Polisi Myanmar Kembali Tembaki Demonstran

ASEAN tengah menggelar pertemuan dengan pemerintah militer Myanmar

EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Seorang demonstran memegang perisai darurat di samping penghalang jalan selama protes menentang kudeta militer, di Yangon, Myanmar, 02 Maret 2021. Menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan akan mengadakan pertemuan khusus tentang politik Myanmar. krisis pada 02 Maret, di tengah meningkatnya ketegangan di negara itu antara pengunjuk rasa anti-kudeta dan pasukan keamanan.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Saksi mata mengatakan polisi Myanmar kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Sementara, menteri-menteri luar negeri Asia Tenggara (ASEAN) sedang menggelar pertemuan dengan pemerintah militer untuk mencegah kekerasan dan mencari jalan mengakhiri krisis.

Baca Juga

Pertemuan itu digelar dua hari setelah unjuk rasa paling mematikan sejak militer menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi bulan lalu, kudeta yang memicu kemarahan dan unjuk rasa massal di seluruh Myanmar.

Banyak pengunjuk rasa yang mengenakan helm dan membawa perisai darurat di depan barikade polisi di berbagai sudut Kota Yangon. Mereka meneriakkan slogan-slogan protes dan menentang pemerintahan militer.

"Bila kami ditindas, maka akan ada ledakan, bila kami dipukul kami akan memukul balik," kata para demonstran sebelum polisi menembakan granat kejut ke arah massa yang berkumpul di empat titik Kota Yangon, Selasa (2/3).  

Belum ada laporan korban luka atau jiwa di Yangon. Tapi aktivis demokrasi dan wartawan melaporkan beberapa orang terluka terluka saat polisi melepaskan tembakan peluru tajam untuk membubarkan pengunjuk rasa di Kota Kale.

"Beberapa orang terluka, dua orang dalam kondisi kritis," kata aktivis War War Pyone.

Rumah sakit dan polisi di sekitar lokasi kejadian tidak dapat dimintai komentar. Juru bicara militer Myanmar juga tidak menjawab panggilan telepon. Sejak gelombang unjuk rasa digelar sudah 21 orang warga sipil dan satu orang polisi meninggal dunia.

Kudeta 1 Februari lalu menutup masa transisi Myanmar menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun dikuasai militer. Pengambil alihan kekuasaan secara paksa itu dikecam Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. Negara-negara ASEAN juga kian khawatir dengan perkembangan situasi di Myanmar.

 

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan para menteri luar negeri ASEAN akan menggelar pertemuan via video Selasa (2/3). Ia mengatakan asosiasi negara-negara Asia Tenggara akan memberitahu perwakilan militer Myanmar, kawasan meminta junta berhenti menggunakan kekerasan pada pengunjuk rasa.

Dalam wawancara yang disiarkan Senin (1/3) malam waktu setempat, Balakrishnan mengatakan ASEAN mendorong junta militer untuk melakukan dialog dengan Suu Kyi. "Mereka harus berbicara dan kami harus membantu untuk menjembatani mereka," katanya.

ASEAN terdiri atas Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Militer Myanmar menggelar kudeta setelah mengklaim pemilu yang dimenangkan partai Suu Kyi pada bulan November tahun lalu diwarnai kecurangan. 

 
Berita Terpopuler