Polisi Myanmar Ambil Tindakan Kekerasan Hadapi Demonstrasi

Kekerasan pecah di jalan-jalan pusat komersial Yangon

AP/STR
Pengunjuk rasa anti-kudeta membawa bendera partai Liga Nasional dan Nasional untuk Demokrasi selama unjuk rasa di Yangon, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021.
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Polisi Myanmar melancarkan tindakan keras di distrik Yangon, Kamis (25/2) malam waktu setempat. Kekerasan polisi terjadi setelah mereka membubarkan protes untuk menentang pejabat lokal yang ditunjuk militer.

Baca Juga

Kekerasan Kamis malam pecah (25/2) di jalan-jalan pusat komersial Yangon setelah beberapa dari sekitar 1.000 loyalis militer menyerang pendukung dan media pro-demokrasi. Beberapa orang dipukuli oleh sekelompok pri yang beberapa diketahui bersenjata pisau. Sementara yang lainnya menembakkan ketapel dan melemparkan batu. Video dari saksi mata menunjukkan setidaknya dua orang ditikam.

Saksi mata mengatakan, dalam insiden terpisah, polisi anti-huru hara menembakkan gas air mata ke lingkungan Tamwe di Yangon untuk membubarkan kerumunan yang memprotes penggantian pejabat lokal oleh militer. Penduduk kemudian mengatakan mereka mendengar tembakan berulang-ulang dan bahwa polisi tetap berada di beberapa bagian distrik sampai sekitar pukul 02.00 pada hari Jumat.

"Kami benar-benar ketakutan," kata salah seorang warga yang meminta namanya tidak disebutkan dikutip laman Channel News Asia, Jumat (26/2).

Pendukung Aung San Suu Kyi mengunggah di media sosial bahwa mereka bermaksud mengadakan protes lagi di Tamwe pada Jumat pagi (26/2). Facebook mengatakan bahwa karena kekerasan mematikan sejak kudeta itu telah melarang militer Myanmar menggunakan platform Facebook dan Instagram.

 

Panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pihak berwenang menggunakan kekuatan minimal. Namun demikian, setidaknya tiga pengunjuk rasa dan satu polisi tewas dalam kekerasan.

Myanmar berada dalam krisis sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partainya setelah militer menuding pemilu November palsu.

Aksi unjuk rasa dan pemogokan harian oleh para pendukung pro-demokrasi telah terjadi selama sekitar tiga pekan. Aksi massa seringkali menarik ratusan ribu orang di seluruh negara yang beragam yang membentang dari negara tersebut.

 
Berita Terpopuler