Larangan Investasi Miras dan Kekuatan Ormas Islam Arus Utama

Kekuatan dua kutub ormas Islam NU-Muhammadiyah di balik larangan investasi miras

Republika/Thoudy Badai
Kekuatan dua kutub ormas Islam NU-Muhammadiyah di balik larangan investasi miras. Ilustrasi Miras
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mashar, Lc MA 

Baca Juga

NU dan Muhammadiyah kompak menolak beberapa poin dalam lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras. 

Seperti biasanya, penolakan dari kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini disampaikan dengan cara yang elegan, tanpa caci maki apalagi politisasi. Argumennya jelas, cara menyampaikannya berkelas, dan (biasanya) menyelesaikan masalah dengan tuntas. Terbukti, kini presiden Joko Widodo mencabut beberapa poin dalam lampiran tersebut.

Fungsi dan kekuatan “politis” kedua ormas Islam ini saya anggap sebagai perwujudan nyata dari imunitas kultural yang seringkali berhasil menangkal mudharat dan kerusakan yang mengancam bangsa. Baik mudharat itu berupa efek buruk dari kehkilafan penguasa dalam membuat kebijakan, maupun gempuran ideologi dan infiltrasi nilai-nilai dari luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. 

Cara yang elegan dalam menyampaikan pendapat, baik itu penolakan ataupun dukungan terhadap kebijakan pemerintah, merupakan ciri kedewasaan dan kematangan seseorang atau sebuah kelompok.  Jika penolakan NU dan Muhammadiyah terhadap Perpres Investasi Miras diartikan sebagai sebuah ikhtiar nahi munkar, maka cara yang ditempuhnya bisa dikatakan sudah sangat tepat. 

Dalam kitab Al-Amr bi al-Ma’ruf Wa Al-Nahy ‘An Al-Munkar, Imam Ahmad bin Hanbal mengutip perkataan bijak para ulama yang mengatakan bahwa “Orang yang engkau sakiti, atau engkau lukai perasaannya, tidak akan mengikuti (nasihat)mu.” Jika orang biasa saja bisa marah dan menjauh dari kita ketika kita sakiti perasaannya, apalagi seorang penguasa atau pejabat yang memiliki kedudukan.

Baca juga : Gus Miftah Ungkap 'Miras' yang Halal Dikonsumsi

Nah, jika “nasihat” yang kita sampaikan itu ternyata justru menjauhkan manusia dari ajakan kebaikan kita karena disampaikan dengan cara yang menyakiti perasaan, maka kandaslah tujuan mulia dakwah dan ajakan kebaikan tersebut. 

NU dan Muhammadiyah dengan basis keagamaan dan keilmuannya serta komitmen kebangsaannya, terbukti menjadi kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar dengan cara yang tepat, beretika, dan sesuai dengan ajaran agama. NU dan Muhammadiyah memberikan nasihat yang baik dan bersedia mengikuti sistem yang berlaku. NU dan Muhammadiyah tidak memiliki agenda politik mengganti sistem bernegara Republik Indonesia. 

Setiap orang yang gemar memberi “nasihat” kepada penguasa perlu bertanya pada diri sendiri, apakah cara yang dilakukannya sudah tepat sesuai dengan kaidah moral dan agama? Benarkah yang dilakukan itu memiliki tujuan baik, atau hanya kendaraan untuk mencari popularitas politik? 

Pemerintah-penguasa yang hendak membuat kebijakan, juga sebaiknya tidak segan melakukan konsultasi dengan berbagai pihak jika kebijakan yang hendak dibuat berpotensi mendapatkan penolakan karena dianggap melukai perasaan dan keyakinan kelompok masyarakat tertentu. 

Tentu pemerintah memiliki pertimbangannya ketika membuat suatu kebijakan. Perbaikan ekonomi, di antaranya melalui usaha menggalakkan investasi merupakan hal penting yang harus dilakukan pemerintah. Tapi tentu saja selalu ada pilihan-pilihan di sana.

Sudah menjadi tugas pemerintah yang mengemban mandat dari rakyat untuk mencarikan pilihan dan solusi yang dianggap paling baik, paling aman, dan tidak menyakiti perasaan serta mengusik keyakinan kelompok masyarakat tertentu, baik mayoritas maupun minoritas. 

Negara ini dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha-Esa. Hal-hal yang secara vulgar bertentangan dengan prinsip ketuhanan dan agama, perlu dihindari dalam membuat kebijakan. 

