Ketidakadilan Membayangi Paspor Vaksinasi

Paspor vaksinasi akan meningkatkan kesenjangan karena belum semua mendapatkan vaksin.

Rep: Fuji E Permana Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Cahaya ungu menyinari panggung klub saat 300 orang bermasker dan menjaga jarak memberikan tepuk tangan meriah. Untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19 dimulai, musisi Israel Aviv Geffen melangkah ke piano elektriknya dan mulai bermain untuk penonton yang duduk tepat di depannya.

"Sebuah keajaiban terjadi di sini malam ini," kata Geffen kepada orang banyak, dilansir dari laman AP News, Jumat (26/2).

Namun, pengalaman menghidupkan kembali malam Senin di atas pusat perbelanjaan di utara Tel Aviv tidak dapat diakses oleh semua orang. Hanya orang yang menunjukkan 'paspor hijau' yang membuktikan bahwa mereka telah divaksinasi atau telah pulih dari Covid-19 yang bisa masuk.

Konser yang sangat terkontrol ini menawarkan sekilas masa depan yang dirindukan banyak orang setelah berbulan-bulan terjadi pembatasan akibat Covid-19. Pemerintah mengatakan, mendapatkan vaksinasi dan memiliki dokumentasi yang tepat akan memperlancar perjalanan, hiburan, dan pertemuan sosial lainnya di dunia pasca pandemi Covid-19.

Namun, hal itu meningkatkan prospek untuk membagi dunia lebih jauh dalam hal kekayaan dan akses vaksin. Serta, menciptakan masalah etika dan logistik yang mengkhawatirkan para pembuat keputusan di seluruh dunia.

Pemerintah lain sedang menyaksikan Israel melakukan program vaksinasi tercepat di dunia dan bergulat dengan etika menggunakan suntikan sebagai mata uang dan kekuasaan diplomatik. Di dalam Israel, paspor hijau atau lencana yang diperoleh melalui aplikasi adalah koin dunia. 

Negara ini baru-baru ini mencapai kesepakatan dengan Yunani dan Siprus untuk saling mengakui lencana hijau, dan diharapkan ada lebih banyak kesepakatan yang meningkatkan pariwisata. Menteri Kesehatan Israel, Yuli Edelstein mengatakan, siapapun yang tidak mau atau tidak bisa mendapatkan suntikan untuk memberikan kekebalan tubuh akan tertinggal.

"Ini benar-benar satu-satunya cara maju saat ini," kata Geffen dalam wawancara dengan The Associated Press.

Pemeriksaan di pintu klub, yang hanya mengakui mereka yang bisa membuktikan bahwa mereka telah divaksinasi penuh, setidaknya menunjukkan kenormalan. “Orang tidak bisa menjalani hidup di dunia baru tanpa mereka, kita harus divaksin. Kita harus," ujar Geffen.

Vaksin tidak tersedia untuk semua orang di dunia, baik karena persediaan maupun biaya. Dan beberapa orang tidak menginginkannya, karena alasan agama atau lainnya. 

Di Israel, negara berpenduduk 9,3 juta orang, hanya sekitar setengah dari populasi orang dewasa yang telah menerima dua dosis vaksin yang dibutuhkan.

Ada tekanan baru dari pemerintah untuk mendorong vaksinasi. Anggota parlemen Israel pada Rabu mengesahkan undang-undang yang memungkinkan Kementerian Kesehatan untuk mengungkapkan informasi tentang orang-orang yang belum divaksinasi. 

 

Berdasarkan kebijakan tersebut, nama dapat dirilis ke kementerian pendidikan, tenaga kerja, urusan sosial dan layanan sosial, serta pemerintah daerah. Dengan tujuan memungkinkan badan-badan ini untuk mendorong orang mendapatkan vaksinasi.

Pemerintah menarik kerinduan emosional untuk ditemani orang lain di pasar luar ruangan (mall), di konser seperti Geffen dan di tempat lain.

"Dengan Green Pass, pintu terbuka untuk Anda, Anda bisa pergi ke restoran, berolahraga di gym, melihat pertunjukan,” kata pengumuman pada 21 Februari, hari di mana sebagian besar perekonomian dibuka kembali setelah enam pekan tutup.

