Awal 2021, OJK: Jumlah Pengaduan Konsumen Naik 273 Laporan

OJK mencatatkan industri asuransi menduduki urutan kedua jumlah pengaduan konsumen

Antara/Aditya Pradana Putra
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan jumlah pengaduan konsumen pada industri asuransi terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. (ilustrasi).
Rep: Novita Intan Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan jumlah pengaduan konsumen pada industri asuransi terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Saat ini, OJK mencatatkan industri asuransi menduduki urutan kedua jumlah pengaduan konsumen tertinggi.

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Agus Fajri Zam mengatakan pada 2019 baru 360 pengaduan. Kemudian sepanjang 2020 meningkat menjadi 593 pengaduan. Pada tahun ini sampai triwulan satu mencapai 273 aduan.

"Hal ini sebenarnya bisa diselesaikan secara internal atau kami bisa memfasilitasi untuk menyelesaikan komplainnya," ujarnya saat konferensi pers virtual Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), seperti dikutip Kamis (15/4).

Menurutnya pengaduan dari masyarakat terhadap industri asuransi, didominasi ketidaksesuaian penjualan (mis-selling), terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit-linked oleh agen atau tenaga pemasar produk asuransi.

"Rata-rata secara umum, memang permasalahan yang paling diadukan pertama adalah adanya ketidaksesuaian informasi yang disampaikan oleh agen. Tidak sesuai dengan yang dijual. Kedua yang paling banyak pengaduan karena turunnya nilai investasi. Dijanjikan begini, ketika diklaim hanya segini. Ini yang kadang menjadi keributan," ungkapnya.

Kemudian, sambungnya, kebanyakan dari pengaduan yang disampaikan juga meminta agar premi yang sudah dibayarkan selama beberapa periode dapat dimembalikan seluruhnya secara utuh. "Padahal kita tahu, ada dua komponen. Komponen asuransi dan komponen investasi. Jika dibalikin secara keseluruhan, sementara kita menikmati klaim asuransi yang ada, kan tidak fair juga," ucapnya.

Tak hanya itu, pengaduan lainnya yakni perihal kesulitan dalam memproses klaim yang sudah jatuh tempo tapi belum juga dibayarkan. "Permasalahan dari pengaduan terbagi empat, tapi terbanyak soal mis-selling," kata dia.

Baca Juga

Agus menilai pengaduan terkait PAYDI atau Unit-linked tersebut  bisa disebabkan oleh berbagai faktor dan pelaku, mulai dari perusahaan, agen, atau bahkan masyarakat selaku nasabah itu sendiri. Dari sisi nasabah, selain yang benar-benar terkena fraud, faktanya masih banyak yang minim pengetahuan atau belum memiliki awareness terkait risiko dari produk asuransi yang dibarengi dengan investasi.

"Maka, untuk pelaku usaha jasa keuangan asuransi, proses penawaran dan penjualan harus terdokumentasi dengan baik, ada rekamannya. Selain itu, perlu ada daftar blacklist agen nakal/fraud, karena kebanyakan pengaduan ke kami, biasanya si agen sudah hilang atau tidak bekerja lagi," ucapnya.

Dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi seperti tidak mengungkap histori kinerja, menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.

Dari hasil pemetaan OJK, proses pemasaran yang menyerupai bisnis Multi Level Marketing (MLM) pun menjadi salah satu penyebab fraud. Hal ini lebih menekankan bonus income, dan banyaknya agen tidak tersertifikasi.

"Sistem ini membuat kecenderungan agen tidak memberikan pemahaman kepada konsumen dengan baik. Proses pemasaran yang menggunakan metode MLM, jadi agen merekrut agen," ucapnya.

 
Berita Terpopuler