Pedas Manis Harga Cabai Rawit

Kurangnya pengawasan bikin banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar.

Edi Yusuf/Republika
Petani menyemprotkan obat untuk mencegah penyakit patek yang biasa menyerang cabai rawit di saat musim hujan, di ladang cabai, Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (8/3). Saat ini harga cabai rawit dipasaran cukup tinggi Rp 130.000 per kilogram dari harga normal Rp 30.000 per kilogram.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ike Rahayu Sri, Fungsional Statistisi BPS Provinsi NTB

Cabai merupakan komoditas yang diminati dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena cita rasanya yang tinggi. Permintaannya pun terus meningkat beberapa tahun belakangan ini, seiring tren kuliner yang populer berbahan baku cabai. Sebutlah ayam geprek yang sekarang ini menjadi hit dan menu primadona banyak kalangan dari anak kecil hingga dewasa. Sebab, menu kuliner berbahan baku ayam dan cabai ini, menyajikan berbagai varian rasa bumbu nusantara.

Selain itu, menyajikan tingkat kepedasan hingga mampu menampar lidah. Tanaman cabai yang dibudidayakan di Indonesia, pada umumnya cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit.

Komoditas hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin. Hampir bisa dipastikan olahan cabai, baik dalam bentuk basah maupun kering disajikan dalam menu makanan sehari-hari dan dikonsumsi rumah tangga minimal sepekan sekali.

Apalagi, rumah makan/warung/restoran membutuhkan bahan pangan tersebut untuk olahan masakan yang bercita rasa pedas. Akhir-akhir ini, kenaikan harganya menyita perhatian semua lapisan masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga, pedagang warung makan, pejabat negara, hingga politisi.

Bagi ibu rumah tangga, kenaikan harga cabai membuat mereka mengurangi pembelian atau mengganti menu makanan sehari-hari tanpa berbumbu cabai. Sementara, rumah makan atau warung saat harga cabai melonjak tinggi menyiasatinya, dengan mengurangi porsi sambal yang disediakan bagi pelanggan atau pengunjung.

Cabai sebagai kelompok volatile food sangat rentan terhadap guncangan, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang acapkali harganya pun tidak stabil sebab memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Sehingga cabai merupakan komoditas strategis dan salah satu komponen yang cukup berperan dalam pembentukan inflasi.

Dari ketiga jenis cabai yang terasa menyengat terjadi pada cabai rawit, yang harganya menggila hingga mencapai dua kali lipat sejak akhir tahun lalu, dan terus berfluktuasi menjelang bulan Ramadhan. Gejolak harga cabai rawit yang dikeluhkan masyarakat sejalan dengan data inflasi Desember 2020, yang dirilis Badan Pusat Statistik tercatat sebesar 0,45 persen. Inflasi Desember dipengaruhi naiknya beberapa harga komoditas.

Salah satunya, cabai rawit yang menyumbang sebesar 0,38 persen. Pada Januari 2021, meskipun kenaikan inflasi lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 0,26 persen, kenaikan tersebut masih dipicu oleh kenaikan cabai rawit. Demikian juga, pada inflasi Februari dan Maret, masing-masing sebesar 0,10 persen dan 0,08 persen, juga masih dipengaruhi cabai rawit yang menjadi keluhan masyarakat karena harganya masih melambung tinggi.

Merosotnya produksi

Merosotnya produksi cabai rawit, antara lain disebabkan berkurangnya petani yang melakukan penanaman, kerusakan tanaman, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi. Ini memicu pasokan berkurang.

Penurunan luas tanam terjadi pada September hingga November 2020, ketika petani menahan diri tidak melakukan penanaman karena cuaca panas dan berkurangnya pasokan air, yang bisa menyebabkan munculnya berbagai penyakit/hama. Semua faktor itu bisa berdampak pada tanaman sehingga tidak berkembang/gagal panen. Selain itu, adanya konversi lahan, belum banyak petani yang menggunakan metode intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksinya.

