Kritik untuk Kegagalan Modi Tangani Badai Covid-19 India

Di depan dunia, PM Modi pernah banggakan kesuksesan India tangani Covid-19.

AP Photo/Ajit Solanki
Ambulans yang membawa pasien COVID-19 menunggu giliran mereka dirawat di luar rumah sakit pemerintah COVID-19 saat foto Perdana Menteri India Narendra Modi dan Menteri Dalam Negeri Amit Shah, di sebelah kanan, ditampilkan di meja bantuan yang disiapkan oleh pekerja Partai Bharatiya Janata di Ahmedabad, India, Selasa, 27 April 2021.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Antara

Lonjakan kasus Covid-19 di India membuat dunia terpana. Rumah sakit yang penuh, keluarga pasien yang mencari oksigen ke mana-mana, hingga krematorium yang tak berhenti membakar jenazah pasien Covid-19 menjadi berita utama dari India.

Baca Juga

Kritik pun tertuju pada PM India, Narendra Modi, yang dinilai lebih memperdulikan kampanye pemilihannya dibanding fokus ke masalah kesehatan rakyat India akibat Covid-19. Modi dianggap tidak sensitif. Pemerintahan India menolak untuk membatalkan festival Hindu besar, bahkan pertandingan kriket yang ditonton ribuan orang tetap berjalan.

Pada 17 April lalu, Modi berteriak ke pendukungnya di Bengal Barat. "Saya tidak pernah melihat massa seramai ini. Di mana pun saya menengok saya melihat manusia. Saya tidak bisa melihat hal lain," teriak Modi ke pendukungnya.  

Badai kasus Covid-19 di India otomatis mencederai citra politik Modi setelah tahun lalu Modi dipuji-puji karena cepat bergerak mengunci 1,4 miliar penduduk India dalam lockdown. Sekarang dia justru dijuluki sang super spreader oleh Wakil Presiden Asosiasi Medis India, Dr Navjot Dahiya, dikutip dari AP, Rabu (5/5).

Penulis dan aktivis India, Arundhati Roy, cara Modi menangani pandemi di India saat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. "Pemerintah asing bergerak cepat membantu. Tapi selama pemegang kebijakannya adalah di Modi, dia tidak menunjukkan kemampuannya bekerja dengan pakar atau melihat di luar sesuatu yang menguntungkannya secara politis. Ini sama seperti menuang bantuan ke saringan."

Pemimpin berusia 70 tahun itu dituding memilih politik dibanding kesehatan publik. Ketika jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai angka 200 ribu jiwa, jumlah yang dinilai pakar masih di bawah hitungan nyata, Modi tetap diam.

Menteri Informasi dan Penyiaran India, Prakash Javadekar, mengatakan pemerintah melakukan segala upaya untuk mengatasi situasi. Pemerintah pusat disebutnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat secara luas.

Modi memenangkan pemilu di 2014. Dia kala itu merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang mampu membuka kunci pertumbuhan ekonomi dengan menggabungkan kebijakan yang ramah bagi pebisnis dengan ideologi nasionalis Hindu. Milan Vaishnav, direktur program Asia Selatan di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan ketika virus corona merebak Modi mengambil langkah yang berbeda dengan mantan Presiden Donald Trump dan Presiden Brasil terkini Jair Bolsonaro.

"Dia tidak pernah menyebut virus sebagai hoaks. Dia menghadapinya dengan serius. Dia menganjurkan penggunaan masker, menjaga jarak. Dia mendorong semua pendapat pejabat kesehatan terkait," katanya.

Lockdown yang ketat, yang diberlakukan hanya dalam waktu peringatan empat jam, menyebabkan jutaan pekerja migran berakhir sebagai pengangguran. Mereka terpaksa melarikan diri ke pedesanaan dan sebagian meninggal di jalan. Pakar namun mengatakan keputusan lockdown membantu menangkal virus dan memberi waktu bagi pemerintah.

Kasus di India meningkat ketika lockdown dibuka kembali di Juni 2020. Pemerintah saat itu membangun rencana infrastruktur darurat. Ketika gelombang kasus merendah terus hingga musim dingin, pejabat pemerintah melihatnya sebagai kemenangan.

Negara-negara bagian mulai melucuti rumah sakit lapangan dan upaya menambah tempat tidur ICU dan ventilator ditunda. Sebelumnya padahal pemerintah sudah berencana membangun 162 pabrik oksigen. Rencana yang hingga kini hanya terealisasi sebanyak 38 pabrik. Konon pemerintah masih berencana membangun 105 pabrik oksigen lagi bulan ini.

India dinilai gagal melakukan perbaikan sistem kesehatannya, ujar profesor di Universitas Ashoka, Gautam Menon. "Dengan lonjakan yang kini terjadi kita mengalami konsekuensi dari tidak dilakukannya rencana awal tersebut," katanya.

Saat kasus Covid-19 di India terus menurun di Januari 2021, Modi membanggakan kesuksesan India di World Economic Forum. Ia mengatakan, sudah melakukan aksi menyelamatkan kemanusiaan dari bencana besar dengan efektif menahan laju virus.

Partainya, Partai Bharatiya Janata, menyebut keberhasilan Modi sebagai bentuk kepemimpinan yang visioner. India disebut bangga berhasil melawan virus corona.

Lalu pada pertengahan Maret, ribuan orang menghadiri pertandingan kriket melawan Inggris di Stadium Narendra Modi di Gujarat. Pada 21 Maret, iklan di halaman depan koran menulis 'Indah Bersih Aman' saat Modi dan sekutu politiknya menyambut masyarakat ke kegiatan Kumbh Mela, yang membawa jutaan rakyat India ke Sungai Gangga sepanjang April.

