OJK Ungkap Tiga Penyelesaian Perusahaan Asuransi Bermasalah

Pengawasan manajemen risiko dan tata kelola dilakukan untuk atasi asuransi bermasalah

Antara/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sejumlah perusahaan asuransi masih menghadapi masalah, mulai dari keluhan ketidaksesuaian manfaat hingga gagal bayar yang merugikan nasabah. Adapun kondisi ini menjadi motor agar reformasi industri segera dilakukan.
Rep: Novita Intan Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sejumlah perusahaan asuransi masih menghadapi masalah, mulai dari keluhan ketidaksesuaian manfaat hingga gagal bayar yang merugikan nasabah. Adapun kondisi ini menjadi motor agar reformasi industri segera dilakukan.

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK Moch Ihsanuddin mengatakan industri asuransi masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti kecilnya penetrasi dan densitas, hingga terjadinya gagal bayar di sejumlah perusahaan. Tercatat tiga tahun terakhir, kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri menjadi sorotan karena kondisi keuangan yang merosot dan gagal bayar klaim.

"Terdapat penanganan khusus bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sedang bermasalah. Hal tersebut dilakukan agar kondisi perusahaan dapat segera membaik sehingga nasabah tidak menjadi korban," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (15/4).

Ihsanuddin merinci ada tiga cara menyelesaikan permasalahan industri asuransi di Tanah Air. Pertama fokus pendalaman, root cause masalah yang dihadapi perusahaan itu apa saja. 

“Kami diskusikan bersama dengan manajemen, kalau perlu dengan pemegang saham, salah satunya mempelajari apakah ini masalah baru atau warisan," ucapnya.

Setelah akar permasalahan terpetakan, OJK bersama perusahaan terkait menyusun mekanisme atau solusi untuk menyelesaikan masalah. Otoritas pun menelaah dampak permasalahan perusahaan itu terhadap industri lembaga jasa keuangan terkait.

Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai. Menurut Ihsanuddin, dalam kondisi pandemi Covid-19 pengawasan berbasis teknologi informasi akan lebih dioptimalkan.

"Pengawasan terintegrasi bagi konglomerasi keuangan ataupun para individu perusahaan akan meningkatkan pengawasan bersama antar bidang, baik perbankan dan pasar modal, untuk memaksimalkan upaya penyelesaian perusahaan bermasalah," ucapnya.

Ketiga, otoritas akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK). Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas.

"Kalau solusinya tidak bisa, regulator kan ada regulasi dan kami punya tanggung jawab. Kami akan jalankan sesuai aturan yang berlaku dan berikan sanksi, surat peringatan, pembatasan kegiatan usaha, ujungnya dicabut (izin usaha) jika tidak bisa diatasi penyebabnya," ucapnya.

Maka itu otoritas menyatakan reformasi asuransi menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri. Ihsanuddin menjelaskan langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis.

Sementara Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menambahkan untuk mendorong penguatan industri asuransi, pengawasan akan diubah dengan berdasar kepada kaidah manajemen risiko dan tata kelola perusahaan. Selain itu, pengawasan pun akan mengantisipasi pengembangan teknologi dan produk-produk digital.

 

"Pengembangan pengawasan dilakukan untuk memprediksi risiko yang mungkin timbul. Diperlukan pengawasan sangat penting dalam menjaga nasabah dalam mendapatkan proteksi dan manfaat sesuai peruntukannya. Pengawasan pun dapat mencegah terjebaknya nasabah dalam produk berisiko tinggi yang kurang dipahami,” ungkapnya.

 
Berita Terpopuler