Disertasi: Pemerintah Wajib Berangkatkan Jamaah Gagal Umroh

Studi disertasi rekomendasikan pemerintah wajib berangkatkan jamaah gagal umroh

Amr Nabil/AP
Studi disertasi rekomendasikan pemerintah wajib berangkatkan jamaah gagal umroh. Ilustrasi umroh
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Demi konstitusi, pemerintah harus memberangkatkan jamaah yang gagal berangkat umroh.

Baca Juga

Hal ini disampaikan pengacara TM Luthfi Yazid dalam disertasinya berjudul 'Tanggungjawab Konstitusional Negara Dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara' yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat Universitas Mataram pada Sabtu (20/2).

Luthfi menerangkan, dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 jelas disebutkan, 'negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Pasal 28 E menyebutkan, 'setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya'.

Dia menjelaskan, konstitusi adalah sebuah perjanjian luhur atau nobel agreement antara rakyat dengan negara. "Rakyat memberikan kuasa kepada negara agar hak-haknya dilindungi, inilah yang disebut dengan mandat konstitusi," kata Luthfi melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Ahad (21/2). 

Menurutnya, ketika ada hak warga negara di dalam konstitusi, maka di sana ada kewajiban konstitusional negara. Ini kedudukannya simentris. Hak keagaamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945 merupakan sebuah hak paling mendasar dari warga negara. Hal ini karena sebagai hak fundamental atau non-derogable rights maka tidak dapat dikesampingkan sama sekali.  

Salah satu hak keagamaan bagi umat Islam, menurut Luthfi adalah menjalankan haji dan umroh. Indonesia baru memiliki UU Haji dan Umroh  zaman Presiden BJ Habibie. Jadi BJ Habibie sangat berjasa dalam memikirkan pelaksanaan haji dan umroh  dengan diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji dan Umroh. Sebelum itu yang digunakan adalah aturan kolonial yaitu Staatblad Nomor 689 Tahun 1922.  

Luthfi menjelaskan, sekarang negara tidak memproteksi hak-hak jamaah umroh  yang gagal berangkat yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Seperti 63.310 orang calon jamaah umroh  PT First Anugerah Karya Wisata atau PT First Travel (FT) yang gagal berangkat. Kemudian ada 86.720 orang calon jamaah umroh PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) yang gagal berangkat. 

"Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali," ujar peraih gelar Doktor dalam bidang hukum dengan predikat cum laude ini.   

Satgas Waspada Investasi gagal... 

Satgas Waspada Investasi gagal 

Dia mengatakan, pemerintah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI), terdiri dari banyak lembaga negara dan kementeriaan. Di antaranya Kemenag, Kemendagri, Polri, OJK, Kemendag, Kemenkominfo, Kementerian Koperasi, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek, dan PPATK. Tapi SWI sangat lemah dan tidak memiliki legal seat yang kuat.  

"SWI gagal memberikan solusi terhadap kegagalan masif jamaah umroh . Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternative solusi, namun semuanya tidak terjadi," kata Luthfi. 

Dia menyampaikan, dalam kasus First Travel misalnya, dalam putusan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini yakni Mahkamah Agung (MA), aset yang berasal dari uang jamaah justu disita dan diambil negara. Padahal asset tersebut bukan hasil dari uang korupsi. 

Dia menegaskan, berdasarkan Pasal 117 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umroh  disebutkan bahwa uang jamaah tidak boleh diambil siapapun, termasuk negara. "Tapi (uang) dari kantong para jamaah yang kebanyakan profesinya pedagang, satpam, penjual sayur, pensiunan, buruh dan sejenisnya (diambil negara). Di mana keadilan," ujarnya . 

Luthfi mengatakan, dalam kasus kegagalan masif jamaah First Travel, negara tidak hadir meskipun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Fachrul Rozi memerintahkan agar semua jamaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan atau uangnya dikembalikan. Lukman mengeluargan KMA Nomor 589 Tahun 2017 sedangkan Fachrul menyampaikan janjinya untuk memberangkatkan jamaah secara bertahap dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI.  

"Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat yang diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stres dan meninggal tanpa kejelasan," jelasnya. 

Dia mengungkapkan, padahal para jamaah umroh  yang gagal berangkat itu ingin menapakkan kakinya dan hadir di Baitullah, Makah. Mereka ingin ke Rumah Tuhan meski hanya sekali dalam hidupnya.   

Luthfi mengatakan, negara tidak adil..

 

Luthfi mengatakan, negara tidak adil dan diskriminatif. Dalam kasus yang lain sesama perseroan terbatas (PT), negara justeru pasang badan dan menalangi perusahaan yang bermasalah serta menggantinya kepada korban yang mengalami kerugian. Sebutlah misalnya dalam kasus PT Lapindo dengan kerugian hampir Rp 1 Triliun.  

Kemudian PT Bank Century dengan kerugian Rp 6,76 Triliun atau PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp 22 Triliun. Dalam kasus-kasus itu negara hadir dengan ceria dan ringan tangan. "Mengapa dalam kasus First Travel maupun Abu Tours negara alpa," kata Luthfi.

Rekomendasi 

Hasil penelitian atau disertasi Luthfi tersebut merekomendasikan negara dengan organnya yang disebut pemerintah punya peluang dan kesempatan untuk memberangkatkan jamaah yang gagal berangkat umroh . Untuk itu negara dapat menggunakan dasar 86 UU Haji dan Umroh. 

Berdasarkan pasal tersebut presiden mengeluarkan penetapan presiden atau keputusan presiden untuk menetapkan bahwa kegagalan umroh  masif yang mencapai ratusan ribu jamaah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jamaah yang gagal berangkat umroh .  

Selain itu, Luthfi merekomendasikan agar dilakukan review (regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umroh. "Jika ada yang inkoheren dengan mandate konstitusi maka mesti direvisi, diamandemen atau dicabut," katanya. 

Anjuran agar dilakukan digitalisasi penyelenggaraan umroh  juga menjadi saran dalam disertasi tersebut. Dengan digitalisasi biaya umroh  dapat ditekan murah, jamaah dapat menentukan sendiri kapan akan  berangkat umroh  dan kapan akan kembali ke tanah air. Juga dapat menentukan akan transit, misalnya di Istanbul, Kairo atau Dubai, sambil istirahat. Semuanya dapat diatur dan dilaksanakan secara digital. 

 

Dia menerangkan, perbandingan dengan negara lain juga dilakukan dalam studi ini. Yakni perbandingan dengan Malaysia, Singapore, Jepang, Korea Selatan dan Hongkong. Kalau negara memilih untuk tidak memberangkatkan jamaah umroh  yang gagal berangkat, berarti negara memilih untuk melakukan tindakan inkonstitusional.  

 
Berita Terpopuler