Islamofobia dan Stigmatisasi Radikal kepada Muslim

Stigma radikal kepada Islam dapat merusak sistem demokrasi sosial politik.

EPA/Mast Irham
Umat Islam selalu dibayangi dengan stigma radikal. Foto: Ilustrasi Muslimah
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Sekretaris LPP PP Muhammadiyah

Belum lama ini, Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB melaporkan Din Syamsuddin kepada Komisi Aparat Sipil Negara (KASN) dengan tuduhan radikal karena dianggap melanggar disiplin, kode etik, dan kode perilaku ASN (Aparatur Sipil Negera). Laporan bernada stigmatisasi dan pembunuhan karakter ini tentu menimbulkan reaksi publik dan kegaduhan yang tidak perlu terjadi.

Azyumardi Azra misalnya menyebut laporan itu absurd, tidak berdasar, dan tidak masuk akal. Karena dengan reputasi internasionalnya, Din Syamsuddin merupakan tokoh terkemuka yang menyerukan wasathiyah (moderasi) Islam.

Sebagai Guru Besar, dia banyak berkontribusi  bukan hanya kepada UIN Jakarta, tetapi juga kepada Muhammadiyah dan negara bangsa dengan mensosialisasikan pentingnya dialog dan perdamaian untuk membangun  peradaban dunia yang lebih adil. Stigmatisasi radikal kepada ulama sekaliber Din Syamsuddin merupakan sebuah fenomena Islamofobia yang bernuansa provokasi dan adu domba umat Islam.

Tiga ormas Islam: Muhammadiyah, NU, dan MUI, merespon kasus stigmatisasi tersebut dengan menegaskan bahwa tuduhan radikal tersebut salah alamat dan menunjukkan para penuduh tidak paham Islam. Stigmatisasi itu diduga digerakkan kekuatan tertentu dengan agenda tertentu pula.

Menurut John L. Esposito, isu radikalisme agama merupakan “taman bermain” bagi intelijen, dan ini membahayakan masa depan agama. Karena itu, stigmatisasi radikal terhadap agama tertentu, khususnya Islam, dan ulamanya merupakan ancaman serius yang dapat merusak sistem demokrasi sosial politik dan kehidupan umat beragama di Indonesia.

Stigmatisasi Radikal
Istilah “radikal” kerap digunakan dengan konotasi negatif dengan muatan dan tensi politik yang lebih kental daripada makna generik dan sosiologisnya. Kata radikal (sifat) dan radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Secara bahasa, seseorang disebut radikal apabila menginginkan perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. Secara sosiologis, seorang radikal menyukai perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-metode pemerintahan (a radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws and methods of government).

Karena itu, radikalisme dapat dimaknai sebagai paham, sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, yang sama sekali berbeda. Misalnya saja mengganti dasar negara Pancasila dengan ideologi lain. Sikap, pandangan, dan aksi radikal biasanya dibarengi tindakan emosional yang menjurus kepada pemaksaan kehendak, pelanggaran konstitusi, dan aksi kekerasan.  

Radikalisme di kalangan umat beragama di manapun, termasuk di Indonesia, muncul karena adanya proses sosiologis objektif dalam masyarakat dan karena adanya berbagai kesenjangan sosial, terutama ketidakadilan sosial ekonomi. Kaum radikalis yang muncul di kalangan umat beragama manapun bisanya merasa kecewa dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan represif, banyak melakukan penyimpangan, korupsi, dan ketidakadilan dalam penegakan supremasi hukum dan kesejahteraan sosial ekonomi.

Sebagai salah satu corak keberagamaan, radikalisme dan radikalisasi di kalangan umat beragama, merupakan sebuah fenomena keberagamaan yang cenderung parsial dan reduksionis. Corak keberagamaan ini biasanya menonjolkan satu aspek tertentu dari agama yang diyakininya, dengan menafikan aspek lainnya.

Yang paling berbahaya adalah pandangan radikal di kalangan umat beragama bahwa keimanan harus dipegang teguh secara penuh dan harfiah (leterlek), tanpa mengenal kompromi, keluwesan, dan reinterpretasi atau reformasi. Sikap keagamaan demikian dapat menyebabkan pola pikir skriptualistik (tekstual) dengan pemaksaan kehendak, pengafiran (takfiri), ekstremitas, dan kekerasan, bahkan aksi terorisme.

Karena itu, stigmatisasi radikal terhadap tokoh seperti Din Syamsuddin merupakan pelecehan akademik, apalagi dilakukan oleh alumni yang mengatasnamakan ITB. Idealnya, sebelum melabeli radikal, perlu dilakukan rekonsiliasi pemikiran dan debat gagasan, bukan asal melaporkan.

Jika memang tidak setuju dengan keterlibatan Din Syamsuddin dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), GAR Alumni ITB bisa membuka forum diskusi dan debat akademik secara elegan dengan pihak yang akan dituduh radikal. Karena, boleh jadi, perspektif radikalisme yang dipahami masing-masing pihak memang berbeda persepektifnya.

