Sejarah AS Memblokir Resolusi PBB Terhadap Israel

AS memang menganakemaskan Israel m begitu juga semua presidennya tanpa terkecuali

google.com
Ilustrasi: Israel anak emas Amerika Serikat.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Amerika Serikat telah memveto lusinan resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang mengkritik Israel, termasuk setidaknya 53 resolusi sejak 1972, menurut data PBB.

Kenyataan ini terdapat dalam tulisan Creede Newton di Aljazeera.com, pada 19 Mei 2021.

Dalam tulisan itu disebutkan, dengan adanya eskalasi kekerasan terbaru antara Israel dan Palestina yang sekarang memasuki hari kesepuluh, AS memang telah dan selalu berpegang teguh pada pedoman itu.

Pada hari Senin lalu, Washington memblokir pernyataan bersama yang menyerukan gencatan senjata segera antara Israel dan Hamas - veto ketiga AS yang dilaporkan dalam waktu seminggu.

Apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung?

Dukungan tegas AS terhadap Israel telah menggagalkan resolusi yang mengutuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa, permukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki serta dibangun sejak 1967. Selain itu bahkan ada resolusi yang menyerukan penyelidikan atas pembunuhan tujuh pekerja Palestina pada 1990 oleh seorang mantan tentara Israel.

Keterangan foto: Amerika Serikat memiliki sejarah panjang dalam memblokir resolusi PBB terhadap Israel

 

Great March of Return

Warga Palestina di Gaza mulai memprotes  pagar perbatasan Israel pada Maret 2018. Mereka menyerukan "hak untuk kembali" ke rumah leluhur di mana keluarga mereka diusir pada tahun 1948 selama apa yang oleh orang Palestina disebut sebagai "Nakbah", atau pembentukan negara Israel.

PBB memperkirakan 750.000 warga Palestina diusir tahun itu. Warga Palestina menghadapi tembakan penembak jitu dari pasukan Israel selama protes selama setahun, yang menewaskan sedikitnya 266 orang dan melukai sekitar 30.000 lainnya, menurut kementerian kesehatan Gaza.

Keterangan foto: Seorang pengunjuk rasa Palestina melemparkan batu ke pasukan Israel selama protes di perbatasan Jalur Gaza dengan Israel selama demonstrasi mingguan Palestina di sepanjang perbatasan Jalur Gaza dengan Israel pada 28 September 2018 [File: Khalil Hamra / AP Photo]

Pada tanggal 1 Juni 2018, DK PBB menyusun sebuah resolusi yang menyatakan "keprihatinan besar pada eskalasi kekerasan dan ketegangan" sejak protes dimulai. Ini termasuk juga adanya resosuli yang berisi:

"kekhawatiran mendalam atas hilangnya nyawa warga sipil dan tingginya jumlah korban di antara warga sipil Palestina, khususnya di Jalur Gaza, termasuk korban di antara anak-anak, yang disebabkan oleh pasukan Israel ”.

AS memveto resolusi ini. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan itu menyajikan "pandangan yang sangat sepihak tentang apa yang telah terjadi di Gaza dalam beberapa pekan terakhir". Haley menyalahkan Hamas atas kekerasan tersebut.

Para kritikus mengatakan dukungan menyeluruh Washington terhadap Israel mendorong penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap warga Palestina, termasuk pemboman Israel saat ini di Jalur Gaza yang terkepung. Dan kini telah menewaskan sedikitnya 219 warga Palestina, termasuk 63 anak-anak.

Pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel Yerusalem Timur dimaksudkan untuk menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan, sebagaimana diuraikan dalam perjanjian internasional.

Namun daerah tersebut telah diduduki oleh Israel sejak tahun 1967, ketika pasukan Israel mengalahkan pasukan dari Yordania - yang saat itu menguasai Yerusalem Timur dan Tepi Barat - Mesir, Suriah dan sekutu Palestina, untuk menduduki seluruh Palestina yang bersejarah.

Status Yerusalem Timur yang diduduki dimaksudkan untuk ditentukan melalui negosiasi perdamaian. Hukum internasional, termasuk resolusi DK PBB, menyatakan bahwa Yerusalem Timur tidak boleh dianggap sebagai wilayah Israel.

Keterangan foto: Warga Palestina mengevakuasi seorang pria yang terluka selama bentrokan dengan pasukan keamanan Israel di depan Kubah Batu di kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem pada 10 Mei 2021 [File: Mahmoud Illean / AP Photo] .

Tetapi mantan Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. Sebuah rancangan resolusi dari 18 Desember 2017, menulis: “bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan telah diubah, karakter, status atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki pengaruh hukum, batal demi hukum, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi yang relevan dari Dewan Keamanan. ”

Dalam memveto resolusi tersebut, Haley mengatakan AS “memiliki keberanian dan kejujuran untuk mengakui realitas fundamental. Yerusalem telah menjadi tanah air politik, budaya, dan spiritual orang-orang Yahudi selama ribuan tahun."

