Penjelasan OJK Soal Risiko Aset Kripto

Aset kripto tak bisa dipakai bertransaksi di Indonesia.

EPA
Sejumlah mata uang kripto di dunia, Bitcoin (bawah kanan), Ethereum (tengah), Ripple (kanan), dan Cardano (kiri).
Rep: Novita Intan Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerangkan sejumlah risiko jika menaruh dana pada aset kripto. Setidaknya ada sejumlah risiko aset kripto yang dicermati oleh OJK. 

Baca Juga

Pertama, aset kripto tak bisa dipakai berbelanja di Indonesia karena aset kripto saat ini merupakan jenis komoditi, bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

"OJK telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai otoritas pembayaran dan menyatakan bahwa mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Selasa (25/5).

Kedua, aset kripto memiliki nilai yang fluktuatif dan tidak terkendali, yang sewaktu-waktu dapat naik dan turun, sehingga masyarakat harus paham dari awal potensi dan risikonya sebelum melakukan transaksi aset kripto.

Ketiga, aset kripto tidak diawasi oleh OJK. Sebagai informasi, saat ini OJK tidak melakukan pengawasan dan pengaturan atas aset kripto, melainkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.

Merujuk pada Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019, crypto asset atau aset kripto adalah komoditi yang tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.

Bappebti telah mengeluarkan daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan dan pedagang aset kripto yang telah mendapat persetujuan untuk melakukan transaksi aset kripto.

 
Berita Terpopuler