Martabat Makanan dan Ngejot di Hari Lebaran

Kami mengirimkan berbagai 'anteran' Lebaran makanan bermartabat.

google.com
Tradisi berbagi makanan lebaran di masa lalu.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Menjelang lebaran tiba, maka kenangan akan kembali kepada masa kanak dan remaja di kampung yang terletak di kawasan lembah sungai Lukulo. Kala itu memang masa istimewa.

Jauh hari bersama teman-teman menyiapkan petasan. Obat petasan (mesiu) kami beli di kampung sebelah. Saat itu dibelai Rp 700 per ons. Kami buat tak banyak, sekitar 100 petasan. Dan ini menjadi kebanggaan tersendiri bila kala lebaran tiba pelataran rumah betebaran kertas bekas pembakaran petasan.

Kebiasaan membakar petasan di kala lebaran hilang seiring datang razia dan larangan pembuatan petasan yang kian ketat. Padahal kala itu, ketika Subuh hingga menjelang Shalat Ied, udara kampung dipenuhi suara ledakan petasan. Suaranya gemuruh layaknya perang.

Dan, harus diakui petasan memang berbahaya sebab ada banyak teman saya yang kehilangan jemarinya gara-gara terkena ledakan petasan. Ini pun karena kecerobohan mereka membakar petasan dengan cara melemparkannya dari genggaman tangan.

Kala itu ada perasaan gengsi ketika menyalakan petasan dengan cara di letakkan terpisah atau digantung di tanah dan pohon. Tuduhannya: anak penakut!

Yang paling berkesan adalah keharusan --sehingga menjadi kebiasaan -- dari ayah yang harus membagikan zakat mal dan fitrah di malam lebaran. Zakat fitrah kami bayarkan berupa beras dan dibagikan ke tetangga atau dikumpulkan di masjid.

Sedangkan zakat mal kami bagikan dalam bentuk uang yang kami masukan ke dalam amplop putih kepada tetangga dan handai taulan yang berhak menerima. Biasanya zakat mal kami bagikan menjelang Subuh di malam lebaran.

Nama-nama para penerima zakat mall berikut keluarganya sampai kini masih mampu dihapal luar kepala. Ekpresi wajah mereka pun masih teringat jelas. Jadi kalau lebaran tak pulang kampung (sudah dua lebaran) pasti mereka tanyakan di mana saya.

                             

 

 

                    ***** 

Dan bila hari ini ada himbauan dari presiden untuk berbagi makanan dan menyebut bila lebaran ini untuk semua agama, kami sudah melakukannya jauh-jauh hari. Bahkan kami punya tradisi yang sudah turun-temurun, bahkan mungkin sudah lebih dari seratus tahun.

Mengapa? Itu karena kami tinggal di tengah perkampungan atau pojok desa yang banyak penganut Nasraninya. Mereka adalah saudara sedarah kami. Mereka dahulu beralih menjadi Nasrani berkat atau imbas dari misi pengikut Kyai Sadrach yang berpusat di Purworejo bagian selatan.

Jadi mereka kebanyakan adalah para keturunan kakek buyut kami. Bahkan, gereja yang dibangun pada akhir 1890-an merupakan wakaf kakak eyang buyut putri kami. Jadi dalam satu keluarga kala itu ada yang menurunkan kiai dan ada yang menurunkan pendeta. Ini berlangsung sampai sekarang.

Eyang buyut putri kami menurunkan kyai karena menikah dengan keluarga yang kala itu menjadi santri di Pesantren Termas, Pacitan. Generasi berikutnya 'nyantri' di Pesantren Lirap (Kebumen), Leler (Banyumas). Kini ada yang menjadi guru di SMK milik Pesantren Somalangu, Pesantrei Nampudadi (Kebumen), hingga mendirikan pesantren di Cilacap.

Kami selalu terkenang cerita heroik mereka kala pergi ke pesantren dengan cara berjalan kaki selama satu pekan dari kawasan pantai Jawa bagian selatan menuju ke timur melalui keraton Jogja terus ke utara melintasi pinggang gunung Lawu di Solo.

Bahkan, keluarga sempat punya beberapa petak sawah di sekitar pesantren yang kemudian diwakafkan ke pesantren itu dengan ikrar: bila nanti ada keluarga yang menjadi santri di sana, maka dia membiayai pendidikannya dengan mengambil bagian dari hasil sawah itu. Kalau tidak ada, maka lahan sawah itu menjadi milik pesantren.

