Dalih Pajak Kebutuhan Pokok demi Keadilan Rakyat

Pemerintah disarankan lakukan reformasi pajak ketimbang mempajaki kebutuhan pokok.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pedagang beraktivitas di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Kamis (10/6). Pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Foto: Republika/Abdan Syakura
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan

Pemerintah mengatakan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada kebutuhan pokok dilakukan demi keadilan masyarakat. Sebab selama ini, kelompok menengah atas juga menikmati PPN nol persen pada kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk kebutuhan pokok.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan kondisi ini juga terjadi terhadap seluruh jasa kesehatan baik, bagi orang miskin ataupun operasi plastik bagi kalangan tertentu. Hal yang sama juga dikenakan jasa pendidikan yang dikenakan PPN baik sekolah negeri atau sekolah privat mahal sekalipun.

"Menurut hemat kami ini tidak adil dan tidak fair, sehingga kita kehilangan kesempatan memungut pajak dari kelompok kaya untuk diredistribusi ke orang miskin. Saya sepakat bahwa kita harus selektif, targeted hanya instrumen yang berbeda," ujarnya saat webinar Arah Kebijakan Pajak di Kala Pandemi, Jumat (11/6).

Yustinus menyebut pemerintah terlalu banyak memberikan pengecualian PPN. Selain itu, kebutuhan pokok yang dikecualikan dari PPN juga banyak dikonsumsi kalangan atas.

"Terlalu banyak pengecualian saat ini, buktinya ada daftarnya. Ilustrasinya jika saya konsumsi telur omega, dan Pak Anthony telur ayam kampung di pasar, sama sama nggak kena PPN," ucapnya.

Dia mencontohkan beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan daging biasa dengan daging wagyu atau daging ayam yang semuanya tidak dikenakan PPN.

"Padahal daya beli konsumennya berbeda, jenis, harga, daya beli berbeda. Kita masukkan dalam keranjang sama itu jadi problem," ungkapnya.

Sementara Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menambahkan skema ini memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.

“Juga pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah," ucapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan kegaduhan di tengah masyarakat mengenai isu pajak barang dan jasa. "Di-blow up seolah-olah tidak memperhatikan situasi sekarang. Kita betul-betul menggunakan instrumen APBN karena memang tujuan kita pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side," ujarnya, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Jumat (11/6).


Menurutnya RUU KUP tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh, sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk. "Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, yang keluar sepotong-sepotong," ucapnya.

Meski demikian, dia menuturkan pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini karena dari sisi etika politik memang belum ada pembahasan dengan DPR. "Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden," ucapnya.

Sri Mulyani memastikan saat ini pemerintah masih terus memetakan dampak-dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat termasuk para pengusaha UMKM. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah untuk menyehatkan kembali APBN dengan tetap menjaga momentum pemulihan, seiring pembangunan pondasi ekonomi dan perpajakan agar tetap kuat ke depannya.

"Sampai hari ini kita juga sudah diminta memikirkan UMKM yang bangkitnya lebih lambat. Jadi fokus kita adalah memulihkan ekonomi," katanya.

Ketua Komisi XI DPR RI, Dito Ganinduto, mengaku para anggota dewan yang berada komisinya belum menerima draf RUU KUP tersebut. "Sampai sekarang belum dibahas di Bamus (Badan Musyawarah DPR) kita belum terima draf dari pemerintah," ujarnya.

Sementara Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo, menambahkan sebagai mitra utama Kementerian Keuangan sekaligus sebagai anggota komisi yang membidangi keuangan negara juga belum memegang draf tersebut. Dia juga merasa dilangkahi dengan beredarnya draf RUU KUP. Bahkan dia menerima draf yang beredar tersebut dari salah satu pedagang pasar di Malang Jawa Timur.

"Sebagai mitra kami terkagetkan ketika media bahkan saya dapat dari pedagang pasar di Malang, missed call saya berkali-kali dikiranya saya tidak mau menerima. Kemudian saya respons lagi rapat. Lalu mereka bertanya "masa DPR tidak tahu" ceritanya.

Padahal, dalam panja pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pemerintah dan DPR sudah sepakat hal-hal yang menyangkut revisi UU KUP tidak dibahas dahulu sampai dengan draf tersebut berada tangan DPR. "Dalam hal ini, untuk membangun kemitraan lebih baik, kami minta klarifikasi, kenapa ini bisa muncul dan kemudian kami dewan merasa terpojok karena kami sampaikan kita memang belum bahas ini," jelasnya.

Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menyatakan pembahasan revisi perpajakan akan segera dibahas bersama pemerintah dalam waktu dekat. Setidaknya pada masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021 mendatang.

"Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insya Allah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI," ujarnya.

Baca Juga

Rasio pajak Indonesia rendah dan penerimaan pajak turun - (Tim Infografis Republika.co.id)







 

Di balik rencana pengenaan pajak barang kebutuhan sehari-hari dan jasa, termasuk jasa pendidikan, terpapar fakta mengenai rasio perpajakan atau tax ratio yang terus menurun. Rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB)  mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan rasio perpajakan mencakup rasio pajak dan bea cukai. "Tax ratio dalam lima tahun terus menurun, ini yang membuat kami harus berpikir keras mengenai bagaimana membuat perpajakan kita itu semakin sesuai dengan struktur perekonomiannya. Kita tahu ekonomi tumbuh dan pertumbuhan sektoral beda-beda," ujarnya.

Febrio menuturkan pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan rasio pajak meliputi, basis pajak belum terungkap sepenuhnya. Selain itu, kepatuhan pembayaran pajak belum optimal.

"Dari sisi lain, insentif pajak masih dibutuhkan pada beberapa sektor ekonomi atau kondisi tertentu," ucapnya.

Tahun depan, pemerintah menargetkan rasio perpajakan sebesar 8,37 persen sampai 8,42 persen terhadap PDB. Angka itu meningkat dari target tax ratio pada tahun ini sebesar 8,18 persen dari PDB.

Apabila mengeluarkan komponen bea dan cukai, maka rasio pajak saja cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, rasio pajak tercatat sebesar 8,91 persen dari PDB dan 8,47 persen pada 2017.

Selanjutnya, rasio pajak masih berada level 8,85 persen dari PDB pada 2018, lalu sedikit turun menjadi 8,42 persen pada 2019. Tahun lalu, rasio pajak menurun menjadi 7,7 persen dari PDB.

"Tren rasio pajak relatif konstan dari 2016-2019 dengan sedikit penurunan. Ini juga yang akan kami lihat sama dengan logika perpajakan keseluruhan, bagaimana caranya agar pertumbuhan penerimaan pajak itu semakin mencerminkan kondisi ekonomi dan struktur ekonomi," ucapnya.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai saat ini masih banyak orang yang belum taat pajak menjadi salah satu penyebab kenapa tax ratio di Indonesia relatif rendah di Indonesia.

“Makanya pada 2016, pemerintah mengeluarkan kebijakan tax amnesty, yang salah satu tujuannya untuk memberikan pengampunan bagi para wajib pajak yang selama ini tidak tertib dalam membayar dan melaporkan pajaknya,” ujar Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, ketika dihubungi Republika.

Menurutnya setelah kebijakan tax amnesty dijalankan maka terjadi perubahan peningkatan dari kepatuhan pajak, meskipun pada level yang terbatas. Selain itu, belajar dari program tax amnesty juga, masih ada potensi dari pajak pada penghasilan di luar negeri belum tergali, dilihat masih relatif kecilnya nilai repatriasi yang didapatkan dari program tersebut.

Hal lain yang menjadikan, menurutnya, ekonomi Indonesia dalam proporsi sektor informal masih mendominasi, sehingga relatif sulit untuk memajaki sektor informal secara optimal. “Kemudian, hal terakhir yang tidak kalah penting, alasan rendah tax ratio yaitu pertumbuhan ekonomi yang bergerak kisaran lima persen dalam lima tahun terakhir, sehingga pemerintah tidak bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari aktivitas perekonomian,” ucapnya.

Ke depan pihaknya menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi perpajakan lanjutan untuk menambah penerimaan negara. Ia namun tidak sepakat jika kemudian reformasi pajak memasukkan barang sembako dan jasa pendidikan menjadi barang kena pajak.

“Pertama kita tahu, bahwa barang tersebut sifatnya basic needs yang seharusnya peran pemerintah ialah membantu warganya untuk penyediaan tersebut, apapun kelompok golongannya. Kedua, masih ada alternatif sumber yang bisa digali untuk meningkatkan rasio pajak, seperti misalnya pajak penghasilan non karyawan, PPN untuk barang tambang, ataupun jasa lain di luar pendidikan,” ungkapnya.

Pedagang menata daging sapi yang dia jual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada bahan kebutuhan pokok atau sembako masih menunggu pembahasan lebih lanjut setelah pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )







 
Berita Terpopuler