Urgensi Lockdown pada Saat Kasus Melonjak

Pakar nilai tidak mungkin atasi lonjakan hanya dengan metode yang sudah ada.

ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Petugas berjaga di pintu masuk kampung saat karantina wilayah di Padukuhan Ngino XII, Margoagung Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (18/6/2021). Sejak 16 Juni 2021, Padukuhan Ngino XII dan Ngino XI melakukan karantina wilayah guna memutus penyebaran Covid-19 menyusul sejumlah warga di kampung itu terpapar Covid-19 seusai melakukan ziarah.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Gumanti Awaliyah, Sapto Andika Candra, Antara

Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia harus segera direspons. Pembatasan sosial dinilai mutlak diberlakukan jika ingin menekan laju penyebaran Covid-19.

Guru Besar FKUI, Tjandra Yoga Aditama, menyarankan pembatasan sosial untuk segera dieksekusi. Menurutnya, pembatasan sosial dapat saja hanya amat terbatas, atau sedikit lebih luas, atau memang luas sampai pada lockdown total.

"Yang pasti, dengan perkembangan sekarang, tidak mungkin lagi hanya meneruskan program yang sudah ada, sekarang harus ada peningkatan pembatasan sosial secara nyata dan jelas," kata Prof Tjandra dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (18/6).

Kedua, Prof Yoga mengusulkan peningkatan secara maksimal pelaksanaan tes dan telusur (test and tracing). Tes dan telusur angka indikator targetnya jelas, hanya tinggal dipastikan pelaksanaannya di semua kabupaten/kota secara merata dengan komitmen yang jelas. Ketiga, karena kasus sudah tinggi, tentu perlu kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun juga sama pentingnya di pelayanan kesehatan primer.

"Yang disiapkan bukan hanya ruang isolasi dan ICU, alat dan obat, sarana dan prasarana lain, tetapi yang paling penting adalah SDM petugas kesehatan yang harus terjamin bekerja secara aman. Tidaklah tepat kalau hanya menambah ruang rawat tanpa diiringi penambahan petugas kesehatan," ujar Prof Yoga.

Berikutnya, Prof Yoga menekankan pentingnya kepastian tersedianya data yang akurat dan selalu update. Ia menganjurkan analisis data ini juga harus dilakukan dengan dasar ilmu pengetahuan yang baik dan bijak. Hal ini sangat diperlukan agar penentu kebijakan publik dapat membuat keputusan yang berbasis bukti ilmiah yang tetap, atau evidence-based decision making process.

"Terakhir, pemberian vaksinasi ke publik secara maksimal. Walau vaksinasi tidak akan secara cepat menurunkan angka kasus yang sedang tinggi di suatu tempat, tetapi jelas vaksinasi akan berperan amat penting dalam pengendalian pandemi," ucap Prof Yoga.

Menurut Tjandra, penetapan jumlah kepesertaan vaksinasi di Indonesia untuk mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity ditetapkan berdasarkan angka reproduksi penyakit dan juga efektivitas vaksin. "Kalau angka reproduksi meningkat, dan juga efektifitas vaksin menurun, misalnya karena varian baru, maka jumlah orang yang harus divaksin perlu lebih banyak lagi untuk dapat memperoleh kekebalan kelompok. Jadi, dalam situasi sekarang, angkanya mungkin perlu dihitung ulang," katanya.

Pada Kamis (17/6), ada 12.624 kasus baru Covid-19, sementara Kementerian Kesehatan memperkirakan puncak kasus akan terjadi akhir Juni 2021. "Sulit dibayangkan bagaimana suasana pada akhir bulan ini kalau kasus terus naik," ujarnya.

Perhimpunan lima profesi dokter juga mendesak pemerintah pusat untuk menerapkan pembatasan yang lebih ketat di masyarakat menyikapi kenaikan kasus yang kembali tinggi. Lima organisasi tersebut, yakni Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Kelima perhimpunan profesi dokter itu juga mendesak agar pemerintah atau pihak berwenang memastikan implementasi serta penerapan PPKM yang maksimal. “Kalau PPKM tidak ketat dan menyeluruh, akan terjadi penumpukan pasien di rumah sakit dan itu bisa menyebabkan kolaps. Kami tidak ingin yang terjadi di India akan terjadi di Indonesia,” kata ketua umum PERDATIN, Prof Syafri Kamsul Arif, dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/6).