Kemudian muncul pertanyaan di tengah pencarian global untuk menaklukkan pandemi Covid-19 yang telah membuat ekonomi tertatih-tatih dan menewaskan hampir 2,5 juta orang. "Bagaimana cara mendapatkan izin? Pergi dan dapatkan vaksinasi sekarang,"

Sesederhana itu di Israel, yang memiliki cukup vaksin untuk menyuntik semua orang yang berusia di atas 16 tahun. Meskipun pemerintah telah dikritik karena hanya berbagi vaksin dalam jumlah kecil dengan warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan pekan ini bahwa dia bermaksud mengirim kelebihan vaksin ke beberapa sekutu negara itu. Jaksa Agung Israel mengatakan pada Kamis malam bahwa rencana tersebut telah dibekukan sementara, dia meninjau legalitasnya.

 

 

Sebagian besar negara tidak memiliki cukup vaksin

“Prinsip inti hak asasi manusia adalah kesetaraan dan non-diskriminasi,” kata Lawrence Gostin seorang profesor Universitas Georgetown dan Direktur Pusat Kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia tentang Hukum Kesehatan Nasional dan Global.

"Ada krisis moral yang sangat besar dalam ekuitas secara global karena di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Israel atau Amerika Serikat atau negara-negara UE (Uni Eropa), kita kemungkinan besar akan mendapatkan kekebalan pada akhir tahun ini,” katanya. 

"Tetapi di banyak negara berpenghasilan rendah, kebanyakan orang tidak akan divaksinasi selama bertahun-tahun. Apakah kami benar-benar ingin memprioritaskan orang yang sudah memiliki begitu banyak hak istimewa?” ujarnya.

Ini adalah pertanyaan yang menghantui komunitas internasional ketika negara-negara kaya mulai mendapatkan daya tarik melawan virus corona dan beberapa variannya.

April lalu, inisiatif yang dikenal sebagai COVAX dibentuk oleh WHO, dengan tujuan awal memberikan vaksin ke negara-negara miskin pada waktu yang hampir bersamaan dengan peluncuran vaksin di negara-negara kaya. Itu telah meleset dari target, dan 80 persen dari 210 juta dosis yang diberikan untuk seluruh dunia baru diberikan di 10 negara. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pekan ini.

Ghana pada Rabu menjadi negara pertama dari 92 negara yang mendapatkan vaksin secara gratis melalui inisiatif tersebut. COVAX mengumumkan sekitar 600 ribu dosis vaksin AstraZeneca tiba di negara Afrika itu. Itu adalah sebagian kecil dari dua miliar suntikan yang ingin diberikan WHO tahun ini.

Ketika negara-negara tersebut memulai vaksinasi, negara-negara yang lebih kaya mulai membicarakan tentang logistik, keamanan, privasi, dan kebijakan paspor hijau.

Pemerintah Inggris mengatakan sedang mempelajari kemungkinan mengeluarkan semacam sertifikasi status Covid yang dapat digunakan oleh pemberi kerja dan penyelenggara acara besar saat bersiap untuk melonggarkan pembatasan dan penguncian tahun ini. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah. 

“Kami tidak bisa mendiskriminasi orang, yang untuk alasan apapun tidak bisa mendapatkan vaksin,” katanya.

Banyak negara di seluruh Eropa yang berusaha keras untuk mengembangkan sistem sertifikasi vaksin mereka sendiri untuk membantu menghidupkan kembali perjalanan musim panas. Tapi menimbulkan risiko bahwa sistem yang berbeda tidak akan berfungsi dengan baik di seluruh perbatasan benua.

“Saya pikir ada potensi besar untuk tidak bekerjasama dengan baik,” kata Andrew Bud, CEO perusahaan biometrik wajah iProov, yang sedang menguji teknologi paspor vaksinasi digitalnya di dalam Layanan Kesehatan Nasional Inggris.

 

Tetapi simpul teknis di sekitar paspor vaksin mungkin yang lebih mudah dipecahkan, katanya. Tantangan yang lebih besar pada prinsipnya etika, sosial, politik dan hukum. Bagaimana menyeimbangkan hak-hak dasar warga negara dengan manfaat bagi masyarakat.

 
Berita Terpopuler