Riset dan Observasi Muhammadiyah Mundurkan Subuh 8 Menit 

Muhammadiyah mundurkan waktu Subuh 8 menit dari waktu yang berlaku umum

ANTARA/NOVA WAHYUDI
Muhammadiyah mundurkan waktu Subuh 8 menit dari waktu yang berlaku umum. Ilustrasi pengamatan astronomi Muhammadiyah
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Muhammadiyah memundurkan 8 menit awal waktu Subuh yang selama ini berlaku. Keputusan ini disampaikan melalui Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 734/KEP/I.0/B/2021 tentang tanfidz keputusan musyawarah nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang kriteria awal waktu Subuh.

Baca Juga

Dalam keputusan itu dipaparkan tentang riset yang dilakukan Muhammadiyah sebelum mengeluarkan keputusan memundurkan awal waktu Subuh 8 menit. Riset ini didasarkan pada rekomendasi Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 pada 1-4 April 2010 tentang persoalan awal Subuh.

Karena itu pula, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar. 

Tiga itu ialah Observatorium Ilmu Falak (OIF) di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Pusat Studi Astronomi (Pastron) di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. Penelitian menggunakan serangkaian instrumen modern dan metode analisis untuk menginterpretasikan hasil penelitian. 

OIF UMSU menggunakan alat sky quality meter (SQM) untuk menguantitasi perubahan tingkat kecerahan langit (TKL). Pengambilan data dilakukan di Medan, Pantai Romantis (Kabupaten Deli Serdang), dan Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah). Lokasi penelitian di OIF berada pada daerah dengan polusi cahaya yang buruk.

Sementara itu, polusi cahaya di lokasi Pantai Romantis dan Barus lebih baik daripada di OIF. Durasi pengambilan data yaitu dari 2017 sampai 2020 atau Ramadhan 1438 H sampai Zulkaidah 1441 H. Pengambilan data dengan SQM diarahkan ke 0 derajat, 30 derajat, 45 derajat, dan 90 derajat (zenit). Hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode Moving Average.

OIF UMSU menyimpulkan bahwa polusi cahaya berpengaruh terhadap ketinggian Matahari sebagai penentu awal waktu Subuh. Selain itu, tinggi Matahari yang terendah yaitu 16,48 derajat untuk data SQM yang mengarah ke Zenit.

Pastron UAD juga menggunakan SQM yang diarahkan ke Zenit. Pengambilan data dilakukan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Polusi cahaya di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul lebih baik daripada kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

 

Penelitian dilakukan pada 2016 (Sya'ban 1437 H-Rabiul Awal 1438 H), 2017 (Rabiul Akhir 1438 H-Rabiul Akhir 1439 H), dan 2020 (Sya'ban 1441 H). Moving average juga digunakan untuk mengolah data SQM. Pastron UAD menyimpulkan nilai TKL dipengaruhi fase bulan selain adanya polusi cahaya.

Hal ini juga memengaruhi nilai tinggi matahari sebagai awal waktu Subuh. Semakin tinggi polusi cahaya maka awal waktu Subuh yang diperoleh dari pengolahan data menjadi lebih siang daripada waktu dengan menggunakan perhitungan ketinggian Matahari minus 20 derajat. Tinggi Matahari yang terendah yang berhasil diukur yaitu minus 15,75 derajat.

Sementara itu, ISRN UHAMKA selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera Drone. Pengambilan data dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia seperti di Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta, Cirebon, Gunungkidul, Labuan Bajo, Bitung, Balikpapan, dan Manokwari. Sedangkan luar negeri, dilakukan di Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Turki, dan Arab Saudi.

Pengambilan data dilakukan dari 2017-2020, tepatnya dari Jumadil Akhir 1438 H sampai Zulkaidah 1441 H. ISRN menyimpulkan dari 750 hari data Subuh atau data terbit fajar di berbagai daerah di dunia beragam. 

Yakni minus 18,4 derajat, minus 18 derajat, minus 17 derajat, minus 16 derajat, minus 15 derajat, minus 14 derajat, minus  13 derajat, minus 12 derajat, minus 11 derajat, minus 10 derajat, minus 9 derajat, minus 8 derajat, minus 7 derajat.

Selain hasil riset tiga lembaga internal tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga turut mengundang para pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, yaitu Dr Dhani Herdiwijaya dan Dr Mahasena Putra. 

Hasil kajian keduanya dapat dipahami bahwa mayoritas ketinggian matahari awal Subuh adalah minus 18 derajat. Hasil riset yang sama disampaikan oleh para peserta Munas Tarjih, seperti Sugeng Riyadi, Bahrul Ulum, dan Adi Damanhuri.

Begitu pula hasil riset yang berjudul 'Reevaluation of The Sun's Altitude for Determination Beginning of Fajr Prayer Times in Malaysia' oleh Mohd Zambri Zainuddin dkk. Riset ini menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 18 derajat.

Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu Subuh pada ketinggian matahari minus 18 derajat. Antara lain Turki, Inggris, Prancis, Nigeria, dan Malaysia. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa persoalan penentuan saat terbit fajar sebagai awal waktu Subuh merupakan persoalan ijtihad.

 

Untuk itu, melalui proses kajian yang mendalam, baik aspek syar'i maupun hasil observasi sesuai Manhaj Tarjih yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid dan juga dengan mempertimbangkan kemaslahatan, maka Munas Tarjih ke-31 pada 29 November sampai 20 Desember 2020 menetapkan ketinggian Matahari awal waktu Subuh adalah minus 18 derajat di ufuk bagian timur. 

 
Berita Terpopuler