Berbekal Sebelum Menyesal

Berbekal dengan maksimal agar nanti tidak menyesal

amal (ilustrasi)
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani*

Baca Juga

“(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan. Itulah Yaum At-Taghabun (hari dinampakkan kesalahan-kesalahan). Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” (Qs. at-Taghabun/ 64: 9- 10)

Betapa dialogis dan romantis jika mengamati redaksi Qs. at-Taghabun/ 64: 9-10 di atas. Meski diawali dengan sebuah peringatan tentang hari pengumpulan, namun Allah tidak mendeskripsikan betapa menyeramkannya neraka beserta penghuninya.

Sebaliknya, Allah memberikan nasihat dan peringatan, sekaligus gambaran yang begitu indah sempurna perihal surga. Jika kita teliti secara seksama, ada satu lafadz yang mewakili satu surah dan uniknya, kata ini hanya terdapat satu kali yang sekaligus menjadi nama surah ini. Ia adalah at-Taghabun.

Kata at-Taghabun terambil dari kata ghubn yang berarti menjual sesuatu dengan harga yang  kurang dari harga sebenarnya. Berarti, hari  itu ialah hari yang tampak segala kekurangan-kekurangan manusia. Ada juga yang memahami kata ini dengan kerugian.

Rugi karena penjual terpaksa menjual barang dagangannya dengan harga yang kurang dari semestinya dan ini berarti kerugian sang penjual. Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, Yaum at-Taghabun ialah hari kerugian.

 

Patron kata at-Taghabun (senada dengan wazan at-Tafa’ul) menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling melakukan pekerjaan yang sama secara bersama-sama. Mayoritas ulama, memahami ayat di atas sebagai ilustrasi keadaan seseorang yang melakukan transaksi jual beli.

Jika transaksi jual beli pada umumnya melibatkan antara dua orang, di yaum at-Taghabun nanti berbeda; transaksi yang terjadi kelak bukan satu orang dengan pihak lain melainkan seseorang dengan dirinya sendiri.

Proses transaksi manusia dengan dirinya sendiri kelak di hari kiamat nanti sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW “Tidak seorang pun yang masuk surga kecuali ditunjukkan tempatnya di neraka—seandainya dia durhaka—agar bertambah rasa syukurnya. Tiada seorangpun seseorang yang masuk neraka kecuali ditunjukkan tempatnya di surga—seandainya dia taat—agar bertambah penyesalannya. (HR. Bukhari).

Selain penggambaran transaksi manusia dengan dirinya sendiri seperti apa yang diuraikan pada hadits di atas, ada pula beberapa ulama yang memahami patron kata at-Taghabun tersebut bukan menunjuk adanya dua pihak atau lebih yang melakukan aktivitas yang sama, tetapi patron tersebut menggambarkan banyak dan besarnya kerugian pada hari itu. Dengan demikian, yaum at-Taghabun diartikan hari yang sungguh besar dan banyak kerugian ketika itu, seakan-akan telah terjadi transaksi dari banyak pihak, yang kesemuanya merugikan.

 

 

Pandangan berikutnya mengenai Yaum at-Taghabun menurut pakar bahasa Arab, Raghib al-Asfahani memahami kata ghubn dalam arti mengurangi hak pihak lain dalam interaksi dengannya dalam bentuk tersembunyi. Ini berarti ada pihak yang dirugikan oleh pihak lain dan ada juga pihak yang merugikan.

Syaikh Ath-Thabathaba’i juga memberikan pandangannya, Yaum at-Taghabun menurutnya ialah hari tampak segala sesuatu berbeda dengan apa yang pernah terlintas dalam benak. Misalnya tergambar dalam surah as-Sajdah/ 32: 17, “Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari yang menyedapkan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan,” begitu juga surah Qaf/ 50: 35 dan Az-Zumar/ 39: 47.

Pendapat ini, menurut Thabathaba’i, mencakup mu’min dan kafir. Yang mukmin tidak beramal lebih dari apa yang telah dilakukannya (padahal dia bisa meningkatkan amalnya) kemudian ia sangat menyesal. Sedang yang kafir, tidak memiliki alasan sama sekali karena waktu yang diberikan selama di dunia habis sia-sia. Demikianlah, keduanya menyesal dan merugi karena keduanya tidak memberi penilaian yang benar terhadap kehidupan ukhrawi dan baru mengetahui hakikatnya ketika itu.

Pengetahuan komprehensif tentang makna-makna hari akhir dalam Al-Qur’an mengantarkan kita pada pemahaman utuh bahwa setiap nama-nama tersebut mewakili keadaan seluruh manusia kelak. Melalui pemahaman ini juga, secara sadar, semoga meningkat amal dan rasa syukur untuk terus beribadah. So, selagi masih ada umur dan sehat lahir batin, mari berbekal! Berbekal dengan maksimal agar nanti tidak menyesal: untuk apa ni’mat sehat yang Allah berikan jika bukan untuk memperbaiki dan menambah amal? Wallahu a’lam..

*Penulis, dosen, 

 
Berita Terpopuler