Hukum Jual-Beli Kucing

Jumhur fuqaha empat mazhab berpendapat jual-beli kucing itu harus dipilah.

ANTARA/Maulana Surya
Hukum Jual-Beli Kucing. Relawan menyisir kucing liar untuk diberi makan di kawasan Pasar Legi, Solo, Jawa Tengah.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual-beli. Menurut mazhab Hanafi, rukun jual-beli itu hanya satu, yakni akad saling rela antara mereka (an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ijab, ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (kabul, ungkapan menjual dari penjual).

Baca Juga

Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat. Sedang menurut jumhur fuqaha (mayoritas ulama fiqih), rukun jual-beli itu adalah [a]. Penjual dan pembeli; [b]. Ijab dan kabul; [c]. Ada barang yang dibeli; [d]. Ada nilai tukar (harga).

Adapun syarat jual-beli yang terpokok adalah: orang yang berakad harus berakal sehat, barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya, barang yang diperjualbelikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual-beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan. Bagaimana halnya dengan jual-beli kucing, jika sudah memenuhi ketentuan pokok jual-beli di atas, boleh/sahkah?

KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer 3 mengatakan ada banyak hadits yang secara redaksional melarang jual-beli kucing, antara lain: Abu Zubair pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah r.a. mengenai uang hasil penjualan anjing dan kucing. Maka Jabir mengatakan: "Rasulullah SAW melarang keras hal ini" (HR Muslim).

Dalam hadits lain diriwayatkan Rasulullah SAW melarang uang hasil penjualan anjing dan kucing (HR Abu Dawud, an Nasa'i, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah r.a.). Ada pula riwayat yang lain bahwa Rasulullah SAW melarang makan daging kucing dan juga melarang makan uang dari penjualan kucing (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim dari Jabir bin Abdullah r.a.)

 

Berdasarkan redaksi eksplisit dari hadits-hadits di atas, fuqaha Zhahiriyah (ulama fiqih pengikut mazhab Dawud azh-Zhahiri) mengharamkan jual-beli kucing secara mutlak, segala jenis kucing haram diperjualbelikan. Dalam kaidah ushul fiqih juga dinyatakan: Kullu ma hurrima 'alal ibadi fabai'uhu haram (Segala sesuatu yang diharamkan terhadap manusia, maka menjualnya juga haram); padahal daging kucing itu haram dimakan, maka dengan sendirinya juga haram diperjualbelikan.

Sedangkan jumhur fuqaha empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) berpendapat jual-beli kucing itu harus dipilah menjadi dua kategori. Pertama, jual-beli kucing liar (sinnaur-Arab, kucing alasan Jawa) itu dilarang, haram hukumnya, karena tidak jelas pemiliknya dan tidak ada manfaatnya. Itulah yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas, yang dalam riwayat Muslim memang menggunakan kata sinnaur (kucing liar).

Kedua, jual beli kucing jinak (hirrah-Arab) diperbolehkan, sah akadnya, asal jelas pemiliknya dan ada manfaatnya karena pada dasarnya kucing itu bukan binatang yang najis. Walaupun dagingnya haram dikonsumsi, tetapi boleh dipelihara; seperti halnya keledai yang juga boleh dijualbelikan, boleh dipelihara, tetapi tidak boleh dikonsumsi dagingnya.

Dalam Islam, kucing (hirrah) mendapat tempat yang cukup terhormat. Ada sahabat yang dijuluki Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil) karena ke mana pun beliau pergi hampir selalu bersama kucing piaraannya, padahal nama asli beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.

 

Andai kucing itu bukan binatang terhormat, maka mustahil Rasulullah SAW membiarkan sahabat beliau dijuluki dengan bapaknya kucing kecil (Abu Hurairah). "Kehormatan" kucing tidak berhenti sampai di situ.

Ada hadits sahih yang mencerminkan penghargaan Rasulullah SAW pada kucing. Beliau bersabda: "Ada seorang wanita yang disiksa karena kucing. Wanita itu mengurung seekor kucing sampai mati, akibatnya dia pun masuk neraka. Tatkala mengurung kucing tersebut, dia tidak memberinya makan, tidak juga memberinya minum, dan tidak juga membiarkannya pergi mencari makan sendiri dengan menangkap serangga" (HR al Bukhari dan Muslim). Jadi, kucing jinak itu, di samping suci, terhormat, dan ada manfaatnya (untuk menakuti tikus, misalnya), juga boleh diperjualbelikan.

Mengenai gagasan adopsi kucing, jika jual-belinya diharamkan, tidak perlu dimunculkan karena malah akan menambah rumit masalah. Adopsi anak manusia saja dilarang (al-Ahzab: 4), apalagi adopsi kucing, apa nasabnya akan disandarkan pada yang mengadopsi?

Jika ragu dengan hukum bolehnya jual-beli kucing, maka bisa ditempuh cara hibah (pemberian), yang punya kucing memberikan kucingnya pada yang berminat, jelas boleh dan sah, tidak perlu menempuh cara adopsi.

 
Berita Terpopuler