Hakim MK: Amendemen Terbatas UUD 1945 tak Mungkin Dilakukan 

Jka satu pasal dalam UUD diubah maka pasal yang bersentuhan harus diubah.

Republika/Prayogi
Ketua majelis hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan)
Rep: Mimi Kartika  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengatakan, amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak mungkin dilakukan. Alasannya, jika ada satu pasal yang diubah dalam konstitusi negara, yang juga bersentuhan dengan pasal lainnya, maka pasal-pasal tersebut harus ikut direvisi. 

Baca Juga

"Sekarang malah ada wacana melakukan amendemen terbatas UUD 1945. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kalau orang bicara satu titik dalam konstitusi, maka dia akan bersentuhan dengan titik lain," ujar Saldi dikutip laman resmi MK, Ahad (11/4). 

Saldi menjelaskan, pada awal reformasi pada 1998, mulai ada keinginan bangsa Indonesia mengamandemen UUD 1945. Berdasarkan risalah perubahan UUD 1945, ide awal melakukan amendemen itu sangat sederhana. 

Pengalaman di masa Orde Lama dan Orde Baru, masa jabatan presiden begitu panjang dan kekuasaannya sangat luas dan sangat dominan. Hal ini menjadi ide awal melakukan perubahan UUD 1945. 

"Ada pemikiran kekuasaan Presiden harus dibatasi. Ketika ada pemikiran untuk membatasi kekuasaan Presiden di salah satu sisi, ada keinginan memperkuat kewenangan DPR. Pembahasan itu terjadi dengan intens," kata Saldi. 

Baca juga : Niat Sholat Tarawih Ramadhan untuk Makmum

Namun, dalam konsep bernegara, apabila menyentuh satu titik dalam desain bernegara, tidak berhenti di titik itu saja. Misalnya, ketika ingin memperkuat kewenangan DPR, DPR akan bersentuhan dan berimplikasi terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. 

Alhasil, kata Saldi, terjadi perubahan UUD 1945 yang jauh lebih komprehensif. Misalnya, salah satu isu terkait hubungan DPR dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam proses pengisian hakim agung. 

Ketika proses pengisian hakim agung diperbaiki, lalu tiba-tiba muncul isu baru, terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA), sehingga harus mempersiapkan lembaga lain dan akhirnya muncul Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Misalnya kalau mau mengutak-atik DPR, maka akan ada hubungannya dengan MPR, DPD, MK, MA dan lainnya," ucap Saldi. 

Dalam konteks itu, lanjut Saldi, salah satu isu besarnya soal pembentukan undang-undang. Dengan demikian, para pengubah konstitusi membuat desain baru yang lebih ideal terkait pembentukan undang-undang. 

Namun dalam risalah perubahan UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan pembentukan undang-undang, hampir tidak ada diskusi soal pembentukan undang-undang dalam sistem presidensial. Menurut Saldi, pengubah UUD 1945 sudah bersepakat mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. 

Baca juga : Keutamaan Membagikan Takjil dan Makanan Buka Puasa Ramadhan

 

Dia menerangkan, secara karakteristik ada perbedaan mendasar antara pembentukan undang-undang dalam sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Hal itu tidak terlepas dari relasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang legislatif. 

Dalam sistem parlementer, pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif berkelindan ada di parlemen. Sedangkan yang membentuk undang-undang adalah gabungan antara anggota parlemen dan anggota eksekutif, yang sekaligus juga anggota parlemen. 

Jadi, pembentukan undang-undang dalam sistem parlementer tidak terjadi pemisahan relasi yang ketat antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif. Dalam sistem parlementer, pemilu hanya untuk memilih anggota legislatif saja. 

Sementara, dalam sistem presidensial, posisi antara eksekutif dan legislatifnya berbeda. Ketika ada pemilu untuk memilih anggota legislatif, ada juga pemilu untuk memilih presiden, seperti sistem yang digunakan di Indonesia. 

"Ketika pemilu dibedakan untuk memilih anggota legislatif dan presiden, itu juga berpengaruh pada pembentukan undang-undang," jelas Saldi. 

Dia menuturkan, diberlakukannya kembali UUD 1945 pasca-Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, otomatis kembali pada desain fungsi legislasi yang sangat terbatas dalam UUD 1945. Ketika kembali ke UUD 1945, pembahasan terhadap undang-undang masih mencari bentuk. 

Satu-satunya dokumen yang bisa dipelajari agak detail oleh anggota DPRGR adalah dokumen proses pembentukan undang-undang yang ada di bawah UUDS 1950, yang menggunakan sistem parlementer. Saldi menyebutkan, dokumen Peraturan Tata Tertib DPR di bawah UUDS 1950 menjadi contoh pembahasan undang-undang setelah kembali ke UUD 1945. 

"Di situlah mulai muncul pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang. Kalau kita baca UUD 1945 yang dibuat oleh para pendiri negara, tidak ada sama sekali ruang untuk pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang," kata dia. 

Saldi mengingatkan agar semua pihak dapat memahami soal desain pembentukan undang-undang. Salah satunya mempelajari Putusan MK Nomor 92 Tahun 2012 yang di dalamnya memberikan penjelasan jauh lebih jelas mengenai pembentukan undang-undang. 

 
Berita Terpopuler