Sekolah Tatap Muka Jangan Digesa-gesa

Vaksinasi guru bukan satu-satunya modal kuat menggelar pembelajaran tatap muka.

Antara/Sigid Kurniawan
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di sekolah. Ilustrasi
Red: Yudha Manggala P Putra

Oleh: Yudha Manggala P Putra/Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID -- Penerapan sekolah tatap muka menjadi perdebatan yang butuh digulirkan hati-hati. Banyak yang mendukung. Tidak sedikit juga yang meragukannya. Masing-masing memiliki argumentasi bernawaitu baik. Meski, sulit ditampik, kebijakan ini masih mengandung risiko besar di dalamnya.

Sekolah tatap muka, bila melirik urgensinya, memang butuh diterapkan lagi. Terutama menyangkut kepentingan pendidikan siswa. Pengalaman setahun ini memaparkan alasannya. Sejibun permasalahan dialami anak didik selama belajar daring pada masa pandemi.

Mulai dari kendala alat dan jaringan internet pendukung, suasana sekolah daring yang menjemukan, tugas menumpuk, keterampilan sosial berkurang, gangguan kesehatan mental, hingga paling serius terdampak kekerasan dalam rumah tangga.

Guru pun, di sisi lain, punya kendala hampir sama. Problem klasik seputar ketersediaan gawai, jaringan internet kurang memadai, dan kemampuan pemenuhan kuota data masih banyak dialami. Khususnya di daerah-daerah terpencil. Namun, persoalan krusial lain yang patut disoroti adalah kemampuan tenaga pendidik beradaptasi. Sebagian masih pontang-panting menyiasati pembelajaran daring.

Tidak jarang, model pembelajaran akhirnya sekadar memindahkan buku catatan ke media online. Proses belajar-mengajar akhirnya tidak optimal. Kualitasnya bahkan ada yang seolah terjun bebas. Siswa pun tak sedikit yang diberondong dengan tugas-tugas.

Orang tua mau tidak mau ikut kebagian getah. Mereka harus membimbing anak mengerjakan peer-nya dan dituntut mampu mendampingi anak belajar dan membantu memahami materi diberikan guru. Buat yang sudah terbiasa, mungkin tidak masalah. Namun ceritanya lain buat yang belum.

Mayoritas orang tua punya tugas atau pekerjaan sendiri baik di dalam atau luar rumah yang sudah menyita sebagian waktu dan tenaga. Plus, pada masa pandemi, masing-masing terbebani upaya menjaga keselamatan diri dan keluarga dari penularan virus. Kini mereka mungkin dipaksa berkeringat lebih esktra. Menjalani peran tambahan sebagai pengganti guru sementara.

Tidak sedikit orang tua akhirnya mengaku kelelahan. Bukan sekadar fisik, juga psikis. Ia dapat menimbulkan problem serius. Bisa memicu gangguan emosi hingga kesehatan jiwa. Anak pun terancam kena imbasnya.

Atas sebagian dasar-dasar inilah pemerintah kini mendorong kembali pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas dan bertahap di seluruh wilayah Indonesia.

Wacana serupa sebenarnya sempat mencuat jelang memasuki semester genap tahun ajaran 2020/2021 pada 11 Januari 2021 lalu. Namun, seiring Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wilayah Jawa dan Bali pada 11 Januari hingga 25 Januari, diputuskan bahwa kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring.

Penyelenggaraan pembelajaran tatap muka sebelumnya tidaklah dilarang tegas. Meski tetap dengan syarat dan ketentuan khusus. Sebelum revisinya diumumkan kemarin, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, sudah membolehkan pelaksanaan pembelajaran tatap muka secara opsional alias tidak wajib. SKB versi rilisan tahun lalu itu memberikan kewenangan pada pemerintah daerah, kanwil, dan kantor Kemenag, untuk pemberian izin implementasi PTM.

Awalnya sedikit daerah yang berani mencoba membuka sekolahnya. Namun sebulan dua bulan ke belakang, ratusan sekolah di beberapa daerah, khususnya di zona hijau, sudah mulai menerapkannya. Sebagian mencoba mengawali PTM dengan simulasi atau uji coba.  

Pemerintah pun berharap sekolah tatap muka dilaksanakan lebih luas pada tahun ajaran baru Juli mendatang. Hitungan-hitungan itu muncul dengan kalkulasi target vaksinasi mayoritas guru kelar pada Juni 2021. Meski rencana itu bukan tanpa risiko juga.

Tren kasus Covid-19 di Indonesia memang mulai menunjukan penurunan konsisten setidaknya hingga per Maret ini. Namun perlu dicatat, tingkat positivity rate di Indonesia masih konsisten di atas 10 persen. Idealnya suatu daerah bisa melaksanakan PTM jika positivity rate di angka 5 persen ke bawah. Itu pun masih bisa kecolongan.

Satu hal perlu diperhatikan. Vaksinasi guru bukanlah satu-satunya modal kuat untuk menggelar PTM. Banyak hal lain juga harus diperhatikan betul. Mulai dari kesiapan infrakstruktur sekolah, pola kondisi penyebaran Covid-19 di daerah, hingga ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas layanan kesehatan sesuai protokol kesehatan di sekolah.

Sarana transportasi siswa, guru/tenaga pendidik, hingga pengaturan jam belajar, dan pengawasan ketat yang konsisten selama prosesnya pun penting diperhitungkan. Itu semua tidak mudah dipenuhi.

Sebab itu, melaksanakan sekolah tatap muka harus mengutamakan kehati-hatian. Pemerintah temasuk kementerian dan lembaga terkait, sekolah, hingga orang tua dan siswa harus memastikan PTM benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Potensi kekhilafan sekecil mungkin harus diminimalisasi.

Jangan sampai sekolah malah menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Langkah-langkah antisipasi juga harus dicermati dan dijalankan dengan komitmen ketat.

Bila dirasa memang belum siap rasanya tak usah memaksakan. Jangan sampai niat awal menghadirkan solusi, berbalik menjadi blunder. Prinsipnya kesehatan dan keselamatan peserta didik, guru, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas paling utama. Bila ragu bisa menjamin itu, sekolah tatap muka sebaiknya jangan digesa gesa.

 
Berita Terpopuler