Terlalu Sering Zoom Buat Banyak Orang tak Pede dengan Wajah

Terlalu sering menggunakan Zoom munculkan fenomena Zoom dysmorphia.

www.freepik.com
Aplikasi Zoom (ilustrasi).
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terlalu sering menggunakan aplikasi konferensi video ternyata berdampak pada perilaku sosial. Banyak orang yang tidak percaya diri dengan wajah mereka hingga menyebabkan Zoom dysmorphia. 

Baca Juga

Zoom dysmorphia adalah bentuk gangguan dysmorphic tubuh, lebih khusus lagi dysmorphia wajah. Ini adalah kondisi di mana seseorang memi liki persepsi yang salah tentang fitur wajah mereka.

Laporan di International Journal of Women's Dermatology Januari lalu menyebutkan lebih dari separuh profesional medis yang disurvei memperhatikan peningkatan pasien yang mencari konsultasi kosmetik, dibandingkan waktu sebelum pandemi. Sebanyak 86 persen dari mereka mengungkapkan, para pasien menyebut panggilan konferensi video sebagai alasan untuk mempertimbangkan perubahan pada penampilan mereka.

Menurut artikel BBC pada September 2020, British Association of Aesthetic Plastic Surgeons mengungkapkan, para dokternya melaporkan peningkatan permintaan konsultasi virtual hingga 70 persen selama tahap awal pandemi.

Dr Zama Tladi selaku kepala klinik estetika medis di Pretoria, Afrika Selatan, mengatakan, kepada InsideHook bahwa dia juga mengamati peningkatan signifikan pada klien yang meminta perubahan pada penampilan mereka. Tren ini mengindikasikan, mereka didorong oleh ketidakpuasan dalam cara mereka melihat diri mereka sendiri selama melakukan panggilan konferensi video.

Tladi mengungkapkan, banyak klien yang memintanya untuk menghilangkan garis di sekitar mulut mereka, atau biasa disebut lipatan nasolabial. "Beberapa orang lain mengeluh tentang kerutan yang ada di dekat mata mereka," lanjutnya.

Sementara itu, beberapa kliennya juga melihat adanya masalah dengan pigmentasi kulit. Mereka pun lebih suka menjalani semacam prosedur untuk "memperbaikinya" secara permanen daripada terus merias wajah.

Bagian dari Gangguan Dismorfik Tubuh

Bagi orang yang hidup dengan body dysmorphic disorder (BDD), jenis perilaku ini sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi pandemi ternyata telah menghasilkan cara baru untuk gejala BDD terwujud.

Menurut Fugen Neziroglu, PhD, seorang psikolog bersertifikat dan direktur eksekutif dari pusat perawatan dan penelitian Bio Behavioral Institute di Long Island, New York, perilaku para penderita BDD biasanya dapat dilihat dari kebiasaannya yang terus-menerus mengaca.

"Banyak orang mengira mereka narsistik, tapi justru sebaliknya. Orang-orang ini merasa sangat jelek dan mereka ingin bersembunyi dari orang lain," ujarnya.

Neziroglu menambahkan, orang-orang ini memiliki gagasan tentang bagaimana mereka ingin terlihat dan berupaya mengejar cara apa pun agar dapat mengubah penampilannya. Hal ini bisa dilakukan dengan operasi kosmetik atau pilihan yang lebih terjangkau. Misalnya, dengan terus-menerus mendorong hidung mereka atau merapikan gigi dengan kikir kuku. 

 

Bermuara dari Aplikasi

Zoom dianggap merupakan tempat yang sempurna untuk gejala BDD karena apa yang kita lihat di layar bukanlah representasi akurat dari penampilan kita. Ukuran lensa dan jarak subjek, menjadi pertimbangan krusial dalam fotografi.

Hal ini kemudian secara dramatis memengaruhi bagaimana permasalahan ini muncul. Wajah pada platform konferensi video paling sering diambil pada lensa kecil dari dekat.

"Kami menemukan bukti, kamera depan pada perangkat, seperti laptop dan ponsel, sebenarnya lebih mengubah proporsi wajah daripada kamera kelas profesional," ungkap dokter kulit bersertifikat Arianne "Shadi" Kourosh.

Selain Zoom dysmorphia, ada pula fenomena Snapchat dysmorphia. Ini adalah ketika orang sangat terpaku pada penampilan mereka di filter foto aplikasi, sehingga mencari operasi plastik. Salah satu makalah jurnal medis yang diterbitkan pada 2018 mengaitkan Snapchat dysmorphia dengan BDD, dan Kourosh mengatakan, beberapa kasus Snapchat dysmorphia sangat mendalam, sehingga orang-orang mencari perubahan yang tidak dapat diselesaikan dengan operasi plastik.

Dengan maraknya filter media sosial dan platform konferensi video yang memiliki fitur "penyempurnaan" wajah, Kourosh mengamati, orang-orang akan semakin kehilangan gambaran tentang seperti apa proporsi estetika normal wajah yang sebenarnya.

 

Di Nubian Medical Aesthetics di Afrika Selatan, Dr Zama Tladi, menjelaskan, ketika klien membuat permintaan yang tampaknya berasal dari BDD, ia akan meminta mereka menemui spesialis kesehatan mental terlebih dahulu. "Saya tidak dapat memperbaiki sesuatu yang bahkan tidak dapat saya lihat dengan mata saya," ujarnya. 

 
Berita Terpopuler