Perhimpunan profesi dokter juga mendesak agar pemerintah melakukan percepatan dan memastikan vaksinasi tercapai sesuai standar. Hal itu mengingat sasaran vaksinasi masih sangat jauh dari target total, yakni 181,5 juta jiwa penduduk. Per Rabu (16/6), vaksinasi dosis pertama baru mencapai 21,4 juta jiwa atau 11,81 persen, dan tingkat vaksinasi dosis kedua mencapai 11,8 juta jiwa atau 6,51 persen dari target.

Semua pihak juga diminta untuk waspada terhadap varian baru Covid-19 yang lebih mudah menyebar, mungkin lebih memperberat gejala, mungkin lebih meningkatkan kematian, bahkan mungkin menghilangkan efek vaksin.

"Perawatan di RS bukan solusi utama dari pandemi, yang terpenting adalah bagaimana mencegah dan mengurangi transmisi, hingga pasien di RS bisa berkurang dan bahkan nol kasus," kata ketua umum PDPI, Dr Agus Dwi Susanto.

Terakhir, perhimpunan juga merekomendasikan masyarakat untuk selalu dan tetap memakai masker, menjaga jarak, rajin mencuci tangan, tidak bepergian jika tidak mendesak, menjaga kesehatan, dan menjalankan protokol kesehatan lainnya.  

Berdasarkan data kasus harian dari Satgas Covid-19 pada 15 Mei 2021, angka penambahan Covid-19 yaitu 2.385 kasus. Kemudian, kasus perlahan meningkat dan semakin meningkat tajam, tercatat pada 15 Juni terdapat 12.624 kasus, 16 Juni terdapat 9.944 kasus, dan kasus per 17 Juni sebanyak 12.624 kasus. Jika dibandingkan dengan data 15 Mei, terjadi peningkatan kasus pada 17 Juni sekitar 500 persen, diikuti dengan peningkatan kasus kematian berkaitan dengan Covid-19.

Tingkat keterisian tempat tidur pasien Covid-19 di Tanah Air juga dipastikan terus meningkat. Sistem kesehatan Indonesia dapat kolaps jika pihak yang berwenang tidak segera melakukan upaya-upaya maksimal untuk penanganan Covid-19.

Baca Juga

 

 








Pada Rabu (16/6), Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19, Sonny Harry B Harmadi, mengemukakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro merupakan formulasi tepat dalam menyikapi lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah daerah. Ia lalu mengibaratkan saat mau menangkap tikus.

"Jangan seperti kita mau menangkap tikus, tapi lumbung padinya dibom, itu bisa berdampak semua," katanya.

Pernyataan tersebut menjawab dorongan sejumlah pihak agar pemerintah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seperti yang pernah diberlakukan pada awal pandemi Covid-19 di Indonesia. Bahkan, muncul dorongan agar otoritas terkait di daerah menerapkan karantina wilayah atau lockdown demi mencegah penyebaran virus Covid-19 yang lebih luas lagi.

Sonny mengatakan, pemerintah kembali menetapkan PPKM mikro, yang berlaku 15-28 Juni 2021 sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2021. "Intinya kebijakan ini tiga, yakni meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan, membatasi mobilitas, dan membatasi aktivitas. Itu sudah ditegaskan dengan aturan," katanya.

Sejumlah poin penting yang menjadi catatan dalam PPKM berskala mikro, di antaranya kebijakan bekerja dari rumah yang semula maksimal 50 persen, saat ini ditingkatkan menjadi 75 persen pada zona merah dan 50 persen pada zona oranye. Selain itu, tempat wisata di daerah zona merah dilarang dibuka serta operasional mal dan tempat hiburan, seperti kafe, harus tutup operasional maksimal pukul 21.00 WIB.

Restoran atau makan/minum di tempat dibatasi 50 persen. Layanan pesan antar diperbolehkan sesuai dengan jam operasional restoran dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat.

Kapasitas tempat ibadah dibatasi 50 persen dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Kegiatan fasilitas umum diizinkan dibuka dengan pembatasan kapasitas maksimal 50 persen yang diatur dengan perda atau perkada. Sektor transportasi, kendaraan umum dilakukan pengaturan kapasitas dan jam operasional.