Padahal di Maret 2020, pemerintah Modi menyalahkan pertemuan 3.000 Muslim sebagai penyebab penyebaran Covid-19 di India. Sikap tersebut memicu aksi kekerasan dan boikot, yang bahkan berujung ke pengadilan.

Kritik juga ditujukan ke partai Modi karena menggelar kampanye pemilu dengan ribuan pendukungnya tidak mengenakan masker, terutama di Bengal Barat. Kritik atas berkumpulnya ribuan orang tersebut membuat Modi hanya tampil lewat video. Tapi pendukungnya hadir secara fisik dalam jumlah ribuan orang.

Kritik demi kritik yang masuk membuat pemerintah memerintahkan Twitter menghilangkan unggahan berisi kritik terhadap cara India tangani krisis. Di Uttar Pradesh, seorang pria dituntut setelah bercicit meminta bantuan oksigen bagi kakeknya yang sekarat. Dia dituduh menyebarkan rumor, saat itu seorang pejabat membantah terjadi kekurangan oksigen.

"Menyalahkan media sosial atau penggunanya karena mengkritik atau meminta pertolongan adalah sangat..., maksud saya, apa sih prioritas pemerintah? Membantu rakyat atau membungkam kritik? tanya aktivis digital Nikhil Pahwa.

India saat ini menyumbang 46 persen dari kasus baru Covid-19 yang tercatat di seluruh dunia minggu lalu. India juga tercatat sebagai penyumbang 25 persen kematian global yang dilaporkan dalam sepekan terakhir, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu.

Lonjakan virus corona di India, termasuk varian baru yang sangat menular yang pertama kali diidentifikasi di sana, telah menyebabkan rumah sakit kehabisan tempat tidur dan oksigen, serta kamar mayat dan krematorium meluap. Banyak orang meninggal di ambulans dan tempat parkir mobil menunggu tempat tidur atau oksigen.

Infeksi harian di negara itu naik 382.315 pada Rabu (5/5), berdasarkan data Kementerian Kesehatan India, hari ke-14 berturut-turut dari lebih dari 300.000 kasus.

Pemerintah India mengklaim sudah berusaha. Dua kereta yang mengangkut oksigen cair mencapai Ibu Kota Delhi pada Rabu, kata Menteri Perkeretaapian Piyush Goyal di Twitter. Lebih dari 25 kereta sejauh ini telah mengirimkan oksigen ke berbagai bagian India.

Pemerintah India mengatakan ada cukup pasokan oksigen tetapi distribusi terhalang oleh masalah transportasi. Lonjakan infeksi di India bertepatan dengan penurunan drastis dalam vaksinasi karena masalah pasokan dan pengiriman. Sedikitnya tiga negara bagian termasuk Maharashtra, rumah bagi ibu kota komersial Mumbai telah melaporkan kelangkaan vaksin dan menutup beberapa pusat inokulasi.

Oposisi India telah menyerukan penguncian nasional, tetapi pemerintah enggan untuk memberlakukan penutupan karena takut dampak ekonomi, meskipun beberapa negara telah memberlakukan pembatasan sosial. Bank sentral India meminta bank-bank untuk membiarkan peminjam tertentu memiliki lebih banyak waktu untuk membayar pinjaman mereka karena lonjakan infeksi berdampak pada kebangkitan ekonomi.

Di negara bagian terpencil Mizoram yang berbatasan dengan Myanmar, persediaan tempat tidur sangat terbatas di Zoram Medical College, rumah sakit Covid-19 terbesar di negara bagian itu. Sehingga semua pasien non Covid-19 telah diminta untuk pergi, kata pejabat pemerintah Dr ZR Thiamsanga.

Saat ini hanya tiga dari 14 ventilator yang masih tersedia. "Menurut pendapat saya, penguncian total diperlukan untuk mengendalikan situasi," kata Thiamsanga kepada Reuters.

Pakar medis mengatakan jumlah sebenarnya dari kematian dan terinfeksi di India bisa lima hingga 10 kali lipat dari penghitungan resmi. Negara itu menambahkan 10 juta kasus hanya dalam empat bulan, setelah membutuhkan lebih dari 10 bulan untuk mencapai 10 juta kasus pertama.

Pakar kesehatan masyarakat percaya India tidak akan mencapai kekebalan kawanan dalam waktu dekat tetapi mengatakan rawat inap dan kematian akan berkurang secara signifikan dalam enam hingga sembilan bulan, menurut laporan di The Economic Times. Kekebalan kelompok adalah ketika proporsi yang cukup tinggi dari populasi yang telah divaksin atau telah terinfeksi dan mengembangkan antibodi, sehingga satu orang yang terinfeksi secara teoritis hanya dapat menginfeksi kurang dari satu orang dapat menghentikan penyebaran virus.

Di seluruh dunia, sebanyak 5,7 juta kasus baru dilaporkan minggu lalu dan lebih dari 93.000 kematian, kata WHO dalam laporan epidemiologi mingguannya. India melaporkan hampir 2,6 juta kasus baru, atau meningkat 20 persen pada minggu sebelumnya dan 23.231 kematian.

Angka-angka tersebut didasarkan pada penghitungan resmi, sehingga proporsi India bisa lebih besar jika, seperti yang diyakini banyak ahli, sejumlah besar kasus dan kematian tidak dicatat di sana karena sistem kesehatan yang kewalahan. India menyumbang hampir 18 persen dari populasi dunia.

India kewalahan hadapi Covid-19 - (Republika)

 
Berita Terpopuler