Studi ini mengambil hipotesis penggambaran pemerintahan yang berlapis-lapis dan tersegmentasi secara budaya di sepanjang garis etnokultural, kemungkinan memiliki efek limpahan positif pada representasi agama. Hal ini dinilai dapat melegitimasi bahkan memotivasi elit partai politik atau penjaga gerbang, untuk mencalonkan kandidat Muslim di parlemen nasional.
 
Di Austria, Muslim membentuk kurang dari 2 persen dari parlemen, namun mereka membuat sekitar 6 persen dari total populasi di negara itu. Sebaliknya, di Belanda Muslim juga merupakan 6 persen dari populasi dan membentuk sekitar 8 persen dari parlemen.
 
Di antara negara-negara yang dianalisis dalam penelitian ini, Makedonia Utara memiliki populasi Muslim terbesar dengan 35,9 persen dalam hal proporsi. Namun, mereka hanya mencapai sekitar 23 persen dari total kursi di parlemen, dengan 29 hingga 33 anggota parlemen di 120 hingga 140 kursi legislatif.
 
Di Italia, hanya satu anggota parlemen Muslim terpilih dalam legislatif bikameral pada 2010 dan untuk 2014-2015. Di sisi lain, tidak ada satu pun anggota parlemen Muslim terpilih dalam pemilu 2018.
 
 

Profesor Aktürk mengatakan Belgia memiliki institusionalisasi keragaman etnokultural tertinggi. Hal ini dikarenakan negara tersebut memiliki struktur federal yang melibatkan Walloon dan Flemish, yang diakui sebagai elemen utama negara dan menikmati tindakan afirmatif dan kebijakan kuota yang menguntungkan mereka.
 
Dia juga mencatat kemampuan Muslim untuk menikmati perwakilan yang adil di Belgia bukanlah suatu kebetulan. Hal itu adalah efek samping tidak langsung dari keragaman etnokultural di negara tersebut.
 
Dia menjelaskan perwakilan Muslim di Prancis sangat kurang, mengingat harusnya ada 42 hingga 43 anggota parlemen Muslim jika mereka terwakili secara adil. Tetapi, yang terjadi hanya ada tiga atau empat dari mereka di parlemen.
 
Hal ini utamanya disebabkan oleh fakta Prancis yang melarang ekspresi identitas agama dan etnis di ruang publik. Negara ini mendesak semua orang untuk berasimilasi ke dalam identitas sekuler berbahasa Prancis.
 
"Negara ini tidak menanyakan tentang latar belakang etnis atau bahasa ibu dalam sensusnya dan terkadang bahkan menghalangi penelitian yang menganalisisnya," kata Aktürk.

Prancis terburuk

Selain Prancis menjadi terburuk dalam keterwakilan Muslim di kangan parlemen Eropa, negara ini juga punya pengalaman yang banyak dalam aksi Islamofobia.

Prancis tahun lalu terlibat dalam perseteruan sengit dengan negara-negara Muslim, termasuk Turki, atas pernyataan dan kebijakan yang dibuat oleh pejabat tinggi Prancis menyusul penerbitan ulang karikatur ofensif Nabi Muhammad.
 
Muslim di seluruh dunia juga mengecam keputusan majalah satir Prancis Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun tersebut, dengan alasan tidak menghormati Muslim dan Nabi Muhammad.
 
Kala itu Presiden Macron mengatakan dia tidak akan mencegah penerbitan kartun dengan dalih kebebasan berbicara. Namun, Muslim Prancis menuduhnya mencoba untuk menindas agama mereka dan melegitimasi Islamofobia. Beberapa negara mayoritas Muslim mengecam sikap Macron terhadap Muslim dan Islam.
 
Berbagai protes dan boikot terhadap produk Prancis telah terjadi di seluruh dunia menyusul pernyataan Macron. Para kritikus mengklaim pemerintah presiden Prancis mengeksploitasi serentetan kekerasan untuk mengintensifkan sikap anti-Muslimnya yang kontroversial.
 
Turki mengecam keras keputusan Charlie Hebdo untuk menerbitkan ulang kartun tersebut, dengan mengatakan tindakan tersebut berisi penghinaan terhadap Muslim dan Nabi Muhammad.
 
Pada September lalu, Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan tidak mungkin membenarkan penghinaan dan ketidakhormatan terhadap Muslim ini dengan sebutan kebebasan pers, seni atau ekspresi. Mereka juga mengkritik sikap Macron tentang masalah ini.
 
Awal bulan ini, subkomisi Parlemen Turki tentang meningkatnya rasisme dan Islamofobia di Eropa menggarisbawahi upaya untuk melegitimasi praktik anti-Islam dengan alasan hukum.  
 

 

 
Berita Terpopuler