Buruh dan Petani akan Melawan Rencana Pajak Sembako

KSPI menyebut rencana memajaki kebutuhan pokok masyarakat adalah sifat penjajah.

Prayogi/Republika.
Pedagang sembako menimbang beras dagangannya di Pasar Tebet Timur, Jakarta, Kamis (10/6). Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok dianggap akan menambah kerugian masyarakat. Apalagi, pandemi Covid-19 yang belum berakhir masih menyebabkan daya beli masyarakat lemah.Prayogi/Republika.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Deddy Darmawan Nasution, Novita Intan

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok (sembako) masyarakat dan di sisi lain akan memberlakukan tax amnesty jilid 2 bagi pengusaha. KSPI menyebut, ini adalah cara-cara pemerintah meniru kolonialisme atau sifat penjajah.

Baca Juga

Presiden KSPI Said Iqbal menilai, sangat tidak adil jika orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil, untuk beberapa jenis tertentu diberi pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) hingga nol persen. Namun, untuk rakyat kecil, sekadar untuk makan saja sembako dikenakan kenaikan pajak.

"Sekali lagi, ini sifat kolonialisme. Penjajah!" kata Iqbal dalam keterangan pers kepada wartawan, Jumat (11/6).

Iqbal menegaskan, kalau rencana menaikkan PPN sembako ini tetap dilanjutkan, kaum buruh akan menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan, baik secara aksi di jalanan maupun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Iqbal menyoroti rencana adanya kenaikan PPN berdampak pada harga yang barang akan naik. Hal ini akan merugikan masyarakat, terutama buruh, karena harga barang menjadi mahal.

"Sudahlah kaum buruh terjadi PHK di mana-mana, kenaikan upahnya dikurangi dengan omnibus law, nilai pesangon yang lebih kecil dari peraturan sebelumnya, dan pembayaran THR yang masih banyak dicicil, sekarang dibebani lagi dengan harga barang yang melambung tinggi akibat kenaikan PPN,” ucap Iqbal.

 

In Picture: Rencana Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Bagi Bahan Pokok

Pedagang merapikan barang dagangan di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Kamis (10/6). Pemerintah berencana akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

 

 

 

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pun secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap sembako seperti yang tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sekjen APTRI, Nur Khabsyin, meminta kebijakan itu dikaji ulang karena akan memberatkan kehidupan petani.

"Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi, saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin, dalam keterangannya diterima Republika.co.id, Jumat (11/6).

Menurut Khabsyin, selama ini petani tebu sudah dihadapkan pada beragam kebijakan yang memberatkan, seperti pengurangan subsidi pupuk, rendahnya HPP gula, hingga maraknya gula impor yang beredar di pasaran. Hal tersebut sudah membuat petani tebu menjadi tertekan.

"Ibaratnya, petani sudah jatuh tertimpa tangga. kalau PPN dipaksakan, petani siap demo ke Jakarta," ujar Khabsyin.

Sebetulnya, sebelum 2017 gula konsumsi sudah dikenakan PPN, tetapi petani tebu protes melalui unjuk rasa di Jakarta sehingga sejak 1 September 2017 gula konsumsi dibebaskan dari PPN. Pengenaan PPN, kata Khabsyin, dipastikan akan merugikan seluruh petani tebu yang di Indonesia.

“Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani,” ujar Khabsyin.

Khabsyin mencontohkan saat ini harga jual gula di tingkat petani hanya laku Rp 10.500 per kg, apabila dikenakan PPN 12 persen, yang diterima petani tinggal Rp 9.240 per kg. Menurutnya, harga itu jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar Rp 11.500 per kg. Padahal, pada 2020 gula tani laku Rp 11.200 per kg tanpa ada PPN.

Salah satu dasar pengenaan PPN sembako karena pemerintah (menkeu) menilai saat ini harga pangan naik 50 persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP).

"Ini jelas pernyataan yang ngawur, justru sekarang ini harga pangan turun, contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karena impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa menarik PPN, seharusnya pada gula milik perusahaan-perusahaan/pabrik gula karena mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani," katanya menambahkan.

