Novel Baswedan Melawan Penonaktifan dan Hasil TWK KPK

TWK sengaja dijadikan tameng untuk menyingkirkan pegawai terbaik KPK.

Republika/Thoudy Badai
Penyidik senior KPK Novel Baswedan memastikan akan melakukan aksi perlawanan terhadap penonaktifannya akibat tidak memenuhi syarat hasil tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha

Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan bersama 74 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) telah resmi dinonaktifkan. Atas keputusan tersebut Novel dkk menyatakan akan melawan.

"Nanti ada tim kuasa hukum dari koalisi sipil yang ingin melihat itu karena agak lucu juga, SK-nya kan SK pemberitahuan hasil asesmen tapi kok di dalamnya menyebut menyerahkan tugas dan tanggung jawab, bukan pemberhentian," kata Novel dalam keterangannya, Selasa (11/5).

"Yang jelas kami melihat ini bukan proses yang wajar, ini bukan seleksi orang tidak kompeten dinyatakan gugur tapi ini upaya yang sistematis yang ingin menyingkirkan orang bekerja baik untuk negara, ini bahaya. Maka sikap kami jelas, kami akan melawan," tegas Novel.

Novel yang menjabat Kasatgas Perkara KTP-elektronik itu menyebut TWK sangatlah bermasalah. TWK dinilainya sengaja dijadikan tameng untuk menyingkirkan 75 pegawai terbaik KPK, termasuk dirinya.

Pasalnya, kata Novel, TWK digunakan untuk menyeleksi Pegawai KPK yang telah berbuat nyata bagi bangsa dan negara Indonesia melawan musuh negara yang bernama korupsi. "Jadi penjelasan yang akan saya sampaikan ini bukan hanya soal lulus atau tidak lulus tes, tapi memang penggunaan TWK untuk menyeleksi pegawai KPK adalah tindakan yang keliru," kata Novel dalam keterangannya.

Menurut Novel, seharusnya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dengan nasionalisme atau nilai kebangsaan pegawai KPK. Hal ini karena sikap anti korupsi pada dasarnya adalah perjuangan membela kepentingan negara.

"Saya ingin menggambarkan posisi pemberantasan korupsi dalam bernegara. Terbentuknya negara, tentu ada tujuan yang itu dituangkan dalam konstitusi. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Dalam pelaksanaan tugas, ketika aparatur berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan mengkhianati tujuan negara, maka itulah korupsi. Untuk kepentingan tersebut, maka negara atau pemerintah membentuk UU yang mengatur bentuk-bentuk kejahatan korupsi," ujar Novel.

Novel juga menilai TWK sangatkah tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai negara atau aparatur yang telah bekerja lama. Terutama, bagi yang bertugas di bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK.

Menurut Novel, pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, dan hak masyarakat. TWK baru akan relevan bila digunakan untuk seleksi calon pegawai dari sumber lulusan baru. "Tetapi juga tidak dibenarkan menggunakan pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan atau kebebasan beragama," ucap Novel.

Menurut Novel tidak lulusnya 75 pegawai KPK yang kritis adalah kesimpulan yang sembrono dan sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara. Novel pun menegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang bisa dipandang sebagai standar baku.

"Sekali lagi, penjelasan ini bukan karena lulus atau tidak lulus TWK, tetapi penggunaan TWK yang tidak tepat. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu merugikan kepentingan bangsa dan negara, dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia karena dimanfaatkan untuk menyingkirkan pegawai-pegawai terbaik KPK yang bekerja dengan menjaga integritas," tegas Novel.







Baca Juga

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo turun tangan terkait pemecatan 75 pegawai KPK akibat tidak lolos TWK. ICW menduga tes tersebut merupakan upaya terselubung yang didorong oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan polemik pemecatan puluhan pegawai KPK berintegritas itu muncul atas buah dari kebijakan Presiden Jokowi tatkala memilih pimpinan KPK. Dia menilai, Jokowi juga telah mengakomodir konstitusi alih status kepegawaian KPK melalui UU nomor 19 tahun 2019.

"Jadi, segala persoalan yang timbul akibat dari kekeliruan kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi itu mesti diletakkan sebagai tanggungjawab dari Presiden," kata Kurnia Ramadhana dalam keterangan, Selasa (11/5).

Dia mengungkapkan, buruknya kepemimpinan Firli Bahuri telah membuat KPK berada di ambang kehancuran, kemerosotan reputasi dan kehilangan kepercayaan publik yang semakin serius. Dia berpendapat, Dewan Pengawas (Dewas) KPK harus mengbil tindakan tegas dan serius agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan.

Dia meneruskan, berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab ketua KPK dan pimpinan lembaga antirasuah lainnya. ICW mendesak inisiatif Dewas untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran etik.

KPK menggandeng BKN telah menggelar rangkaian tes termasuk TWK terhadap 1.351 pegawai lembaga anti rasuah. Tes kemudian menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Di antara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam sholat hingga LGBT.

Lalu muncul surat keputusan terkait nasib 75 pegawai tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri itu meminta pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

KPK lantas membantah telah menerbitkan surat tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan kalau pihaknya bakal melakukan pengecekan keabsahan potongan surat tanpa tanggal dan cap kedinasan yang beredar tersebut.

Belakangan, surat serupa terkait nasib 75 pegawai KPK tersebut kembali beredar di kalangan jurnalis. Surat dengan perintah serupa itu kali ini dibubuhkan tandatangan Plh Kepala Biro SDM KPK, Yonathan Demme Tangdilintin mewakilkan Ketua Firli Bahuri.

Dalam SK penonaktifan 75 pegawai yang tak lolos TWK itu, terdapat 4 poin sebagai berikut:

Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rangka pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara.

Kedua, memerintahkan pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Surat keputusan dibuat tertanggal 7 Mei 2021. Meski demikian, KPK belum memberikan konfirmasi terkait surat yang beredar ke publik tersebut.

Sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan sebagai salah satu syarat alih status pegawai ke ASN. Tes tersebut diikuti oleh 1.351 pegawai KPK.

Berdasarkan informasi, selain Novel Baswedan, nama-nama yang dikabarkan tak lolos tes tersebut di antaranya Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto, Direktur Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono, dan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo serta seluruh kasatgas dari internal KPK.

Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

 
Berita Terpopuler