Gender dan Kriminalitas dalam Kasus Sate dan Kopi Sianida

Apakah vonis mati merupakan jawaban atas rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku

Republika/Wihdan Hidayat
Sate sianida (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Law may regulate people equally, but people are not equal structurally

Ungkapan di atas mengandung arti bahwa hukum mungkin mengatur masyarakat secara sama, tetapi masyarakat tidaklah setara secara struktural. Itulah fakta dalam realitas sosio-yuridis yang ada di berbagai kehidupan masyarakat  di mana masih banyak terjadi kesenjangan sosial. Merujuk pada realitas hukum di Indonesia, secara normatif prinsip equality before the law atau persamaan di muka hukum secara eksplisit diatur di dalam konstitusi negara.

Namun benarkah setiap peristiwa kejahatan hanya dapat dimaknai sebagai peristiwa hukuman sih, bukankah kejahatan juga merupakan bagian dari peristiwa sosial yang tak hanya dapat dijelaskan dengan anasir-anasir hukum, sebagai contoh pada kasus yang saat ini sedang viral, yakni kasus sate sianida yang salah sasaran dan menewaskan seorang anak di Bantul Yogyakarta. Adalah perempuan berinisial NAN (25 tahun), yang kini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik.

NAN yang diduga sebagai pengirim takjil berupa sate bersianida awalnya bertujuan mengirimkan makanan tersebut kepada seorang lelaki berinisial T. Motif dendam asmara menyeruak dengan beragam spekulasi.

Hal yang menarik dalam kasus ini adalah terbukanya diskursus di ruang publik tentang ancaman hukuman mati dan konstruksi pembunuhan berencana yang membayangi tersangka NAN. Bagaimana jika nantinya vonis tersebut benar-benar dijatuhkan oleh hakim, mengingat hukuman mati yang masih dimungkinkan dijatuhkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia, dengan merujuk pada KUHP. Bagaimana fenomena  dan pengaruh hukuman sosial yang menjadi suatu keniscayaan di era digital ini.

Tipologi Kasus

Publik tentu menolak lupa pada kasus kopi sianida pada 2016 yang berakhir dengan vonis 20 tahun penjara bagi Jessica. Kasus tersebut menjalani serangkaian penyidikan panjang hingga melibatkan polisi federal Australia.

Salah satu persamaan dari kedua kasus ini, selain menggunakan sianida sebagai instrument melakukan kejahatan adalah motif pelaku yang dilatarbelakangi oleh persoalan relasi personal yang berujung pada rasa sakit hati dan dendam. Hal yang tidak kalah menarik adalah dalam kedua kasus ini melibatkan perempuan sebagai pelaku utama.

Sejatinya sifat universal ketimpangan kriminalitas di dominasi oleh laki-laki. Secara tradisional, laki-laki dibiasakan untuk dominan, aktif dan agresif. Bahkan, pandangan tentang sikap kesatria dan hukum sering menuntut agar laki-laki bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Sementara itu pembiasaan peran gender tradisional perempuan menekankan kepasifan dan ketundukan.

Secara teoritis ancaman potensial viktimisasi seksual juga membatasi mobilitas dan akses perempuan pada lokasi-lokasi kriminal. Karena itu perempuan cenderung terkonsentrasi pada jenis-jenis kejahatan yang kurang membawa hasil. Bahkan untuk kejahatan pelacuran sekalipun biasanya dikendalikan oleh laki-laki.

Namun framing yang didasarkan secara ilmiah itu, kini mengalami pergeseran, tanpa maksud melakukan generalisasi, menyoal kedua kasus pembunuhan yang menjadikan 2 orang perempuan sebagai pelaku dan menggunakan modus operandi yang hampir serupa, nampaknya bangunan teoritis tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Akan tetapi disudut lain bahwa pada dasarnya, untuk menjadikan seseorang dilabeli penjahat tidak diperlukan karir kejahatan yang mumpuni.

Artinya seseorang yang mempunyai track record sosial yang baik sekalipun, baik itu ditinjau dari kelas sosial, status sosial dan kedudukan serta kesan baik di masyarakat, dimungkinkan untuk menjadi penjahat yang sadis, tipologi ini lebih dikenal dengan istilah Criminal of Passion. Barangkali inilah penjelasan yang paling mutakhir untuk menggambarkan kedua pelaku beserta tipologi kejahatannya. Literatur mutakhir tentang gender dan kejahatan menunjukkan adanya bias androsentris dalam banyak delikuensi dan kejahatan (Chesney-Lind, 1989).

