AS Tutup Sejumlah Akses Bisnis Militer Myanmar

Sanksi diberlakukan menyusul sikap keras militer Myanmar terhadap demonstran.

AP
Pengunjuk rasa anti-kudeta melepaskan alat pemadam kebakaran untuk melawan dampak gas air mata yang ditembakkan oleh polisi selama demonstrasi di Yangon, Myanmar, Kamis, 4 Maret 2021. Para pengunjuk rasa di Myanmar yang memprotes kudeta militer bulan lalu kembali ke jalan-jalan pada hari Kamis, tidak gentar oleh pembunuhan sedikitnya 38 orang pada hari sebelumnya oleh pasukan keamanan.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) mengungkapkan langkah baru untuk menghukum militer Myanmar atas kudeta 1 Februari lalu. AS memblokir sejumlah perdagangan Kementerian Pertahanan, Dalam Negeri dan perusahaan militer Myanmar.

Washington juga melarang Myanmar mengekspor barang-barang yang digunakan untuk militer atau disebut military end use. Sehingga mereka harus mendapatkan lisensi yang sulit diperoleh untuk mengirim komoditas tertentu ke AS.

Langkah ini diambil saat militer Myanmar mengintensifkan penindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai yang memprotes kudeta dan penahanan Kanselir Negara Aung San Suu Kyi serta politisi lainnya. Di sejumlah kota polisi membubarkan massa dengan gas air mata dan tembakan peluru tajam.

PBB mengatakan sejak awal kudeta setidaknya sudah 54 orang tewas. Lebih dari 1.700 orang ditangkap termasuk 29 orang jurnalis.

Bulan lalu Presiden AS Joe Biden menjatuhkan sanksi ke orang-orang yang menggulingkan pemerintahan yang sah. Termasuk menteri pertahanan dan tiga perusahaan yang bergerak di bidang permata dan batu berharga.

Baca Juga

Departemen Perdagangan AS mengatakan sanksi yang terbaru akan menghalangi militer Myanmar mendapat keuntungan dari akses ke banyak barang. Mereka juga sedang meninjau untuk mengambil langkah selanjutnya. "Pemerintah AS akan terus meminta pertanggung jawaban pelaku kudeta atas tindakan mereka," kata Kementerian Perdagangan AS dalam pernyataannya, Jumat (5/3).

Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holdings Limited yang digunakan militer mengendalikan sebagian besar perekonomian Myanmar masuk dalam daftar entitas yang disanksi AS. Holding dan anak perusahaan dua grup tersebut yang bergerak di berbagai bidang mulai dari bir, rokok, telekomunikasi, ban, tambang hingga real estate.  

Pada Selasa (2/3) lalu organisasi advokasi hak asasi manusia Justice for Myanmar mengatakan Kementerian Dalam Negeri yang mengawasi polisi membeli teknologi dari perusahaan AS. Teknologi itu digunakan untuk mengawasi masyarakat di media sosial.

Juru bicara Justice for Myanmar Yadanar Maung memuji sanksi AS yang terbaru ini. Tapi ia berharap Washington berbuat lebih banyak dan mengambil langkah serupa terhadap Kementerian Transportasi dan Komunikasi. "Militer dan pasukan keamanan menggunakan (dua kementerian itu) untuk mendapatkan teknologi yang digunakan untuk mengawasi dan menindas," katanya.

"Langkah yang komprehensif dan terarah, termasuk embargo senjata global, penting untuk mencegah penjualan senjata dan teknologi yang digunakan militer untuk menegaskan kekuasaan brutal mereka," tambah Maung.

 
Berita Terpopuler