Sentimen Asia-Amerika Memburuk, Ini Respons Shamsi Ali 

Imam Shamsi Ali menilai sentimen Asia di Amerika Serikat wujud rasisme

Republika/Mahmud Muhyidin
Imam Shamsi Ali menilai sentimen Asia di Amerika Serikat wujud rasisme
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Meskipun Amerika Serikat kini memiliki wakil presiden dari etnis Asia, negara tersebut belum bisa disebut toleran terhadap warga Asia-Amerika. Saat ini, terdapat peningkatan mencolok dalam kekerasan anti-Asia di seluruh Amerika Serikat.  

Baca Juga

Ini adalah sebuah masalah yang sekali lagi mengguncang komunitas Asia- Amerika di sana, setelah penembakan massal yang menewaskan delapan orang di spa di daerah Atlanta. Enam di antara korban adalah wanita Asia. 

Menurut Imam Besar Islamic Center New York, Imam Shamsi Ali, karakter rasisme di Amerika Serikat memang sangat mengakar. Bahkan rasisme diakui sebagai sesuatu yang bersifat sistemik di negara ini.   

"Maka wajar saja kalau orang-orang putih yang merasa orang-orang asli Amerika Serikat merasa tidak menerima keberadaan orang-orang lain dari ras berbeda," ujar Imam Shamsi Ali kepada Republika.co.id, Sabtu (27/3). 

Menurut Imam Shamsi, tindakan rasisme yang semakin parah akhir-akhir tidak bisa diingkari utamanya dipicu retorika dan karakter rasis mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ini terutama kepada etnis Asia yang dianggap menjadi penyebab pandemi. 

Seperti yang diketahui, ketika menjabat sebagai presiden di masa pandemi, Trump kerap kali menyebut virus corona sebagai 'china virus' atau 'kung flu'. 

Trump memang mengaku tidak bermaksud menyudutkan warga Asia-Amerika, namun ini tentunya menjadi pemicu berbagai aksi anti Asia di seluruh Amerika Serikat. 

"Jadi memang tabiatnya rasis. Ditambah lagi presiden yang rasis Donald Trump," kata Imam Shamsi. 

Sentimen anti-Asia telah tumbuh secara signifikan sejak dimulainya pandemi Covid-19, dengan banyak orang di komunitas Asia- Amerika mengutip retorika Trump sebagai faktor utama. 

Stop AAPI Hate yang berbasis di San Francisco, yang melacak diskriminasi dan xenofobia terhadap orang Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik, menghitung hampir 3.800 insiden seperti itu dari Maret 2020 hingga Februari 2021, dilansir di USA Today, Sabtu (27/3). 

Baru-baru ini, hasil survei tahunan yang dilakukan Anti-Defamation League menunjukkan bahwa orang Asia-Amerika mengalami lonjakan terbesar dalam insiden kebencian dan pelecehan online yang parah. 

 

 

 

Anggota DPR Amerika Serikat dari Demokrat Grace Meng mengingat masa kecilnya, ketika dia dan sesama orang Amerika keturunan Asia lainnya diejek ketika bermain di taman di New York. 

Menurut Meng, dia dan sesama Asia-Amerika lainnya belajar untuk hanya mementingkan diri sendiri, tidak terlibat dalam urusan orang lain.   

"Tetapi yang berubah untuk generasi saya, bahkan sebelum tragedi di Atlanta, adalah bahwa orang-orang seperti saya mulai melihat orang-orang yang terlihat seperti ayah, ibu, dan kakek mereka dipukuli. Itu benar-benar mengejutkan." tuturnya. 

Di seluruh negeri, serangan semacam itu, yang merupakan bagian dari gelombang insiden anti-Asia yang meningkat selama setahun terakhir, telah mengejutkan banyak orang Asia-Amerika.   

Pembunuhan delapan orang pada 16 Maret di tiga spa Atlanta, enam di antaranya wanita Asia, telah memicu rasa aktivisme yang meningkat dari dalam komunitas Asia-Amerika dan dukungan luas dari luar. 

Momen ini tampak kaya dengan peluang. Apa yang harus dilakukan dengan solidaritas ini?

Untuk para pemimpin komunitas dan aktivis Asia-Amerika, jawabannya berkisar dari menciptakan akses surat suara yang lebih baik dan representasi politik yang lebih besar, memperluas pengajaran sejarah Asia-Amerika di sekolah-sekolah dan memperkuat partisipasi aktivis dari kelompok-kelompok yang belum tersentuh seperti pemuda dan komunitas religius yang lebih besar. 

“Sangat penting dan bermakna bahwa kami mendapat dukungan luas dari seluruh negeri,” kata Meng.   

Meng mengatakan, sebagai orang Amerika keturunan Asia yang lahir dan besar di Amerika Serikat, dia tidak pernah merasakan itu sepanjang hidup saya.  "Kita harus memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya." ujarnya. 

 

Di seluruh Amerika Serikat dan di Kanada akhir pekan ini, pawai #StopAsianHate dijadwalkan sebagai tanggapan atas sentimen semacam itu di tempat-tempat seperti Princeton, New Jersey, Buffalo, New York, Portland, Maine, dan Calgary, Alberta. 

 
Berita Terpopuler