Soal Kelumpuhan Guru SA di Sukabumi, Ini Kata Tim Riset

Hasil audit KIPI serius Covid 19 Kabupaten Sukabumi ada beberapa hasil.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Manajer Bidang Riset, Pengabdian pada Masyarakat, Inovasi dan Kerjasama FK Unpad Profesor Kusnandi Rusmil mengatakan, belum ada bukti kelemahan anggota gerak dan keburaman mata akibat vaksin covid-19.
Rep: Arie Lukihardianti Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Guru berinisial SA di Sukabumi, Jawa Barat, mengalami kelumpuhan usai menjalani vaksinasi Covid-19. SA, mengalami gangguan penglihatan dan lumpuh setelah vaksin Covid tahap 2 untuk tenaga pendidik pada 31 Maret lalu.

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad yang juga Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Unpad Prof Kusnandi Rusmil, tim telah menganalisa kejadian pascaimuniasi yang terjadi pada subjek SA umur 31 pekerjaan guru. 

"Ini analisis di tingkat komnas KIPI, ini hasil pertemuan kami antara Komnas KIPI dan KOMDA KIPI. Hasil audit KIPI serius Covid 19 Kabupaten Sukabumi ada beberapa hasil," ujar Kusnandi kepada wartawan secara virtual, Senin (3/5).

Kusnandi menjelaskan, kasus tersebut telah dikaji bersama dengan hasil sebagai berikut, SA wanita 31 tahun dengan keluhan kedua mata mata buram dan kelemahan anggota gerak, keluhan mata buram muncul 12 jam pasca suntikan vaksin Covid. Lalu, dilakukan rujukan ke rumah sakit selama 23 hari 1 April - 23 April 2021. Kemudian, dilakukan ct scan torax.

Menurutnya, dari hasil pemeriksaan spesialisasi syaraf di diagnosa dengan GBS, saat ini keadaan umum SA sudah membaik mata sudah membaik. Jadi, pekan depan akan kontrol ke tempat rawat inap.

"Belum ada bukti temuan yang kuat KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) terhadap SA," katanya.

Menurut Kusnansi, terkait KIPI berdasarkan laman web kanal vaksin  dari 1 April hingga 21 April telah dilakukan vaksinasi terhadap hampir 20 juta dosis dan tidak diketemukan keluhan gejala klinis serupa yang ditemukan keluhan gejala klinis serupa yang dilaporkan termasuk pada uji klinis vaksin 1,2 dan 3. 

"Belum ada bukti kelemahan anggota gerak dan keburaman mata akibat vaksin covid-19," katanya.

 

 

Dikatakan Kusnandi, dua pekan sebelum imunisasi sebetulnya ini sudah terjadi infeksi yang tanpa gejala. Jadi sudah ada gejala yang tanpa gejala lalu menimbulkan reaksi GBS (Sindrom Guillain–Barré).

"Jadi waktu disuntik besoknya terjadi kelumpuhan itu kebetulan saja. Itu terinfeksi dua minggu sebelumnya, tapi tidak bergejala," tegasnya.

Kejadian ini, kata dia, kebetulan karena imunisasi dua pekan yang lalu jadi lumpuhnya sekarang. "Padahal kalau tidak diimunisasi pun tetap akan lumpuh seperti sekarang," katanya.

Kusnandi menjelaskan, dua pekan atau satu bulan sebelum disuntik, SA sudah terinfeksi oleh kuman. Sehingga kumannya itu menganggu sistem imun. 

"Disuntik tidak disuntik hal itu (lumpuh, red) akan terjadi. Itu terjadinya seminggu atau dua minggu dalam GBS ini," katanya.

Kusnandi menilai, kalau ada reaksi vaksin yang berat, dari satu juta hanya ada satu. Jadi, masih bisa ditolong yang 999 ribu itu terlindungi. Jadi sangat menguntungkan bila diimunisasi. Apalagi, imunisasi itu program seluruh dunia dan sudah komitmen untuk melaksanakan program vaksinasi.

"Jangan khawatir lagi imunisasi sudah bagus, cuma terjadi hal-hao seperti ini sangat jarang dilakukan imunisasi dalam dua minggu ada infeksi, yang tidak bisa terdeteksi," paparnya.

Dr Eni Pokja KIPI Sukabumi mengatakan, kalau secara teori GBS bisa sembuh, tapi perlu waktu untuk mengembalikan semua fungsi motorik ke normal. Oleh karena itu, harus ada fisioterapi.

"Besok kontrol, kami minta rujukan ke RSHS. Kami minta kontrol selanjutnya ke RS Pelabuhanratu karena di sana ada dokter saraf, mata, tenaga fisioterapi ada, yang tidak ada di Sekarwangi," kata Eni.

 

Dia mengatakan, proses inilah yang akan membantu penyembuhan dari SA dan obat-obatan sudah diperiksa ke RS Pelabuhanratu semuanya ada. 

 
Berita Terpopuler