Mempertanyakan Pertimbangan Korting Masa Hukuman Pinangki

Hukuman bagi mantan jaksa Pinangki dikorting jadi empat tahun saja oleh hakim PT DKi.

Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari pada Senin (15/6) mendapatkan potongan hukuman masa penjara dari 10 tahun menjadi empat tahun. Keputusan tersebut diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Ronggo Astungkoro, Antara

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong hukuman mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dari sebelumnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Korting masa hukuman Pinangki pun dipertanyakan.  

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, menyoroti pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman Pinangki. Meskipun, vonis penjara yang kini menjadi empat tahun, kata dia, sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya.

"Yang jadi masalah, pertimbangan di hakim apakah sudah tepat untuk menjadi alasan peringanan?" tanya dia.

Dio menjelaskan, masalah tersebut terjadi karena belum ada pedoman pemidanaan suap di MA. Berbeda dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang ada. ‘’Sehingga bisa menjadi panduan bagi hakim dalam menentukan ringan dan beratnya putusan,’’ tambah dia.

Oleh sebab itu, lanjut Dio, berkaca pada kasus Pinangki, MA harus segera merespons dampak itu dengan membuat penelitian terkait konsistensi. Utamanya, menyoal pertimbangan putusan hakim di kasus suap.

"Juga membentuk kebijakan pedoman pemidanaanya," tutur Dio.

Ketika ditanya Pinangki yang melakukan kejahatan saat berstatus sebagai jaksa, Dio tak menampiknya. Kendati demikian, hal itu kata dia, secara aturan belum dijadikan sebagai indikator pemberat hukuman.

"Itu bergantung pada hakim. Kalau indikator pemidanaan itu ada, bisa ditentukan indikator mana yang jadi pemberat (hukuman)’’ ungkap dia.

Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting, menyatakan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan pengadilan. KY, kata dia, hanya berwenang ketika terdapat pelanggaran perilaku dari hakim yang mengeluarkan suatu putusan.

"Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, KY tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara," ujar Miko lewat keterangan tertulis, Selasa (15/6).

Hal tersebut ia sampaikan terkait dengan permintaan Indonesia Corruption Watch kepada KY untuk menelusuri kejanggalan vonis banding eks jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dalam vonis banding, hukuman bagi jaksa Pinangki disunat dari yang semula 10 tahun menjadi hanya empat tahun penjara.

Lebih lanjut Miko menerangkan, undang-undang (UU) yang ada saat ini memberikan kewenangan bagi KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Analisis itu dilakukan untuk kemudian dijadikan sebagai rekomendasi mutasi hakim.

"Putusan yang dianalisis harus sudah berkekuatan hukum tetap dan tujuannya untuk kepentingan rekomendasi mutasi," jelas Miko.

Menurut dia, keresahan publik terhadap putusan banding Pinangki sejatinya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari sana, kata Miko, nantinya dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan.

"Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim," kata dia.

Sebelumnya, ICW menilai putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terharap Jaksa Pinangki Sirna Malasari benar-benar keterlaluan. Pinangki yang semestinya menerima hukuman 10 tahun, dipangkas menjadi empat tahun penjara.

"Patut untuk diingat, saat melakukan kejahatan Pinangki menyandang status Jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Ini harusnya merupakan alasan utama pemberat hukuman," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (14/6).

Selain itu, lanjut Kurnia, Pinangki terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Dengan kombinasi ini saja publik sudah bisa mengatakan bahwa putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat publik.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sekaligus memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kian tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi. Hal tersebut sebenarnya sudah tampak jelas dalam tren pemantauan persidangan yang ICW lakukan, rata-rata hukuman koruptor sepanjang tahun 2020 hanya 3 tahun 1 bulan penjara

Dengan kondisi ini, maka semestinya para koruptor layak untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mahkamah Agung. "ICW juga menagih janji KPK untuk melakukan supervisi atas perkara tersebut," tegasnya.

Sebab, sebelumnya KPK pernah mengeluarkan surat perintah supervisi. Namun, sepertinya kebijakan itu hanya sekadar lip service semata. Alih-alih menjadi agenda prioritas, pimpinan KPK malah sibuk untuk menyingkirkan sejumlah pegawai dengan Tes Wawasan Kebangsaan yang penuh dengan kontroversi itu.

Melihat ini, lanjut Kurnia, jaksa mesti segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Selain itu, Ketua Mahkamah Agung harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut. Sebab, ICW meyakini, jika tidak ada pengawasan, bukan tidak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, bahkan bisa dibebaskan.

Dalam perkembangan pengusutan perkara korupsi Pinangki, ICW masih melihat ada beberapa kelompok yang belum diusut oleh Kejaksaan Agung, salah satunya klaster penegak hukum. Sebab, dalam pengamatan kami, mustahil Pinangki bergerak sendiri dan melakukan kejahatan bersama dengan buronan Joko Tjandra.

"Pertanyaan sederhananya yang belum terjawab, bagaimana mungkin Joko S Tjandra dapat percaya begitu saja dengan jaksa yang tidak menduduki jabatan strategis seperti Pinangki? Apakah ada pihak yang menjamin Pinangki agar Joko S Tjandra percaya lalu sepakat untuk bekerjasama?," ucap Kurnia.

"Untuk itu, ICW merekomendasikan agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan di balik putusan tersebut," tambahnya.





Korting masa hukuman Pinangki diputuskan kemarin oleh PT DKI Jakarta. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung pada Senin.

Putusan itu diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada tanggal 14 Juni 2021. "Menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu subsiderdan pencucian uang sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga subsider," demikian tertulis.

Terdapat sejumlah pertimbangan majelis hakim sehingga mengurangi lebih dari separuh masa hukuman Pinangki. "Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan," kata hakim.

Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. "Bahwa perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat," tambah hakim.

Sebelumnya JPU Kejaksaan Agung menuntut Pinangki divonis selama empat tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Namun majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan kepada Pinangki Sirna Malasari karena terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.

Dalam perkara ini, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu pertama terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra. Uang itu diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana dua tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Pinangki ikut menyusun "action plan" berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500 ribu dolar AS sebagai uang muka. Perbuatan kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp 5,25 miliar. Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra.

Bentuk pencucian uang antara lain dengan membeli mobil BMW X5 warna biru, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter "home care", pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit. Perbuatan ketiga adalah Pinangki melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam "action plan".

Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

 
Berita Terpopuler