Jadi antara kami yang Muslim dan Nasrani hidupnya biasa saja. Masjid di kampung kami berdiri lebih dari tiga puluh tahun sebelum gereja berdiri. Dan itu atas prakarsa dan wakaf eyang-eyang kami yang mantan santri Termas itu.

''Saat ini masjid harus berdiri karena gereja sudah lebih dahulu berdiri. Kita tak boleh Jumatan lagi di masjid yang ada di kampung sebelah. Ini penting bagi nasib anak-cucu kita,'' kata mereka.

Sikap atas kepedulian akan nasib dakwah Islam, seiring dengan sikap mereka yang tak mau bersekolah meski pun di tawari bisa melanjutkan sekolah ke AMS, HBS, atau sekolah dokter di Batavia, Stovia. Dan mereka punya dasar, sebab kala itu di awal tahun 1900-an, mereka sudah tamat SD.

''Dari pada sekolah Belanda, mending kalian aku berikan kerbau dan buka lahan di tepi kali Citandui (perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat di bagian selatan.red) sana. Aku punya lahan di sana,''  kata Eyang Buyut.

Lahan di kawasan Cilacap bagian barat itu memang telah lama dipunyainya. Semenjak lahan di kawasan dengan hutan belukar banyak harimau Jawa serta lahan yang terkena aliran pasang surut teluk Nusakambangan. Kawasan ini jadi incaran karena letaknya berada tak jauh dari stasiun dan jaringan jalan kereta api di Jawa yang kala itu baru dibangun.

                       

 

 

                   *****

Dan mendirikan masjid kala itu jelas tak mudah, meski berada di kawasan kampung yang mayoritasnya Muslim. Ini terjadi karena keterbatasan dana sehingga harus dilakukan dengan cara swadaya. Beda dengan pendirian Gereja yang kata para tetua itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial Belanda. 

Akibatnya, masjid kemudian berada di tempat yang lebih tersembunyi di tepi jalan kawasan kampung yang lain. Ini beda dengan lokasi gereja yang berada di tepi jalan besar. Dan uniknya, antara mereka yang mewakafkan tanah untuk pendirian masjid dan gereja, punya hubungan darah. 

Imbas kedekatan hubungan darah ini terjadi sampai sekarang. Contohnya budaya mengantar makanan (di Betawi disebut 'ngejot', di Jawa disebut 'anteran',red).

Kala Idul Fitri dan Natal. Setiap Natal rumah kami selalu mendapat kue-kue kering hidangan khas Natal. begitu juga sebaliknya, kami balas 'anteran' makanan mereka kala lebaran dengan aneka kue dan makanan yang khas. Antara kedua belah pihak sudah tahu 'posisi masing-masing' mengenai ragam makanan yang akan diberikannya.

Ini misalnya, para keluarga yang Nasrani tidak akan pernah mengirim makanan memakai daging ayam kala mengirimkan lebaran. Karena, pasti mereka tahu tidak akan pernah kami makan.

Begitu juga yang Muslim sangat tahu diri mengirimkan makanan yang tak halal -- misalnya yang mengandung babi (kini ribut dengan isu makanan babi panggang ambawang,red)-- kepada mereka, meski mereka Nasrani. Tak ada cerita itu. Kami tahu diri dan menjaga marwah persaudaraan. Kami hanya akan mengirimkan makanan yang bermartabat. Makanan yang kami kirim juga makanan yang kami makan atau menjadi hidangan lebaran.

Bahkan, pada suatu waktu misalnya tetangga kami yang Nasrani mengirimkan opor ayam, ketika mengirimkan makanan mereka selalu terlebih dahulu menyebut bila daging ayamnya hasil sembelihan bapak modin. Mereka ucapkan terus terang di depan. Tidak ada ucapan yang diam-diam. Saudara kami pun tak main-main. Mereka juga jaga martabat diri dan makanannya.

Alhasil, dari dahulu kami memang selalu saling antar makanan secara bermartabat kepada saudara kami yang berbeda keyakinan. Begitu pun saudara kami membalas 'anteran' makanan dengan sikap mulia.

Jadi tak ada 'anteran' makanan yang 'aneh-aneh' di tempat tinggal kami. Dan kebiasaan ini sudah berlangsung -- sekali lagi seabad lebih. Meski hari ini ada yang kurang, yakni tak ada lagu suara gemuruh petasan di Subuh dan mudik yang sudah dua kali urung dilakukan gara-gara pendemi.

Selamat lebaran ya?

 

 
Berita Terpopuler