Metode intensifikasi pertanian sangat cocok diterapkan untuk daerah, dengan potensi pertanian yang sempit dengan cara mengelola lahan pertanian sebaik mungkin melalui pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, dan pemupukan yang tepat. Ditengarai, tidak menerapkannya metode intensifikasi dan kurang cermatnya petani memprediksi cuaca. Hal itu disebabkan pengaruh pendidikan yang masih rendah, tidak ada penyuluhan, dan permodalan.

Hasil Survei Struktur Ongkos Petani Hortikultura tahun 2018 Badan Pusat Statistik (SOUH 2018) untuk budi daya cabai rawit, pendidikan petani untuk kategori dasar (SD dan SMP) sebesar 60,18 persen, sementara yang berpendidikan SMA ke atas hanya 14,54 persen. Sisanya, 25,28 persen bahkan tidak mengenyam pendidikan atau tidak tamat SD.

Di samping itu, jauhnya usaha kemitraan antara petani cabai rawit dan pemerintah ataupun usaha swasta serta minimnya penyuluhan, menyebabkan petani kurang mendapatkan perlindungan. Dipotret SOUH2018 sebesar 98,70 persen petani cabai rawit tidak melakukan kemitraan dan 87,10 persen tidak memperoleh penyuluhan.

Karakteristik lain yang ditunjukkan adalah kecilnya bantuan pembiayaan, yang hampir 95,14 persen pembiayaannya dilakukan oleh petani sendiri, sementara besarnya serangan OPT terhadap budi daya cabai rawit sebesar 78,76 persen.

Hasil SOUH2018 juga menyajikan keuntungan petani dalam budi daya cabai rawit, sebenarnya bisa mencapai 63,41 persen per hektare setiap musim tanam. Biaya terbesar adalah tenaga kerja sebesar 55,40 persen dari total biaya yang dikeluarkan.

Hal tersebut bisa diartikan, ketika tidak dilakukan budi daya bukan hanya petani yang merugi, melainkan buruh yang membantu pun tidak mendapatkan pendapatan. Mungkin, saat ini petani sedang menikmati keuntungan dari tingginya harga cabai rawit sehingga meskipun belum saatnya panen dilakukan pemetikan. Bisa jadi, mereka akan mengalami kerugian pada saat puncak panennya karena harga akan anjlok.

Sesungguhnya, keuntungan terbesar kejayaan harga cabai rawit justru dikeruk pedagang hingga bisa melebihi 30 persen, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan.

Di sisi lain, kurangnya pengawasan ketat oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. Alih-alih tidak perlu dikhawatirkan karena dianggap naiknya harga cabai tidak akan lama dan akan turun sendiri dalam satu sampai dua bulan kemudian, menyebabkan terjadinya permainan harga di tingkat pedagang dan tengkulak.

Tampaknya peran pemerintah kurang nyata dan membiarkan siklus seperti ini berlangsung berulang-ulang. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan konkret yang merangsang petani untuk berani melakukan budi daya cabai rawit.

Misalnya, memperkuat sistem perbenihan dan perbibitan melalui teknologi yang menghasilkan bibit unggul yang tahan terhadap iklim dan cuaca, memperluas akses petani terhadap modal, serta keterpaduan antarsektor dalam pembangunan pertanian.

Di industri hulu, diharapkan mampu mengelola hasil pascapanen dengan penggunaan teknologi, seperti mobil pendingin dan gudang pendingin di sejumlah sentra produksi, mengingat cabai memiliki sifat mudah busuk. Dengan diberikannya fasilitas tersebut akan mampu menjaga cabai tetap segar sampai ke pembeli, harga cabai di tingkat petani pun bisa stabil dan menguntungkan.

Kunci penting lainnya adalah sentuhan kebi jakan pemerintah terkait harga. Tujuannya, agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan komoditas cabai rawit, terjangkau, dan berkualitas.

 
Berita Terpopuler