Fenomena Islamofobia     
Menurut Etin Anwar (2009), dalam The Dialectics of Islamophobia and Radicalism in Indonesia, istilah Islamofobia mengacu pada asumsi, teori, praktik, dan kebijakan yang merendahkan Islam dan Muslim sebagaimana dipahami oleh para Islamis di Indonesia. Islamofobia telah dipicu khususnya oleh para ahli teori, seperti Fukuyama dan Huntington, yang meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat.

Gottschalk dan Greenberg (2008) dalam Islamophobia: Making Muslims the Enemy mendefinisikan Islamofobia sebagai “kecemasan sosial” terhadap Islam dan budaya Muslim yang sebagian besar tidak teruji secara empirik. Islamofobia membayangkan Islam sebagai ancaman inti politik, budaya, dan agama, termasuk prinsip-prinsip politik kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, aturan hukum, dan kepemilikan pribadi.

Islamofobia tidak hanya menjangkiti sebagian masyarakat Barat, tetapi juga sebagian warga bangsa yang merasa “tidak nyaman” dengan eksistensi Islam sebagai agama mayoritas. Islam dipandang sebagai kekuatan yang “mengancam” kepentingan mereka. Karena itu, Islam dipersepsikan, bahkan dituduh, sebagai agama radikal, musuh demokrasi, antiperdamaian, prokekerasan, terorisme, dan sebagainya.

Fakta sosial menunjukkan Islamofobia di Barat diekspresikan, misalnya, dengan  membakar Alquran, membuat kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, intimidasi, diskriminasi terhadap komunitas Muslim, larangan menggunakan simbol-simbol Islam, dan sebagainya. Sedangkan fenomena Islamofobia di Indonesia mulai terbaca dengan sejumlah narasi tendensius dan pembentukan opini bernada anti-Islam dan kriminalisasi ulama, terutama melalui media sosial.   
Fenomena Islamofobia di Indonesia juga mengemuka melalui ujaran penistaan keji dan menjijikkan. Misalnya saja,  Islam dianggap sebagai agama arogan, agama pendatang dari Arab dan antikearifan lokal. Pandangan Islamofobia yang sarat provokasi, kebencian, dan adu domba ini tidak hanya mengusik kedamaian umat Islam dan ukhuwah kebangsaan, tetapi juga sangat potensial memicu kegaduhan dan disintegrasi NKRI.

Kasus stigmatisasi radikal terhadap Din Syamsuddin boleh jadi merupakan test of the water, dengan target dan agenda berikutnya adalah mendegradasi marwah Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), bagi para aktivis Islamofobia, tampaknya dimanfaatkan sebagai pemantik target berikutnya: tokoh Muhammadiyah. Karena itu, umat Islam harus mewaspadai narasi-narasi dan aksi-aksi Islamofobia yang sangat destruktif dan kontraproduktif.

Fenomena Islamofobia di Indonesia tampaknya melihat bahwa jangkar dan fondasi kokoh NKRI adalah organisasi-organisasi sosial keagamaan, khususnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, MUI, dan Persatuan Islam. Apabila salah satu dari organisasi tersebut berhasil diprovokasi dan diadudomba, niscaya kekuatan Islam di Indonesia akan menjadi rapuh, bahkan lumpuh. Karenanya mudah dibaca, Islamofobia di Indonesia patut diduga berkonspirasi dengan kekuatan asing dan kekuatan taktersentuh (invisible hand) untuk kepentingan politik tertentu dalam rangka memuluskan agenda busuknya.

Islamofobia dan Islamis radikal di Indonesia tentu diharapkan tidak akan mendapatkan momentum. Karena mayoritas umat Islam Indonesia sudah merasa nyaman dengan Islam moderat dan moderasi beragama, seperti yang dipromosikan oleh Muhammadiyah dan  Nahdlatul Ulama.

Namun, Islamofobia harus diwaspadai dan dihadapi dengan meneguhkan persatuan umat Islam, pemahaman holistik integratif, luas, dan luwes terhadap Islam. Termasuk aktualisasi nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Stigmatisasi radikal dan Islamofobia tidak akan mendapat momentumnya, jika para ulama, pemimpin, tokoh bangsa, dan umat Islam bersatu padu dan bersinergi dalam meneguhkan relasi agama dan negara (NKRI) dalam bingkai nilai-nilai Islam, Pancasila, dan nasionalisme. Karena Islam tidak pernah menjadi musuh bagi siapapun. Sejak masuk Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan, kehadiran Islam di bumi Nusantara bukan untuk ditakuti dan menjadi ancaman bagi siapapun. Islam dan umatnya selalu menjadi bagian integral sekaligus perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  

Karena itu, model dakwah dan pendidikan Islam yang menggembirakan, mencerdaskan, dan mencerahkan masa depan umat Islam perlu dikembangkan secara efektif dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Fenomena Islamofobia akan terdegradasi apabila nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin didakwahkan dan diaktualisasikan umat Islam dalam amalan dan perilaku nyata, sehingga menjadi umat Islam menjadi umat teladan terbaik (khaira ummah) bagi bangsa dan dunia.

 
Berita Terpopuler