Tantangan Peternak Lebah di Tengah Perang Saudara Yaman

Yaman merupakan salah satu penghasil madu terbaik di dunia

pixabay
Madu
Rep: Meiliza Laveda Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, SANAA – Siapa sangka, di tengah perang saudara, Yaman menyimpan segudang kekayaan alam. Salah satunya adalah madu sidr yang dihargai sebagai simbol ketekunan. Yaman merupakan salah satu penghasil madu terbaik di dunia dan sering dibandingkan dengan madu Manuka dari Selandia Baru.

Kualitas tinggi madu dihasilkan melalui lebah yang diberi makan secara eksklusif pada bunga sidr. Madu yang dihasilkan berwarna pucat dengan sisa rasa yang hampir pahit. Sayangnya, perang yang terjadi sejak 2015 lalu, mempersulit dan menutup banyak jalan bagi peternak lebah tradisional. Setiap beberapa bulan, mereka harus berpindah-pindah untuk mencari bunga bagi lebah mereka.

“Tidak masalah siapa pun yang memimpin pos pemeriksaan. Ketika mereka melihat sarang lebah di belakang truk, kami tidak perlu berhenti lama. Bahkan, Houthi takut pada lebah,” kata salah seorang peternak lebah tradisional, Said al-Aulaqi (40 tahun). Dia tengah merawat 80 sarang lebah di dekat Desa Khamer di Shabwa.

Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2020, diperkirakan 100 ribu peternak lebah hanya menghasilkan 1.580 ton madu per tahun dan 840 ton untuk diekspor. Madu sidr dapat dijual sampai harga 500 dolar Amerika per kilogram di negara-negara Teluk. Para penikmat madu berpendapat, produk madu Yaman layak mendapat tempat di pasar global.

Untuk meningkatkan stabilitas pangan dan pendapat Yaman, pemerintah telah mengidentifikasi madu sebagai sektor utama untuk ekspansi. Peternak lebah, grosir, dan eksportir di sekitar ibu kota Shabwa, Ataq mengatakan mereka ingin seluruh dunia bisa merasakan madu sibr.

Aulaqi dan ketiga karyawannya dengan antusias memamerkan sarang kayu persegi panjang. Mereka memajang deretan sisir di dalamnya. Asap dari potongan kain rami yang terbakar membuat lebah mengantuk dan menghentikan mereka menyengat.

Pria berusia 40 tahun itu telah memelihara lebah selama 10 tahun setelah mempelajari perdagangan dari pamannya. Saat perang saudara dimulai pada 2015, dia kehilangan seluruh mata pencahariannya. Milisi Houthi pindah ke Shabwa dan memblokir jalan ke Abyan, tempat lebahnya mati karena kehabisan air.

Dia membutuhkan waktu dua tahun untuk mulai semuanya kembali dengan 300 kotak lain yang dibeli seharga dua juta riyal Yaman. Kini, sarangnya tersebar di sekitar pegunungan Shabwa, gurun dan dataran pantai.

Kendati bisa menghasilkan uang dari penjualan madu, ada segelintir tantangan yang harus dihadapi oleh peternak lebah. Jika penghalang jalan atau perkelahian membuat sarang lebah tidak dapat dipindahkan ke daerah yang lebih subur, lebah akan mati. Dalam situasi perang, peternak lebah bisa menjadi pekerjaan yang berbahaya bagi manusia.


Dilansir The Guardian, Kamis (25/3), ranjau darat ditanam di seluruh wilayah dan para penjaga suka memindahkan lebah di malam hari. Terlebih, ketika para peternak bergerak pada malam hari, mereka sering dianggap mencurigakan oleh pihak yang bertikai di Yaman dan dilacak dari udara oleh pesawat tak berawak Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Terlepas dari semua bahaya dan inflasi melonjak, semakin banyak orang di Shabwa yang beralih profesi menjadi peternak lebah sebagai sumber pendapatan alternatif. Kondisi ini tidak membawa pertikaian bagi para peternak lebah senior.

Mereka dengan senang hati membagikan informasi kepada para peternak baru. Mereka khawatir jika terlalu banyak lebah di area yang sama akan menyulitkan untuk mendapatkan makanan dan air yang cukup.

Mungkin, jika pihak berwenang atau badan amal lokal turun tangan membantu menanam lebih banyak pohon sidr, akan ada cukup pekerjaan untuk semua orang. Sementara langkah lain yang dibutuhkan adalah membuat badan standar dan sistem sertifikasi keamanan pangan agar para peternak bisa mengekspor produk ke seluruh dunia.

 
Berita Terpopuler