Runtuhnya Mitos-Mitos Zionis Israel

Zionis Israel sebenarnya berada dalam kondisi terdesak akibat perlawanan Palestina

AP Photo/Majdi Mohammed
Seorang pengunjuk rasa mengibarkan bendera Palestina selama bentrokan dengan pasukan Israel di pos pemeriksaan Hawara, selatan kota Nablus, Tepi Barat, Jumat, 14 Mei 2021.
Rep: IRNA Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, --- Israel terus menggempur tanah-tanah Palestina di Jalur Gaza. Israel beralasan mereka sedang mempertahankan diri. Tetapi sebenarnya mereka ingin menguatkan posisi pendudukan atas tanah Palestina. 

Israel tetaplah negara penjajah yang mencoba membalikkan logika sedang bertahan dari serangan Palestina --sebuah kesalahan logika berpikir sebab (non causa pro causa). 

Yang terjadilah adalah tanah-tanah Palestina diduduki, tanah dan rumah mereka dirampas, dan diskriminasi keras terhadap warga Palestina.

Belakangan, rakyat Palestina makin terluka menyusul perampasan rumah-rumah mereka di Sheikh Jarrah di Yerusalem al-Quds. Penindasan dan diskriminasi rezim Zionis terhadap Palestina ini kemudian menyebabkan pemberontakan publik.

Mosayyeb Naimi, seorang ahli Timur Tengah dan direktur pelaksana surat kabar al-Wefaq, seperti dikutip IRNA, Iran, menulis sebuah memo tentang runtuhnya mitos-mitos Zionis Israel, yang telah diterbitkan oleh surat kabar Iran pada hari Sabtu. 

Dia mencatat: Intifadah Al-Quds berlanjut di tahun-tahun dan dekade sebelumnya, tetapi situasi di lapangan dan di arena internasional berbeda kali ini.

Menurut Naimi, karena negara-negara Barat dan terutama Amerika Serikat bergulat dengan pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi yang disebabkan oleh penyakit tersebut, mereka tidak dapat menerima dampak politik dan ekonomi dari kekejaman yang dilakukan rezim Zionis. 

Kelompok perlawanan di Palestina telah meningkatkan kemampuan militer mereka. Para pejuang Palestina ini jauh lebih siap dari sebelumnya untuk mewujudkan perjuangan dan pembebasan Palestina.

Terlepas dari kenyataan bahwa persenjataan gerakan perlawanan Palestina tidak dapat dibandingkan dengan senjata Israel, kelompok perjuangan Palestina mampu mengubah keseimbangan menakutkan ini yang sekarang berpihak pada Palestina, yang mirip dengan strategi gerakan Hizbullah Lebanon dalam menghadapi tentara Zionis.

Zionis yang coba diperlihatkan tangguh lewat serangan-serangan rudal ke Palestina sebetulnya sudah mulai rapuh. 

Pemerintah Israel tidak bisa menahan lagi kaburnya warga Israel dari rumah-rumah mereka di permukiman-permukinan yang dibangun dengan biaya mahal.

Banyak warga Israel kembali ke negara-negara asal mereka di Eropa, Amerika, dan Afrika. Dan fakta, kata Naimi, militer Palestina makin membaik.

Naimi menulis tidak diragukan lagi, rezim Zionis akan berusaha menggempur kota-kota Palestina dan menghancurkan bangunan tempat tinggal rakyat.

Tetapi, kata dia, rezim Tel Aviv tidak mampu berjibaku terus dengan konflik yang berkepanjangan, khususnya ketika mereka merasa tidak aman tinggal di permukiman-permukiman.

Kemudian, Naimi menyatakan rezim akan didorong untuk menerima gencatan senjata yang melibatkan syarat-syarat baru dari pihak Palestina.

Rezim Zionis pun, jelas Naimi, memiliki masalah yang lebih besar, yaitu kurangnya informasi tentang kekuatan militer yang tepat dari front gerakan perlawanan terutama dari Jihad Islam dan Hamas.

Kelompok perlawanan dan pejuang Palestina mendapatkan pengalaman yang baik selama perang sebelumnya. Naimi mengatakan para pejuang Palestina ini berencana memperluas cakupan konflik dan menciptakan ketakutan serta kepanikan di antara kaum Zionis. 

Sebagai akibat dari taktik tersebut, lebih dari 70 persen Zionis telah dipaksa pergi ke tempat penampungan, meninggalkan permukiman mereka. 

Para pemukim yang tinggal di dekat perbatasan Jalur Gaza telah meninggalkan rumah mereka, bandara ditutup, dan Zionis kaya telah memulai migrasi balik ke negara-negara asal. 

Masalah penting lainnya adalah bahwa Intifadah al-Aqsa melibatkan wilayah yang paling banyak diduduki. Gerakan intifadah ini memutus mitos Zionis tak terkalahkan.

Belum lama ini, kata Naimi, pemecatan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu oleh faksi-faksi yang bersaing membuktikan bahwa para petinggi rezim Zionis merasa ngeri.

Mereka melihat krisis sebagai kebijakan Netanyahu dalam upaya mempertahankan kekuasaan sangat berisiko.

Para politisi Israel mengakui bahwa berlanjutnya konflik dapat menimbulkan situasi yang menghancurkan bagi keberadaan rezim Zionis.

Konsekuensi dari perang yang erosif tersebut akan mengubah perimbangan kekuasaan di wilayah pendudukan Palestina, karena Palestina tidak punya pilihan lain selain pertempuran untuk menentukan nasib mereka. 

Menurut Naimi, rakyat Palestina menderita karena tujuh dekade pendudukan, banyaknya pengungsian, kekejaman dan pembantaian.

Sebaliknya, mereka tidak melihat tindakan internasional yang nyata untuk menghentikan kejahatan rezim Zionis.

Naimi mengatakan, dengan demikian, bangsa tertindas ini ingin memutuskan nasib mereka sendiri meskipun mereka harus membayar harga mahal untuk pembebasan Palestina.

Perlu disebutkan, jelas dia, peran media sangat signifikan dalam mengungkap hakikat rezim Zionis yang sebenarnya, yaitu membunuh anak-anak dan warga sipil tak berdosa.

 
Berita Terpopuler