Indonesia adalah negara-bangsa. Konsep negara-bangsa memiliki ciri perpaduan antara entitas politik kenegaraan dengan entitas kultural kebangsaan. Ia harus mampu memadukan dan menggabungkan antara “political entity of a state” ke dalam “cultural entity of a nation.” Perpaduan ini harus selalu dijadikan landasan dan pijakan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama yakni; kemaslahatan rakyat (well-being of society). 

Ajaran agama memang bersifat divine, sementara kebudayaan merupakan hasil kreativitas manusia. Tetapi “keberagamaan” dan praktik serta ekspresi manusia dalam menjalankan keayakinan agamanya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan.

Hal-hal yang berkenaan dengan miras, narkoba, perjudian dan pelacuran, merupakan  penampakan paling nyata dari “Anti Kebudayaan” manusia Indonesia. Orang boleh berdebat tentang definisi kebudayaan, tapi semua akan sepakat bahwa kebudayaan sebagai survival kit, sebagai alat penunjang kehidupan, adalah kreasi yang baik dan bermanfaat untuk digunakan sebagai alat memperbaiki kualitas hidup masyarakat.  

 

Perjudian, pelacuran, penggunaan narkoba, dan konsumsi serta produksi miras tidak akan pernah naik pangkat menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha-Esa. Meskipun barangkali ia menjadi tradisi suatu kelompok masyarakat tertentu. 

Ekonomi dan kemakmuran rakyat tidak akan pernah bisa dipisahkan dari stabilitas dan ketentraman-keamanan. Pembangunan dan usaha-usaha mensejahterakan rakyat akan sulit dicapai jika negara berada dalam keadaan yang tidak stabil dan tidak aman.

Maka kebijakan ekonomi juga tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan-pertimbangan lain yang berkaitan dengan stabilitas dan keamanan. Agama dan kebudayaan tidak bisa ditinggalkan dalam usaha menciptakan stabilitas dan kemanan serta mewujudkan kemakmuran. 

Ekstrimisme dan radikalisme agama yang seringkali menjelma menjadi terorisme memang lebih erat berhubungan dengan ideologi. Tetapi ibarat benih, ideologi apapun membutuhkan lahan yang subur untuk tumbuh berkembang. Kebijakan-kebijakan yang secara vulgar mengusik keyakinan agama bisa menjadi pemicu munculnya narasi-narasi kebencian terhadap negara dan pemerintah. Kebencian terhadap pemerintah, selain hal-hal lainnya, bisa menjadi lahan subur pertumbuhan dan berkembangnya ekstrimisme-radikalisme. 

Selain merebut kekuasaan, kelompok radikal dan Islam-politik memiliki misi amr ma’ruf dan nahi munkar, meskipun mereka tidak tahu bagaimana cara menjalankannya. Pemerintah merupakan pihak yang paling berhak dan berkewajiban mencegah kemunkaran.

Melalui sistem perundang-undangan dan peraturan serta penegakannya, Nahi Munkar bisa dilakukan dengan sangat efektif oleh pemerintah, termasuk di antaranya mencegah maraknya perjudian, prostitusi, penggunaan narkoba dan produksi serta konsumsi miras.  

Jangan memberi alasan ormas-ormas liar dan kelompok radikal menjalankan nahi munkar dengan cara yang salah. Jangan biarkan ekstrimisme-radikalisme tumbuh subur di negeri ini. Jangan memberikan mereka alasan untuk hidup. Jangan beri mereka motivasi untuk menghasut, membenci, dan mencaci. Jangan memberi lahan kaum Khawarij untuk tumbuh dan berkembang di negeri ini. 

Jangan pula membenci NU dan Muhammadiyah karena tidak setuju dengan Perpres Investasi Miras. Sebagaimana Kementerian Kesehatan menggalakkan vaksinasi agar rakyat negeri ini memiliki kekebalan terhadap virus Covid-19,  NU dan Muhammadiyah sedang menjalankan fungsi imunitas kultural agar rakyat negeri ini selamat dari kerusakan dan keburukan yang ditimbulkan oleh produksi-konsumsi miras. 

Kini beberapa poin dalam lampiran Perpres Investasi yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras telah dicabut. Kita wajib bersyukur dan mengapresiasi keputusan presiden yang bersedia mendengarkan masukan rakyat. Adapun investasi dan produksi miras yang sudah berjalan sekian lama, bisa dibahas di lain waktu. 

“NU dan Muhammadiyah, sering-seringlah ngopi bareng. Banyak masalah rumit di negeri ini yang akan mudah diselesaikan jika NU dan Muhammadiyah sering ngopi bareng, terutama yang berkaitan dengan komitmen kebangsaan dan masalah moral.” Wallahu A’lam.

*Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor.   

 
Berita Terpopuler