Ragam Fee dan Gocekan Pola Kuota Bansos Covid oleh Juliari

Saksi sebut Juliari ubah pola kuota pengadaan bansos karena target fee tak memuaskan.

Republika/Thoudy Badai
Mantan menteri sosial Juliari Batubara menjalani sidang lanjutan terkait kasus dugaan korupsi dana paket Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/6). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan sejumlah saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum KPK ,di antaranya terdakwa kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 Matheus Joko Santoso. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah

Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara disebut telah menerima Rp 11,2 miliar sebagai fee pengadaan bansos sembako Covid-19. Hal itu terungkap berdasarkan kesaksian mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako Covid-19, Matheus Joko Santoso, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/6).

"Pada putaran pertama jumlah fee setoran tahap 1, 3, komunitas, 5, 6 adalah Rp 14,014 miliar untuk fee setoran dan sudah diserahkan sebanyak lima kali ke Pak Juliari sebesar Rp 11,2 miliar," kata Joko.

Joko mengaku bertugas untuk mengutip Rp 10 ribu/paket sembako sebagai fee setoran dan Rp 1.000/paket sembako sebagai fee operasional dari para perusahaan vendor penyedia bansos sembako. Pagu anggaran per paket sendiri adalah Rp 300 ribu/paket dengan jumlah paket per tahap adalah 1,9 juta paket.

Putaran pertama pengadaan bansos sembako berlangsung pada April-Juni 2020 untuk enam tahap pengadaan. Dari putaran pertama itu, realisasi fee setoran dan operasional yang berasal dari perusahaan-perusahaan penyedia bansos sembako Covid-19 mencapai Rp 19,132 miliar.

"Saya serahkan langsung ke Pak Adi Wahyono, Pak Adi serahkan ke Pak Eko atau Bu Selvy," kata Joko menambahkan.

Eko yang dimaksud adalah Eko Budi Santoso yang adalah ajudan Juliari. Sedangkan, Selvy adalah Selvy Nurbaety yang merupakan sekretaris pribadi Juliari.

"Saya konfirmasi ke terdakwa untuk memastikan uang yang diberikan ke Pak Eko dan Bu Selvy apa sudah diterima atau belum, kemudian dari beberapa pertemuan atau menghadap (Juliari) kita juga diminta untuk melanjutkan pengumpulan fee sampai bulan Juni-November," ungkap Joko.

Dalam persidangan, Joko juga mengungkap target pengumpulan fee sebesar Rp 35 miliar. Setelah dicecar jaksa KPK, Joko memerinci tahapan pengumpulan fee tersebut.

"Itu bagaimana target munculnya?" tanya Jaksa M Nur Aziz kepada Joko.

Baca Juga

"Pada waktu itu Pak Koko menyampaikan tabel kepada saya, di situ ada nama vendor, sekitar bulan Juni, yang berlangsung putaran pertama, tahap 1,3,5, dan 6," ungkap Joko.

Joko mengaku, setiap vendor pengadaan bansos dipungut fee senilai Rp 10 ribu untuk perpaket bansos. Bahkan, Kukuh Ariwibowo membeberkan vendor-vendor pengadaan bansos tersebut.

"Di situ disampaikan tentunya tabel Pak, ada nama vendor, kemudian jumlah kuota, dikalikan Rp 10 ribu, ada tertulis gitu," kata Joko menerangkan.

"Jadi, ilustrasinya pada tahap satu itu ada 21 vendor, target fee Rp 9,5 miliar, kemudian di tahap tiga Rp 6,4 miliar, sudah tertulis. Jadi, ada tabel yang kosong yang harus saya isi, artinya yang saya isi itu berapa yang sudah saya terima dari vendor, aktualnya seperti itu," ujar Joko.

"Tahap satu targetnya Rp 9,576 miliar," lanjut  Joko.

"Untuk Tahap tiga?" cecar Jaksa Nur Aziz.

"Realisasinya fee setorannya Rp 825 juta, dari target Rp 6,4 miliar," ungkap Joko?

"Tahap komunitas?" tanya jaksa lagi.

"Tahap komunitas targetnya Rp 7,35 miliar, tahap lima Rp 6,37 miliar, dan tahap enam Rp 6,843 miliar," kata Joko menjelaskan.

"Sehingga total target fee-nya adalah sebesar Rp 36,554 miliar. Setelah didiskusikan, kita diminta hanya 35 miliar," ujar Joko.

Joko mengaku tugas pengumpulan fee tidak hanya dibebankan kepada dirinya, tapi juga kepada kuasa pengguna anggaran (KPA) Kemensos, Adi Wahyono.

"Selain saksi ada siapa aja?" tanya jaksa.

"Adi Wahyono, di ruangan Kepala Biro Umum," ujar Joko.

Juliari disebut mengubah pola kuota pengadaan bansos sembako Covid-19 pada tahap dua, yaitu Juli-Desember 2020. Pola pengadaan kuota diubah karena target fee tidak memuaskan.

"Yang menyampaikan Pak Juliari katanya di putaran kedua ada perubahan pola, saya tidak disampaikan detail alasannya karena waktu itu yang mengkoordinasikan Pak Kukuh dan Pak Pepen serta pejabat Kemensos lainnya tapi dirasakan Pak Menteri (fee) kurang memuaskan," kata Matheus Joko.

