Beribadah Hingga Datangnya Yakin

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).(Qs. Al-Hijr/ 99)

Republika/Thoudy Badai
Ibadah (Ilustrasi).
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani

 

Perjalanan spiritual manusia dalam mengenal dan mendekat pada Tuhannya memang beragam, penuh rintangan dan tingkatan. Terkadang seseorang yakin dan mantap dalam beribadah dan menerima takdir-Nya, tapi sebaliknya, rasa ragu menghujam dada ketika apa yang diharapkan belum terkabul adanya atau keimanan tengah diuji ketika menerima takdir yang belum sejalan dengan apa yang diinginkan. Sebenarnya, bagaimana yakin ini dalam perspektif al-Qur’an?

Kata yakin terambil dari Bahasa Arab (yaqin) yang berarti hilangnya syak (keraguan), demikian menurut Ibn Faris. Ada istilah ‘ilmu al-yaqin dan tidak ada istilah ma’rifat al-yaqin. Ia adalah ketenangan pemahaman disertai dengan kemantapan putusan. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa yakin melebihi iman, karena iman pada tahap pertama masih selalu disertai tanda tanya dan semacam keraguan sedang yakin adalah hilangnya keraguan dan hati berada dalam kemantapan. Lalu, mengapa ayat di atas menyebut maut (kematian) sebagai yaqin?

Maut (kematian)—seperti ayat yang dikutip pada awal tulisan dinamai sebagai ‘yaqin’ karena tidak seorangpun manusia, apapun agama dan kepercayaannya, jenis kelamin dan suku bangsanya kecuali mengakui (tanpa keraguan sedikitpun) bahwa kematian adalah kepastian, baik sekarang ataupun nanti, tua maupun muda, sehat maupun yang tengah diuji dengan penyakit, seluruh manusia akan menemui ajal (batas akhir) masing-masing dengan waktu yang masih menjadi rahasia-Nya.

Jika kematian dilukiskan al-Qur’an melalui lafadz ‘yaqin’, bagaimana car akita memupuk keyakinan (baik) terhadap Allah sepanjang hidup? Sementara kita tahu, sekelas Kekasih Allah (Khalilullah), Nabi Ibrahim as saja, pernah diliputi keraguan dan hatinya belum mantap soal bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk ciptaan-Nya. Dialog luar biasa ini diabadikan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 260.

 

 

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Mungkin dalam benak, kita akan berpikir, mengapa Nabi Ibrahim as berani mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya pasti ia tahu bahwa Allah memang mampu menghidupkan dan mematikan? Nabi Ibrahim as seolah memberi teladan untuk kita semua bahwa ‘keyakinan’ manusia tak cukup hanya sampai di titik ‘ilmu’ saja. Melainkan harus diperkuat dengan penglihatan, hingga hati Nabi Ibrahim pun menjadi mantap. 

Karenanya terkait yakin, al-Qur’an menyebut tiga macam yakin, yaitu ‘ilm yaqin, ‘ain al-yaqin—yang keduanya disebut dalam Qs. Al-Takatsur/ 102: 5. Juga satu lagi, haq al-yaqin dalam Qs. Al-Haqqah/ 69: 51, dan al-Waqi’ah/ 56: 95. Terkait definisi ketiga jenis yakin, para ulama berbeda pendapat. Sederhananya, kita bisa mengartikan tiga jenis yakin itu dengan kata yang disandingkan bersama dengan kata ‘yakin’. ‘Ilm yaqin ialah pengetahuan yang demikian mantap sehingga menampik segala keraguan tetapi baru sebatas apa yang ada di dalam benak, belum dibuktikan pandangan mata. Kalau pengetahuan itu sudah dikukuhkan oleh pandangan mata, terlihat secara jelas dan tersurat, maka itu adalah ‘ain al-yaqin. Sedikit berbeda dengan Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan, ia memaparkan bahwa ‘ain al-yaqin bukan hanya keyakinan yang mencakup penglihatan (organ) mata, namun juga mantap secara hati/ batin.

Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa ‘ilm yaqin diketahui melalui informasi, analogi dan argumentasi, sedang ‘ain al-yaqin adalah yang disaksikan oleh mata kepala. Sementara haq al-yaqin adalah tingkatan tertinggi. Keyakinan yang hadir setelah berinteraksi dengannya, menemukan dan merasakan.

 

 

 

Ibn Qayyim dalam definisinya mengenai yakin, memberikan analogi tentang madu. Jika seseorang berkata bahwa ia memiliki madu, maka ia baru sampai tingkat ‘ilmu al-yaqin. Namun seteelah ia melihat madu itu dengan mata kepala sendiri dengan jelas, maka itulah ‘ain al-yaqin. Terakhir, jika ia sudah melihat sekaligus mencicipi rasanya madu itu, maka itulah haqq al-yaqin.

Uraian tentang yakin di atas, memberikan kita gambaran bukan hanya karena kebaikan dan kebesaran Allah yang telah menghidupkan, memberi perlindungan sepanjang hayat, lengkap dengan kenikmatan-kenikmatan di lautan dan daratan untuk dimanfaatkan seluruh manusia tanpa terkecuali, namun juga memberikan kita peringatan bahwa hendaknya, semua makhluk yang mengimani-Nya, istiqamah dalam ibadah hingga datang fase-fase yang ia ‘yakini’ yakni kematian; fase dimana ruh dan jiwa-Nya kembali kehadirat-Nya, melepas semua yang ia punya selama di dunia, hanya amal-amal shaleh saja yang mampu menolong dirinya. 

 

 

 

 
Berita Terpopuler