Bank Digital, OJK Ingatkan Transformasi ke Nasabah

Transformasi ke digital harus dilakukan menyesuaikan perilaku nasabah.

Antara/Nova Wahyudi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengeluarkan aturan mengenai bank digital tanpa kantor cabang paling lambat sebelum semester satu 2021. Adapun ketentuan tersebut salah satunya akan dimuat dalam Rancangan Peraturan OJK tentang Kegiatan Usaha Bank Umum.
Rep: Novita Intan Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengeluarkan aturan mengenai bank digital tanpa kantor cabang paling lambat sebelum semester satu 2021. Adapun ketentuan tersebut salah satunya akan dimuat dalam Rancangan Peraturan OJK tentang Kegiatan Usaha Bank Umum.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan peraturan bank digital ini tidak akan membuat dikotomi dengan bank konvensional, tetapi menjadi bentuk konvergensi. Hanya saja bank tradisional harus bertransformasi melayani nasabah secara digital. 

“Transformasi dari tradisional ke digital harus dilakukan menyesuaikan perilaku nasabah terutama selama pandemi. Apalagi selama pandemi terjadi shifting behavior dari nasabah ke digital, sudah mulai mengurangi transaksi tatap muka. Sudah jarang orang mau ke bank hanya untuk narik uang atau bikin rekening," ujarnya saat konferensi pers virtual seperti dikutip Rabu (5/5).

Dari sisi lain, menurutnya, ada satu risiko yang perlu dipahami perbankan dengan adanya aturan baru ini. OJK memperkirakan bank yang tidak mau melakukan penyesuaian ke layanan digital pasti akan ditinggalkan nasabah.

"Apalagi nasabah menginginkan transaksi perbankan lebih mudah dengan menggunakan teknologi smartphone yang saat ini bisa melakukan apa saja, di mana saja, misalnya dari rumah bisa mengerjakan aktivitas keuangannya," ucapnya.

Dia juga mengingatkan bank agar segera bertransformasi ke digital karena nasabah membutuhkan layanan ini. Sebab, menurut hasil penelitian internal OJK, banyak nasabah yang lebih nyaman bertransaksi digital daripada mengunjungi kantor cabang.

"Mau tidak mau bank harus siap, kebutuhan para nasabah sudah seperti itu. Kalau tidak siap melakukan transformasi pasti akan ditinggal nasabah," tandas Heru.

 

Pada aturan baru nantinya, OJK akan mengatur modal yang disetor untuk mendirikan bank BHI ditetapkan paling sedikit sebesar Rp 10 triliun. Hal tersebut berbeda dengan yang ada dalam aturan saat ini yaitu sekitar Rp 3 triliun.

"Secara umum modal bank itu akan kita atur nanti menjadi Rp 10 triliun. Kenapa Rp 10 triliun, pertama modal bank umum kita Rp 3 triliun, itu sudah 21 tahun yang lalu," kata Heru.

Heru menjelaskan kepemilikan modal bank hanya Rp 3 triliun hanya mampu digunakan untuk menghasilkan laba. Padahal bank dituntut harus bisa efisien dengan teknologi dan mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian negara.

"Kita melakukan penelitian, bank yang bisa efisien, menghasilkan laba dan memberikan dampak bagi ekonomi itu minimal punya modal Rp 10 sampai 11 triliun. Jadi rentang Rp 3 sampai 4 triliun itu hanya menghasilkan laba, kalau efisiensi masih belum," jelasnya.

Selain mengatur kepemilikan modal, dalam aturan baru nantinya, OJK juga akan mengatur khusus bank digital. Nantinya diperlukan acuan khusus melindungi nasabah dari risiko yang akan timbul.

 

"Nanti akan diatur khusus digital banking, bagaimana data protection, data transfer, tata kelola teknologinya seperti apa. Lalu manajemen risiko seperti apa. Ini semua perlu kita atur," ucapnya. 

 
Berita Terpopuler