Kukuh yang dimaksud Joko adalah Tim Teknis Juliari Batubara untuk bidang komunikasi, sedangkan Pepen adalah Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin. "Perubahan polanya dari 1,9 juta paket per tahap, 1 juta paket dikoordinir oleh Pak Herman Hery, yang 400 ribu paket dikoordinir Pak Ihsan Yunus, 200 ribu paket oleh Pak Juliari sendiri dan 300 ribu istilahnya bina lingkungan," ungkap Joko.

Herman Hery diketahui adalah Ketua Komisi III DPR dari fraksi PDI-Perjuangan. Sedangkan, Ihsan Yunus merupakan bekas Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang juga berasal dari fraksi PDI-Perjuangan.

"Bina lingkungan itu sebenarnya mengakomodir vendor-vendor yang belum pernah mendapat kuota pekerjaan, jadi untuk mengakomodir vendor-vendor lain yang belum dapat, pengelolaannya saya dan Pak Adi," tambah Joko.

Adi saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Umum Kemensos sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran. "Pada intinya Pak Adi yang mengumpulkan atensi-atensi dan saya yang merekap. karena daftar vendor disetujui Pak Juliari dulu sesuai permintaan terkait kuota-kuota yang sudah memberikan rekomendasi," papar Joko.

"Dalam BAP saudara mengatakan untuk pengadaan bansos tahap 7-12 memang saya dan Pak Adi merekap atensi-atensi termasuk pembagian kuota yang dikoordinir dan setelah kita buat draf saya serahkan ke Pak Adi untuk dilaporkan ke Pak Juliari untuk dikoreksi dan setelah ada persetujuan oleh Pak Juliari, daftar tersebut disampaikan ke saya dan ketika disampaikan ke saya, Pak Adi sekaligus menjelaskan pemilik paket, nama vendor, kuota dan PIC-nya siapa, apakah keterangan saudara ini benar?" tanya JPU KPK Ikhsan Fernandi.

"Benar," jawab Joko.

Menurut Joko, untuk pembagian satu juta paket milik Herman Hery, yang menjadi operator bernama Ivo, Yogi, Stevano dan Budi Pamugnkas. Untuk paket 400 ribu milik Ihsan Yunus, operatornya adalah Yogas dan Iman serta paket 200 ribu milik Juliari yang menjadi operator adalah Kukuh.

"Kukuh itu jadi operator mulai tahap 1, 3, 5, 6 tapi untuk tahap 7-12, perusahaan-perusahaan vendornya tidak berkoordinasi dengan saya, jadi saya tidak tahu," ungkap Joko.

Namun, Joko mengetahui dua perusahaan yang mendapat jatah kuota milik Juliari tersebut yaitu PT. Bismacindo Perkasa dan PT. Asricitra Pratama. "Untuk Asricitra biasanya ke Pak Kuncoro berdasarkan draf dari Pak menteri, setelah disetujui Pak Juliari lalu draf diberikan ke saya untuk dibuat SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa)," ujar Joko.

Dalam perkara ini, Juliari didakwa menerima suap uang sebesar Rp 32 miliar melalui Plt Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos, Adi Wahyono, yang juga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan Bansos Covid-19, Matheus Joko Santoso.

Adapun, rincian uang yang diterima Juliari melalui Adi Wahyono dan Matheus Joko yakni, berasal dari Konsultan Hukum, Harry Van Sidabukke, senilai Rp 1,28 miliar. Kemudian, dari Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja, sejumlah Rp 1,95 miliar, serta sebesar Rp 29, 252 miliar berasal dari para pengusaha penyedia barang lainnya.

Atas perbuatannya, Juliari Batubara didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sebelumnya, kuasa hukum Juliari, Maqdir Ismail mengaku mencium ada upaya pihak-pihak yang sengaja membuang kesalahan dan tentunya diarahkan kepada kliennya. Seperti soal pencatutan nama.

Maqdir menilai, keterangan dua mantan pejabat Kemensos, yakni Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) mengada-ada. Dia menyebut, pernyataan keduanya bisa jadi hanya untuk menyeret Juliari.

"Keterangan yang mereka sampaikan adalah keterangan saksi jahat, karena apa yang mereka sampaikan adalah bentuk  upaya mereka untuk melibatkan orang lain, sebab dengan begitu mereka berharap mendapat keringanan hukuman," ungkap Maqdir.

Menurut Maqdir, jika ada pernyataan adanya permintaan fee sebagai arahan dari Juliari Peter Batubara, dapat dipastikan bahwa dengan keterangan tersebut berkehendak untuk melimpahkan tanggung jawab menerima suap kepada atasannya.

"Khusus terhadap MJS, menurut hemat saya, bukan orang yang layak dipercaya, karena dengan serakah telah menggunakan jarahannya yang dikatakan seolah-olah untuk kepentingan JPB, telah digunakan bersenang-senang dengan Daning Saraswati, yang dikatakan oleh HVS sesuai pengakuan MJS sebagai istri mudanya," papar Maqdir.

Bukan itu saja, Maqdir menyebut, MJS juga telah menggunakan uang fee yang ditarik dari vendor untuk kepentingan modal Daning Saraswati sebasar Rp 3 miliar.

"Uang itu digunakan untuk membeli rumah bersama Daning, beli mobil untuk Daning dua unit dan untuk dirinya sendiri satu unit," tegas Maqdir.

 

Korupsi Bansos Menjerat Mensos - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler