Memaksimalkan Penyerapan Beras Petani Sebelum Impor

Kebijakan impor dirasa tak bijak di masa panen raya beras.

ANTARA/Yusuf Nugroho
Warga membersihkan gabah dari jerami saat mencari gabah sisa panen di persawahan Desa Hadipolo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (9/3/2021). Pemerintah akan melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton dengan alasan untuk menjaga stok beras nasional serta menjaga pasokan beras bansos selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sekaligus untuk antisipasi berkurangnya persediaan pasokan beras akibat banjir yang menerjang di beberapa daerah.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Antara

Rencana melakukan impor beras oleh pemerintah dianggap perlu dilakukan secara berhati-hati. Setidaknya pemerintah harus melakukan juga cara-cara untuk memaksimalkan penyerapan beras dari petani.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, mengatakan Perum Bulog perlu melakukan sejumlah langkah guna memaksimalkan penyerapan beras dari petani sebelum memutuskan untuk mengimpor beras. "Pemerintah dapat memaksimalkan penyerapan beras dari petani karena berdasarkan data BPS, terdapat peningkatan produksi di tahun 2020 kalau dibandingkan dengan 2019. Selain itu, impor juga kurang bijak kalau dilakukan di masa panen raya," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (9/3).

Menurut dia, memasuki masa panen pada Maret hingga April, produksi beras dalam negeri dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Bulog. Sementara itu, lanjutnya, izin impor yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dari masih kurangnya pasokan beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk cadangan bencana maupun krisis pangan.

"Pergerakan harga beras dari waktu-waktu seharusnya bisa dijadikan salah satu acuan dalam menentukan perlu tidaknya impor beras," ujar Felippa. Ia mengingatkan BPS mencatat bahwa produksi beras tahun 2020 mencapai 31,63 juta ton atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar sebesar 31,31 juta ton.

BPS menyebut pula bahwa angka produksi tersebut diperoleh dari luas panen padi 2020 mencapai 10,79 juta hektare atau mengalami kenaikan 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektare. Felippa menambahkan eksekusi impor beras dapat mempertimbangkan berbagai faktor, seperti ketersediaan pasokan di dalam negeri, hasil panen, dan juga harga beras internasional yang sedang murah.

Perlu dipertimbangkan pula bahwa proses impor memakan waktu yang lama, dari pembelian hingga distribusinya. "Izin impor yang sudah dikeluarkan dapat digunakan sewaktu-waktu dalam merespons permintaan dalam negeri. Antisipasi bertambahnya permintaan beras dari dalam negeri perlu dilakukan menjelang datangnya bulan Ramadan dan juga Idul Fitri," paparnya.

Selain itu, ujar dia, ketersediaan pasokan beras yang mencukupi juga merupakan bentuk antisipasi atas kemungkinan krisis pangan akibat pandemi yang dinilai telah menimbulkan kerawanan pangan bagi banyak masyarakat Indonesia. Felippa mengingatkan pentingnya data yang akurat sebagai salah satu basis pengambilan kebijakan di sektor pertanian, termasuk impor.

Data akurat dan harmonis antarsemua institusi dapat dijadikan basis pengambilan kebijakan yang efektif dalam sektor pertanian. "Diharapkan hal ini dapat membantu perumusan kebijakan impor sejak dari jauh-hari, selain juga perlu mempertimbangkan panjangnya proses impor," ucapnya.

Pemerintah berencana melakukan impor beras sekitar satu juta ton pada awal 2021 ini. Jumlah tersebut dialokasikan untuk penyediaan CBP sebanyak 500 ribu ton dan kebutuhan Perum Bulog sebanyak 500 ribu ton dengan memperhatikan serapan produksi padi nasional.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) namun menyatakan belum menerbitkan izin untuk importasi beras oleh Perum bulog. Kemendag memastikan, pemerintah akan mempertimbangkan situasi dalam negeri untuk merealisasikan kebijakan impor beras.

"Izinnya juga belum diterbitkan. Tentunya kondisi dalam negeri seperti musim panen akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan impor," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi, kepada Republika.

Didi menjelaskan, opsi impor beras juga melihat situasi pasar dunia terhadap persediaan stok dari negara-negara produsen. Menurutnya, saat ini kondisi panen beras di luar negeri masih kurang menggembirakan. Itu lantaran terjadi penurunan produksi. "Seperti di Vietnam dan Thailand," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal, mengatakan, sekalipun pemerintah sudah resmi menugaskan Bulog mengimpor beras, pihaknya akan melihat sejumlah pertimbangan di dalam negeri. Ia menegaskan, Bulog tidak dalam kapasitas untuk analisa perlu atau tidak perlu impor beras karena bertindak sebagai operator. Awaluddin mengatakan, saat ini Bulog tetap fokus pada penyerapan gabah karena sejumlah daerah sudah memasuki masa panen.

"Penyerapan gabah sudah jalan di mana-mana. Prinsipnya pengadaan dalam negeri adalah prioritas dan sekarang waktunya panen," ujarnya.

Baca Juga

 

Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, juga mengingatkan impor beras tidak boleh dilakukan ketika stok komoditas tersebut dalam keadaan cukup. Juga kebutuhan beras bisa dipenuhi ketersediaannya dari produksi dalam negeri.

Johan melalui siaran persnya, meminta pemerintah membatalkan rencana impor beras satu juta ton. Alasannya, data ketersediaan stok beras nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan beras termasuk untuk kepentingan bantuan sosial maupun cadangan beras pemerintah (CBP).

"Selain itu, berdasarkan proyeksi dari BPS bahwa produksi beras kita akan meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu naik sekitar 26,84 persen. Bahkan kenaikan produksi Januari sampai April 2021 ini telah mencapai 26,88 persen dari periode yang sama tahun lalu, yang saat ini mencapai 25,37 juta ton gabah," ujarnya.

Ia merinci prognosa ketersediaan beras tahun 2021. Stok akhir Desember 2020 lalu sebesar 6.749.305 ton, kemudian perkiraan produksi dalam negeri tahun 2021 oleh Kementerian Pertanian sebesar 8.263.879 ton.

"Maka, prognosa jumlah total ketersediaan beras nasional tahun 2021 mencapai 15.013.183 ton. Sementara, perkiraan kebutuhan beras tahun 2021 ini berkisar 7.480.042 ton, sehingga berdasarkan prognosa Kementan, stok beras kita cukup dan tidak perlu impor," paparnya.

Johan menambahkan jika pemerintah beralasan demi menjaga stok cadangan beras pemerintah, maka hal tersebut juga kurang tepat. Karena data CBP per Januari 2021 di Bulog terdapat stok beras sebesar 977.000 ton dan Februari 2021, Bulog menyerap beras dari petani lokal sebesar 35.000 ton.

Dengan demikian, lanjutnya, maka jumlah tersebut telah memenuhi standar stok CBP minimal satu juta ton. Bahkan neraca stok beras secara nasional saat ini mencapai sekitar 7,5 juta ton beras.

Pemerintah, menurut dia, sebaiknya fokus untuk memperbaiki pengelolaan stok beras pemerintah melalui skema pengadaan yang dilengkapi dengan insentif menarik, agar membuat petani atau pabrik penggilingan mau menjual gabah atau berasnya ke Bulog. "Hal ini penting dilakukan agar dapat menyerap secara penuh hasil produksi petani kita," katanya.

Apalagi, ia mengingatkan bahwa selama ini Bulog kerap mengalami kesulitan untuk melakukan pengadaan beras dari dalam negeri. Ia berpendapat, pemerintah bisa menggunakan acuan standar FAO dalam membuat kebijakan terkait stok beras nasional dan stok beras yang dikuasai pemerintah sehingga tidak gegabah untuk merencanakan impor beras.

Menurut FAO, imbuhnya, idealnya stok beras di suatu negara sekitar 17-18 persen dari total kebutuhan konsumsi beras. Sedangkan angka stok yang kita miliki sekarang sudah di atas rata-rata yang direkomendasikan oleh FAO itu.

Pemerintah berencana melakukan impor beras satu juta ton pada awal 2021. Jumlah tersebut dialokasikan untuk penyediaan CBP sebanyak 500 ribu ton dan kebutuhan Perum Bulog sebanyak 500 ribu ton dengan memperhatikan serapan produksi padi nasional.

Rencana pembukaan keran impor beras turut dipertanyakan petani. Pasalnya, sejumlah indikator perberasan dalam negeri dalam tren positif sehingga dinilai tidak diperlukan tambahan impor. Petani berharap pemerintah membatalkan rencana impor.

Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara, Suryo Wiyono, mengatakan, sesuai prediksi BPS, produksi beras tahun ini mengalami peningkatan dari tahun lalu. Di sisi lain, situasi harga gabah cukup rendah yakni berkisar Rp 3.600-Rp 4.000 per kilogram (kg). Rendahnya harga lantaran tingkat kadar air yang tinggi imbas curah hujan.

Adanya sejumlah bencana banjir di berbagai daerah, menurut Suryo, juga tidak signifikan menghambat produksi gabah petani pada musim pertama tahun ini.

"Tahun 2017 rencana impor dibuka itu kita mengerti karena produksi turun ada serangan hama wereng. Tapi saat ini tidak ada hama penyakit atau bencana alam yang masik. Jadi untuk apa impornya?" tanya Suryo.

Melihat situasi perberasan dalam negeri saat ini, Suryo mengatakan kondisi masih cukup normal sehingga produksi petani masih mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Dibukanya keran impor diyakini akan langsung mempengaruhi psikologis pasar dan menekan harga gabah hasil petani.

"Saya pikir semua petani berharap rencana impor dibatalkan. Itu sangat menyakiti hati petani yang sudah didorong pemerintah untuk terus berproduksi," kata dia.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan, alasan pemerintah mengimpor beras untuk memperkuat cadangan beras nasional sulit diterima. Pasalnya, dalam 2-3 minggu ke depan stok beras akan mencapai puncaknya.

Sementara itu, khusus cadangan beras di Bulog jika masih terdapat kekurangan, seharusnya pemerintah memberikan stimulus agar penyerapan gabah petani oleh Bulog bisa lebih leluasa. Sebab, selama ini Bulog selalu kalah bersaing untuk menyerap gabah karena ketidakmampuan dalam persaingan harga dengan para tengkulak.

"Bukan malah melakukan impor. Ini tidak bisa dibenarkan karena sampai saat ini tidak ditemukan atau diberitakan kondisi terjadinya gangguan produksi," tegasnya.

Lebih lanjut Said mengatakan, pandemi nyatanya tidak cukup memberikan pelajaran bagi pemerintah. Ketergantukan pada impor akan menyebabkan rendahnya derajat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. "Disaat negara-negara berlomba memperbaiki sistem pangan dalam negeri dengan memperkuat produksi dalam negeri. Apa pemerintah serius mewujudkan kedaulatan petani dan pangan?" katanya.  

Petani menanam padi (ilustrasi) - (republika)



 
Berita Terpopuler