Muslim Pertanyakan Konten Film Serangan Christchurch

Narasi film tidak berpusat pada Muslim korban serangan Christchurch.

New Zealand Herald via AP
Muslim Pertanyakan Konten Film Serangan Christchurch. Teror Masjid Christchurch. Bunga dan tribut lain diletakkan di luar Islamic Center di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3).
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, CANTERBURY -- Sebuah film tentang serangan masjid di Christchurch pada 2019 rencananya akan dibintangi aktris Australia Rose Byrne sebagai Perdana Menteri Jacinda Ardern. Outlet media Hollywood, Deadline, melaporkan film yang hingga kini diberi judul They Are Us ini akan fokus pada tanggapan Ardern terhadap serangan dan pesan belas kasih dan persatuan.

Baca Juga

Meski demikian, rencana pembuatan film tersebut masih menuai pertanyaan dan penolakan dari beberapa pihak. Juru bicara Asosiasi Muslim Canterbury Abdigani Ali mengatakan serangan itu masih terasa menakutkan bagi masyarakat dan banyak teror yang menghantui di sekitar peristiwa tragis 15 Maret.

"Meskipun pengakuan perdana menteri kami terhadap serangan ini memang pantas, kami mempertanyakan momen dan apakah film itu tepat di saat ini," kata Ali dikutip di Radio New Zealand, Ahad (13/6).

Dia mengatakan pembuat film ini perlu memastikan telah membaca temuan Komisi Penyelidikan Kerajaan mengenai serangan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memahami jika badan intelijen Selandia Baru memiliki fokus eksklusif pada ancaman teroris dari komunitas Muslim, bahkan sebelum serangan.

"Kami menyadari cerita terkait 15 Maret perlu diceritakan. Tetapi kami ingin memastikan itu dilakukan dalam hal yang tepat, otentik, dan sensitif," ujarnya.

Ia juga mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di Selandia Baru, utamanya dalam hal undang-undang ujaran kebencian. Mereka disebut perlu mengakui adanya islamofobia dan prasangka institusional sebelum sebuah film blockbuster keluar dan menyatakan betapa hebatnya pekerjaan yang telah dilakukan oleh Selandia Baru ini.

Juru bicara Dewan Wanita Islam Anjum Rahman mengatakan dia sangat tidak nyaman dengan gagasan pembuat film ini. Ia menilai film ini mengambil keuntungan dari serangan masjid Christchurch dan narasinya tidak berpusat pada korban.

 

Rahman mengatakan dia baru mengetahui film itu dibuat melalui media sosial dan terkejut dengan narasi cerita yang dilaporkan. "Kami lebih suka menonton film yang berpusat pada para korban serangan dan keluarga mereka, berpusat pada kisah komunitas Muslim. Sebagai bagian dari akibat, cara Perdana Menteri menangani insiden itu tentu saja bagian yang perlu diceritakan, tetapi tidak boleh jadi titik perhatian," ujarnya.

Dia mengatakan jika pengerjaan film itu dilanjutkan, produser perlu terlibat dengan komunitas Muslim sehingga ceritanya secara akurat mencerminkan sifat supremasi kulit putih serta konsekuensi dari meminggirkan dan merendahkan komunitas. Tak hanya itu, Rahman juga mengatakan uang yang dihasilkan dari menceritakan kisah itu harus digunakan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak kekejaman tersebut.

"Salah satu kekhawatiran saya yang lain adalah kemana perginya keuntungan dari film semacam itu. Saya merasa sangat tidak nyaman dengan apa pun yang mengambil untung dari tragedi orang lain," katanya.

Imam Masjid Al Noor, salah satu dari dua masjid yang menjadi sasaran serangan teror 2019, Gamal Fouda mengatakan usai penyerangan dirinya dan warga sekitar didatangi sejumlah orang yang berminat membuat film tentang penyerangan tersebut. Dia berharap, jika proyek film itu berlanjut, film akan tetap pada fakta dan fokus pada perdamaian dan cinta. Komunitas Muslim di Christchurch sangat beragam dan pasti memiliki perasaan yang sangat berbeda tentang prospek film tentang serangan itu.

Di sisi lain, produser film tersebut mengatakan mereka ingin meyakinkan anggota komunitas Muslim Christchurch bahwa mereka memahami tanggung jawab dalam menceritakan kisah terkait serangan tersebut. Salah satu produser film tersebut, Philippa Campbell yang berbasis di Auckland, mengatakan mereka tidak dapat berbicara dengan semua orang sebagai bagian dari penelitian. Dia mengaku telah berbincang dengan sejumlah besar orang dari masjid dan anggota keluarga para korban.

Penulis dan sutradara film tersebut Andrew Niccol mengatakan kisah film tersebut akan berlangsung dari Jumat hingga Jumat. Pengambilan gambar diambil di hari saat seorang pria bersenjata memilih membunuh Muslim hingga hari saat sholat Jumat berikutnya ketika Selandia Baru memilih menghormati para korban. Dalam sebuah pernyataan, dia mengatakan alih-alih berfokus pada serangan, film itu akan fokus pada respons terhadap serangan itu.

https://www.rnz.co.nz/news/national/444530/muslim-leaders-wary-of-timing-and-content-of-christchurch-attack-movie

 
Berita Terpopuler