 

Menuntut diakhirinya kekerasan Israel-Palestina selama Intifada Kedua

Intifada Kedua, atau pemberontakan Palestina, dimulai pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Israel saat itu Ariel Sharon, ditemani oleh angkatan bersenjata berat, memasuki kompleks Masjid al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki.

Tindakan provokatif tersebut memicu rasa frustrasi yang sudah lama membara atas kegagalan janji Kesepakatan Oslo untuk mengakhiri pendudukan Israel atas tanah Palestina.

Kesepakatan Oslo ditandatangani oleh pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1993. Namun pendudukan berlanjut hingga tahun 2000, dengan permukiman Israel meningkat dan kedaulatan Palestina tidak terlihat.

 Pada bulan Desember 2001, serangkaian pemboman bunuh diri membuat Israel membalas dengan menghancurkan sebagian besar markas Arafat di Ramallah, yang pada dasarnya memaksanya menjadi tahanan rumah. Intifada Kedua, periode ketegangan Israel-Palestina yang meningkat, dimulai pada akhir September 2000.

Berbeda dengan Intifadah Pertama pada akhir 1980-an dan awal 1990-an yang sebagian besar damai, Intifada Kedua sangat kejam, dengan kelompok bersenjata Palestina menyerang pasukan Israel dan peningkatan tajam dalam serangan bunuh diri terhadap pusat-pusat sipil Israel.

Korban tewas mencapai lebih dari 3.000 orang Palestina dan hampir 1.000 orang Israel, bersama dengan 45 orang asing, menurut penghitungan BBC.

Sebuah draf resolusi DK PBB (PDF) dari Desember 2001 menyatakan "keprihatinan besar atas kelanjutan peristiwa tragis dan kekerasan yang telah terjadi sejak September 2000", mengutuk serangan terhadap warga sipil dan menyerukan agar pembicaraan damai dilanjutkan.

Saat memveto resolusi tersebut, Duta Besar AS untuk PBB John Negroponte mengatakan “draf resolusi sebelum kami gagal untuk mengatasi dinamika yang bekerja di kawasan. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk mengisolasi secara politis salah satu pihak."

 

Perluasan pemukiman

AS telah memveto setidaknya empat resolusi DK PBB yang mengutuk pemukiman Israel di tanah Palestina, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

Kala itu ada sekitar 600.000 dan 750.000 pemukim Israel di setidaknya 250 permukiman (130 resmi, 120 tidak resmi) di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki. Permukiman ini telah meledak di bawah pemerintahan Perdana Menteri Israel yang 'hawkish', Benjamin Netanyahu, yang memulai masa jabatannya saat ini pada tahun 2005.

Benjamin dan kaum 'Hawkish' di AS ini telah lama dianggap sebagai penghalang utama untuk mencapai negara Palestina. Veto AS atas resolusi yang mengutuk permukiman Israel setidaknya berasal dari tahun 1983.

Yang terbaru adalah pada tahun 2011, ketika draf resolusi bertujuan untuk menegaskan kembali "semua aktivitas permukiman Israel di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, adalah ilegal dan merupakan hambatan utama bagi tercapainya perdamaian atas dasar solusi dua negara ”.

Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice saat itu mengatakan Washington setuju bahwa aktivitas pemukiman adalah ilegal, tetapi “kami pikir tidak bijaksana bagi Dewan ini untuk mencoba menyelesaikan masalah inti yang memecah belah Israel dan Palestina. Oleh karena itu, sayangnya, kami menentang draf resolusi ini,'' kata Rice yang bertugas di bawah mantan Presiden Barack Obama.

Apa yang dikatakan Rice tentu menyebabkan kontroversi diplomatik pada tahun 2016, atau beberapa bulan sebelum dia meninggalkan jabatannya untuk digantikan oleh pemerintahan Trump.

Selanjutnya, Presiden AS Joe Biden, yang menjabat sebagai wakil presiden Obama, kala itu sudah dikenal karena dukungannya terhadap Israel. Tapi dia menghadapi tekanan dari Demokrat progresif dan lainnya untuk mengambil peran lebih besar dalam mendukung hak-hak Palestina.

Biden secara terbuka menyuarakan dukungan untuk gencatan senjata pada hari Senin, permintaan yang diajukan dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh 25 anggota parlemen dari Partai Demokrat.

Namun di sini Biden juga terjebak dengan kebijakan lama Washington yang gagal mengakui sifat asimetris konflik Israel-Palestina dengan mengungkapkan dukungannya yang tak tergoyahkan untuk Israel dan "hak untuk mempertahankan diri".

 

 
Berita Terpopuler