Diskon pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Pemerintah meminta masyarakat agar tidak terpancing mengenai informasi miring terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang dan jasa. Apalagi, dari berbagai kalangan menyebut pemerintah tidak adil karena memberikan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi masyarakat menengah atas, tetapi berencana membebani masyarakat kecil melalui PPN kebutuhan pokok.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, rencana pengenaan pajak baru sejatinya belum final karena belum dibahas pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, belum ada kepastian soal pajak kebutuhan pokok.

"Seolah-olah ini tidak benar kalau dibentur-benturkan, seolah-olah PPnBM mobil diberikan, lalu sembako dipajaki. Jadi, kita perlu menyeimbangkan,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, seperti dikutip Jumat (11/6).

Bendahara negara itu meminta bantuan Komisi XI DPR agar bisa ikut memberikan penjelasan ke publik mengenai rencana pungutan pajak baru dari pemerintah. Sebab, kenyataannya memang belum ada pembahasan rencana pajak baru tersebut, termasuk yang tengah berkeliaran di masyarakat, yaitu rencana PPN kebutuhan pokok hingga jasa pendidikan.

"Saya mohon kepada seluruh pimpinan Komisi XI untuk kita mengawal dari tadi yang ditanyakan," pintanya.

Menurutnya, saat ini pemerintah justru tengah gencar-gencarnya memberikan berbagai insentif perpajakan bagi masyarakat. Insentif itu pun diklaim sudah menjangkau hampir seluruh kalangan masyarakat tanpa pilih-pilih.

"Yang terjadi sekarang, rakyat menikmati seluruh apa yang dinamakan belanja, bantuan pemerintah, dan insentif perpajakan. Mereka tidak bayar PPh 21, PPN ditunda atau direstitusi, PPh 25 dikurangi, jadi semua pengusaha bisa tumbuh lagi. PPh 21, PPh perusahaan, PPh 22 Impor, PPh 26 final, pajak UMKM diberikan final, tapi kok malah yang keluar seperti ini? Kami sayangkan itu," ungkapnya.

Dari sisi lain, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu juga meminta maaf kepada Komisi XI DPR karena tentu isu pungutan PPN sembako hingga biaya sekolah ini membuat kegaduhan. Bahkan, Komisi XI DPR menjadi salah satu pihak yang diminta penjelasan oleh publik.

"Saya juga minta maaf karena pasti semua dari Komisi XI ditanya sebagai partner kami, mengapa ada policy sekarang itu seolah-olah naik, padahal tidak," ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, mengkritisi terkait rencana pengenaan PPN untuk barang kebutuhan pokok. Dia mendesak pemerintah agar membatalkan rencana tersebut.

"Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok tersebut harus dibatalkan. Pemerintah harus peka dengan kondisi masyarakat saat ini. Berhentilah menguji kesabaran rakyat dengan membuat  kebijakan yang tidak masuk akal," kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/6).

Menurut Netty, kebijakan tersebut tidak masuk akal karena dapat menambah beban rakyat yang sedang sulit di tengah pandemi. Menurutnya, kebijakan ini akan menaikkan harga sembako dan tentunya makin membebani masyarakat yang sedang terengah-engah karena dampak pandemi.

"Saat ini banyak masyarakat yang hidup susah karena penghasilan menurun atau kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat juga merosot. Ini kebijakan yang tidak pro rakyat," ujarnya.

Netty mengingatkan pemerintah agar berupaya mencari sumber pendapatan negara. Politikus PKS itu meminta pemerintah kreatif mencari sumber pendapatan negara lainnya dan serius melakukan efesiensi dalam pengelolaan anggaran serta memastikan tidak terjadi korupsi dan kebocoran anggaran.

"Apakah pemerintah sudah tidak tahu lagi cara mencari sumber pendapatan negara kecuali dengan menarik pajak dari rakyat? Sembako pun dipajaki dan dinaikkan nilai pajaknya. Dengan jumlah penduduk yang besar, menarik pajak dari rakyat memang menjadi cara mudah mengumpulkan uang," kata dia.

Netty mengingatkan, pemerintah memiliki tugas untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat, bukan malah menimbulkan kesengsaraan. Ia khawatir kebijakan itu berimbas pada banyaknya keluarga yang kesulitan memenuhi standar gizi untuk anak-anak, bahkan dapat mengancam naiknya angka stunting dan gizi buruk.

"Saat ini saja angka stunting dan gizi buruk kita masih tinggi, bahkan stunting kita nomor empat tertinggi di dunia," ungkap Netty.

Diskon pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler