Bagaimana Awal Mula Yasinan di Malam Nisfu Sya'ban?

Yasinan tiga kali pada malam Nisfu Sya'ban merupakan ranah ijtihadiyah.

Antara/Rahmad
Bagaimana Awal Mula Yasinan di Malam Nisfu Sya'ban?
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Malam Nisfu Sya'ban yang jatuh pada Ahad (28/3) malam, telah dilewati kaum Muslimin. Meski begitu, sebagian masyarakat Muslim masih mempersoalkan ihwal hukum melaksanakan amalan ibadah di malam tersebut. Untuk itu, bagaimana latar belakang adanya amalan ibadah di malam Nisfu Sya'ban?

Baca Juga

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Sholahudin Al-Aiyub menjelaskan, terdapat hadits yang menyebut di pertengahan bulan Sya'ban, Allah SWT melihat amalan hamba-Nya dan Allah SWT memberikan ampunan dan mengabulkan doa-doa orang yang bermunajat kepada Allah SWT.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila telah datang malam Nisfu Sya'ban, maka ber-qiyamullail-lah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya. Sesungguhnya (rahmat) Allah turun pada malam itu ke langit yang paling bawah ketika terbenamnya matahari, kemudian Allah menyeru, 'Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Siapa yang meminta rezeki, akan Aku limpahkan rizqi kepadanya. Siapa yang sakit, akan Aku sembuhkan'. Dan hal-hal yang lain sampai terbitnya fajar." (HR Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah)

Dalam hadits lain dari jalur Mua'dz bin Jabal RA, "Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT memperhatikan hamba-Nya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya'ban, kemudian Dia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang yang hatinya ada kebencian antarsesama umat Islam)." (HR Thabrani, Daruquthni, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, Al-Baihaqi, dan Al-Bazzar)

Kemudian, para ulama dahulu di wilayah nusantara, menjelaskan tentang amalan yang bisa dilakukan pada malam Nisfu Sya'ban. Para ulama kala itu kemungkinan melihat terlebih dulu amalan yang familiar atau yang biasa dilakukan di tengah masyarakat. Salah satu amalan yang familiar adalah membaca surat Yasin.

 

 

"Karena itu, kita sekarang mengenal amalan di malam Nisfu Sya'ban yang sudah biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, khususnya Nusantara, yaitu misalnya membaca Surat Yasin tiga kali," ujar Kiai Sholahudin.

Pada bacaan surat Yasin yang pertama, diniatkan supaya diberi umur panjang dan dijauhkan dari bala sehingga bisa lancar menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Kedua, diniatkan agar Allah SWT memberi rezeki yang halal dan thayyib. Ketiga, diniatkan supaya tetap terjaga iman Islamnya sehingga bisa husnul khatimah.

"Ini tertulis di Majmu' Syarif, semacam buku kecil panduan bagi umat Islam awam untuk menjalankan aktivitas keagamaan di masyarakat. Buku itu ditulis dengan huruf Arab pegon. Ini buku yang sudah lama menggambarkan kondisi keberagaman umat Islam di Nusantara," ucapnya.

Kiai Sholahudin menekankan, amalan membaca surat Yasin sebanyak tiga kali pada malam Nisfu Sya'ban merupakan ranah ijtihadiyah para ulama saat itu. Tujuannya agar masyarakat Muslim bisa melakukan amal ibadah di malam Nisfu Sya'ban.

"Jadi seperti itu. Ada dalil umum tentang fadilah (keutamaan) Malam Nisfu Sya'ban. Sedangkan amalan yang dilakukan itu adalah wilayah ijtihadiyah yang dirumuskan oleh para ulama supaya ada kebersamaan dalam melakukan aktivitas ibadah bareng-bareng," tutur dia.

 

Selain membaca Surat Yasin, amalan menunaikan sholat Muthlaq juga bisa dilakukan pada malam Nisfu Sya'ban. Namun, dia memberi catatan, sholat Muthlaq sebetulnya bisa dilakukan kapan saja dan tidak dikhususkan pada malam Nisfu Sya'ban.

"Jadi kalau niatnya sholat Nisfu Sya'ban itu nggak ada karena memang tidak ada shalat Nisfu Sya'ban. Yang ada itu soalat Sunnah Muthlaq, yang bisa dilakukan kapan saja. Tetapi, karena ada keistimewaan malam Nisfu Sya'ban, maka ketika dilakukan pada malam itu, menjadi lebih baik," ujarnya.

Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin Abdul Fatah, menyampaikan, jika ada perbedaan pendapat dalam suatu amalan ibadah, maka hal ini cenderung dikarenakan hadits yang menjadi rujukan adalah dhaif (lemah). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa amalan yang terkandung dalam hadits dhaif tetap bisa diamalkan bila dalam rangka mendorong amal baik dan kedhaifannya tidak signifikan.

Dia pun mengimbau agar masyarakat bersikap bijak, karena perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal biasa sehingga tidak perlu dipermasalahkan. "Hadits dhaif, ada yang menolaknya dalam segala hal. Tetapi ada juga yang menerima kalau untuk fadhail a'mal, mendorong amalan-amalan yang baik," ujar dia.

 
Berita Terpopuler