Budaya Kekerasan

Berbagai nilai kultural dan sub kultural serta sikap terhadap kejahatan berdampak pada relatif seringnya kejahatan kekerasan terjadi dan prevalensinya di berbagai negara, kawasan perkotaan/pedesaan, kelas sosial, ras dan kelompok etnis, usia dan jenis kelamin. Pada dasarnya semua budaya memiliki kecenderungan pada penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan kekecewaan. Karena tidak adanya jaminan penegakan hukum yang dapat dipercaya dan menjamin rasa keadilan.

Berabad yang lalu, seperti di Sarnida dan Sisilia dicirikan oleh Vandetta, yang menghendaki pembalasan personal bagi kesalahan seseorang atau kerabatnya. Dalam beberapa kasus, seluruh keluarga saling membunuh, merespons semacam kebutuhan untuk membalas kerugian yang sudah lalu pada kerabat.

Terdapat banyak teori biologis dan psikologis untuk menjelaskan kasus pembunuhan bermotif dendam pribadi atau dendam asmara yang memiliki kekuatan eksplanatoris. Menurut Charles Manson misalnya, bahwa kepribadian antisosial, merupakan faktor yang paling dominan yang memengaruhi pelaku. Di samping itu pada kasus-kasus pembunuhan semacam ini memperlihatkan kelemahan biologis dan atau psikologis serupa.

Vonis mati?

Memperhatikan mayoritas pelaku dalam kasus-kasus semacam ini yang bukan penjahat karir, tetapi mencerminkan reaksi situasional atau subkultural terhadap perselisihan antarpersonal. Membuat nurani publik bertanya, apakah vonis mati merupakan jawaban atas rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku.

Apakah konstruksi pembunuhan berencana sudah tepat dialamatkan pada pelaku NAN, mengingat tidak ada niat (voornemen) sebagai salah satu unsur penting dalam tindak pidana. Pelaku jelas tidak memiliki niat i untuk menghilangkan nyawa anak pengemudi ojol, serta tidak adanya hubungan sebab akibat yang pasti dalam peristiwa ini.

Sejak awal sate sianida tersebut ditujukan secara sengaja untuk setidaknya memberikan rasa kepuasan bagi pelaku sebagai “pelajaran” pada T, dan T tidak mati. Sehingga belum ada pembunuhan berencana yang dimaksud.

Akan tetapi dengan menggunakan teori kesengajaan dengan sadar kemungkinan, memang pelaku tidak mungkin akan lolos begitu saja dari delik penghilangan nyawa orang, akan tetapi unsur berencana nampaknya akan sulit untuk dibuktikan oleh JPU dalam persidangan. Sementara terang kasus ini masih menunggu bukti lain dan misteri motif pelaku yang sebenarnya, serta aktor lain sebagai pembantu kejahatan atau juga sebagai intelektual dader yang sebenarnya, yang bisa saja menggerakan, menginisiasi pelaku baik secara langsung maupun tidak untuk mewujudkan akibat yang diinginkan.

Terlepas dari anasir-anasir hukum pidana dalam mengkontstruksi perisiwa tersebut, vonis mati hingga saat ini mengandung problem konseptual dan praktikal. Sehingga eksistensinya sepatutnya ditinjau ulang oleh para pembentuk undang-undang.

Bukankah reaksi masyarakat jauh lebih kuat memuat stigma penjahat dan sederet sanksi sosial yang menunggu pelaku, tanpa bermaksud menggunakan tesis yang bias gender, pelaku NAN sebagai perempuan juga mendaptkan layer viktimiasasi yang cukup berat, karena strata kesusilaannya kemudian dipertanyakan dan di sangsikan oleh khalayak. Ada benarnya, meminjam tesis  seorang begawan hukum pidana yang mengatakan jangan pernah menilai ketika seseorang di vonis ringan oleh hakim maka ringanlah beban hidupnya, mengingat sebenarnya ia telah dihukum sepanjang hayatnya dalam ingatan masyarakat.

 
Berita Terpopuler