Kegiatan konstruksi diizinkan berjalan 100 persen. Demikian pula dengan sektor-sektor esensial, seperti kesehatan, bahan pangan, makanan, minuman, energi, komunikasi, perbankan, dan logistik. "PPKM mikro nih lebih bagus, sebab ini bersifat mikro karantina wilayah pada daerah yang kasusnya tinggi. Arahan Pak Presiden perkuat PPKM mikro," katanya.

Namun, Sonny mengungkap tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi PPKM mikro di lapangan. Salah satunya masih banyak daerah yang belum maksimal menerapkan aturan pembuatan posko di tingkat desa maupun kelurahan.

"Seperti di Jakarta Selatan, saat ini cuma ada satu posko kelurahannya dari sekian banyak kelurahan di Jakarta," katanya.

Satgas Penanganan Covid-19 melihat perkembangan kepatuhan pemerintah daerah berdasarkan pengamatan di lapangan. "Harusnya dengan strategi itu terjadi penurunan mobilitas penduduk. Satgas di daerah punya peran penting di sana, bukan pemerintah pusat," ujarnya.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito,  menyampaikan, kejadian lonjakan kasus saat ini, yang juga mengulang tren yang sama pada 2020 lalu, perlu jadi bahan pembelajaran.  Ia menilai, perbandingan yang terlihat dari dua fenomena lonjakan kasus, baik saat ini atau tahun lalu, menjadi bahan pertimbangan intervensi pemerintah dalam menangani pandemi.

Wiku menyebutkan, ada perubahan formasi daerah yang mengalami lonjakan kasus tertinggi periode empat pekan setelah Lebaran pada tahun ini, dibanding 2020 lalu. Tahun ini, lima provinsi yang menyumbang angka lonjakan kasus tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sebenarnya, Banten yang juga berada di Pulau Jawa duduk di peringkat keenam.

Deretan provinsi tersebut berbeda dengan 2020 lalu. Sebulan setelah Lebaran 2020, Bali dan Sulawesi Selatan masuk ke dalam lima provinsi penyumbang angka kasus tertinggi.

"Lima besar kenaikan tertinggi ini dapat dikaitkan dengan fakta meski sudah diberlakukan periode larangan mudik, namun mobilitas warga tetap meningkat signifikan. Selain itu, di dalam kota terjadi mobilitas ke pusat perbelanjaan dan pusat wisata," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers, Kamis (17/6).

Wiku menyebutkan, adanya penambahan jendela pengetatan mudik, yakni pada 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei atau hingga nyaris dua pekan setelah Lebaran membuat dampak kenaikan kasus Covid-19 bisa terjadi lebih lama. Pemerintah memprediksi, kenaikan kasus sebagai akibat dari tingginya mobilitas warga saat libur Lebaran lalu masih bisa dirasakan 7-8 pekan pasca-Lebaran.

"Tentunya, keadaan di tahun ini berbeda dengan tahun lalu. Pada tahun ini mungkin kita sudah lelah. Keinginan untuk beraktivitas normal tidak dapat dihindari. Namun, sisi positifnya, kita dapat ambil pelajaran dari penanganan tahun lalu serta intervensi kebijakan seperti apa yang harus diambil," kata Wiku.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah merilis data teranyar yang menunjukkan bahwa lonjakan kasus Covid-19 pada periode satu bulan setelah Lebaran tahun ini lebih signifikan ketimbang lonjakan pada periode yang sama tahun 2020 lalu. Lonjakan angka kasus cukup tinggi memang terjadi pada satu pekan terakhir, atau tepat empat pekan setelah Lebaran.

Wiku menyampaikan, lonjakan kasus pada pekan keempat setelah Lebaran 2021 tercatat 112,22 persen. Angka ini lebih tinggi dari pada lonjakan kasus Covid-19 pada empat pekan setelah Lebaran 2020 lalu, yakni 93,11 persen.

"Kenaikan yang signifikan tahun ini tidak dimungkiri karena pada pekan keempat setelah Lebaran, terjadi penambahan kasus secara signiikan dibandingkan pekan-pekan sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, kenaikan bisa dua kali lipat," kata Wiku.

Isolasi mandiri pasien Covid-19 - (Republika)

 
Berita Terpopuler