Kisah Muslimah Prancis, Pindah Negara atau Lucuti Identitas

Pelarangan jilbab tidak ada hubungannya dengan membantu wanita Muslim.

theislamicmonthly
Kisah Muslimah Prancis, Pindah Negara atau Lucuti Identitas. Muslimah Prancis di tengah kerumunan
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Saat menempuh tahun pertama sekolah kedokteran di Marseille, Nadia ingat betul bagaimana perlakuan lingkungannya terhadap wanita Muslim yang mengenakan hijab. Raut wajah dokter yang dinilainya selalu berseri pada pasien, ia klaim sangat berbeda terhadap dirinya.

Baca Juga

Menurut dia, pada 2017 ketika hendak melakukan pemeriksaan dan penimbangan ke dokter tersebut, berat badan Nadia dikurangi dua Kg. Nadia sadar, hal itu bukan karena timbangannya yang error, melainkan karena dokter tersebut selalu melirik pakaian tertutup Nadia dan pasmina yang dikenakannya.

"Biarkan rambut Anda bernapas, nanti bisa rontok karena memakainya sepanjang waktu,’’ ujar perawat lain kepada Nadia saat itu.

Tak sampai di sana, menjadi Muslim di Prancis, diakui Nadia selalu dinilai kapan pun dan dimana pun. Bahkan, saat mengunjungi pusat grosir, orang-orang diakuinya selalu menatap seakan terganggu oleh kehadirannya.

“Anak-anak kami tidak bisa berbicara tentang keyakinannya karena takut disebut teroris. Kami merasa tidak aman di sini. Kami tidak diperlakukan sebagai warga Prancis yang membayar pajak, tetapi sebagai hewan yang tak punya apa pun, " ucap Nadia, yang hanya bisa mengungkapkan nama depannya karena takut dilecehkan lebih lanjut.

Wanita mengenakan baju renang Muslim yang tertutup penuh atau burkini di Pantai Marseilles, Prancis. - (Reuters)

 

Hal serupa juga diutarakan Lamya (23 tahun), mahasiswa bisnis di Champigny-sur-Marne, pinggiran kota Paris. Sepengetahuannya, banyak rekan Muslimah yang menanggalkan jilbab dan identitasnya karena takut dikucilkan atau menganggur setelah lulus.

“Bukan rahasia lagi mengenakan jilbab di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak menerima perempuan berhijab, Muslim kehilangan pekerjaan karena sholat di tempat kerja, ”kata Lamya.

Muslimah Prancis lainnya, Laila, yang juga meminta untuk tidak disebutkan nama lengkapnya, pindah dari Meaux, sebuah kota di wilayah metropolitan Paris, ke Inggris enam bulan lalu. Dia mengaku, pindahnya ke Inggris itu dilakukan setelah mengalami pelecehan anti-Muslim selama beberapa dekade di negara tersebut.

"Saya melihat lebih jelas lagi jaket pengekang yang mengikat kami, betapa kami tidak berhak atas hal-hal biasa seperti berenang, bekerja, dan belajar di segala bidang," ucap dia.

Menurut Laila, hukum yang ada di Prancis bersifat kekanak-kanakan karena hanya ingin mendominasi semata. Hingga kini, dia mengaku masih mempertanyakan, ketentuan apa yang membuat orang harus mengenakan pakaian tertentu.

 

“Ini tidak masuk akal, pada saat yang sama mereka menjelekkan seolah-olah pemandangan kerudung kami dapat meradikalisasi siapa pun yang memandang kami. Mereka ingin membuat kita tidak terlihat. Faktanya, itulah katanya: kami merasa tidak terlihat, " ungkap dia.

Nadia, Lamya, dan Laila hanya beberapa Muslim yang mengalami bentuk rasialisme dan Islamofobia di Prancis. 

Menanggapi hal tersebut, ketua organisasi interseksional feminis dan antirasialis, Lallab, yang berbasis di Paris, Fatima Bent mengatakan wanita Muslim memang selalu ditampilkan oleh film hingga politikus sebagai wanita tertindas tanpa kehendak. Konsepsi itu, kata dia, adalah sudut pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasialis, seksis serta Islamofobia.

"Argumen pelarangan jilbab tidak ada hubungannya dengan pembebasan dan membantu wanita Muslim, ini adalah kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi atas agama minoritas, yang mendorong rasisme dan memperkuat stereotip," kata Fatima.

 

Islamofobia masih tumbuh subur di Prancis. Padahal, berdasarkan data, nyatanya Prancis adalah rumah bagi empat juta orang Muslim. Jumlah itu memang menjadi populasi terbesar di Eropa. Namun, populasi itu hanya mencapai delapan persen dari total penduduk Prancis.

Tak hanya itu, jika menilik lebih jauh, sepertiga tim sepak bola Prancis yang membawanya menjuarai Piala Dunia 2018 nyatanya adalah Muslim. Fakta itu malah dibingungkan dengan adanya 44,6 persen penduduk Prancis yang memandang Islam sebagai ancaman bagi identitas nasional.

Bent mengatakan, persepsi yang ada memang masih sulit dibendung. Dirinya juga percaya jika Prancis masih menganggap Muslim dan feminis sebagai sikap yang kontradiktif.

Menurut dia, narasi yang beredar di Prancis hingga kini tetap berbicara mengenai wanita Muslim yang seolah blok monolitik. “Suara kami, pengalaman kami, realitas kami dan perjuangan kami sebagai perempuan Muslim yang tinggal di Prancis terlalu sering dibungkam,” kata Bent. 

Sumber: https://www.vice.com/en/article/wx5e9m/france-hijab-ban-french-muslim-women-react

 
Berita Terpopuler