UNS Lakukan Riset Terapi Plasmapheresis untuk Pasien Covid-1

Terapi plasmapheresis untuk pasien Covid-19 dengan gejala berat dan kritis.

Republika/Binti Sholikah
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Rep: Binti Sholikah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo melakukan penelitian menggunakan alat plasmapheresis sebagai terapi untuk pasien Covid-19 gejala berat dan kritis. Implementasi terhadap pasien Covid-19 masih dalam tahap riset dimana keberhasilannya diklaim hampir sama dengan terapi plasma konvalesen. Bedanya, terapi plasmapheresis tidak membutuhkan donor.

Dekan Fakultas Kedokteran UNS, Reviono, menjelaskan, plasmapheresis merupakan terapi ekstra korporal. Artinya, di luar tubuh dimana plasma yang berisi zat-zat berbahaya akibat infeksi Covid-19 dikeluarkan dari tubuh pasien. 

Dengan dikeluarkan dari pasien, maka diharapkan zat-zat itu berkurang atau hilang.  "Terapi ini untuk pasien Covid-19 dengan gejala berat dan kritis," kata Reviono kepada wartawan di Rumah Sakit (RS) UNS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (19/2).

Dia menjelaskan, cara kerja terapi plasmapheresis, pasien bergejala berat atau kritis dikeluarkan plasma darahnya dengan alat plasmapheresis. Plasma yang kotor tersebut dibersihkan. 

Kemudian volume plasma yang dikeluarkan itu diganti dengan albumin atau protein yang mengandung zat untuk membuat kekebalan tubuh. Lalu dikembalikan ke tubuh pasien. "Kalau ini tidak tergantung pada donor. Prosesnya sekitar empat jam," imbuh Reviono.

 

 

Menurutnya, para peneliti dari UNS telah melakukan riset terhadap metode tersebut selama sembilan bulan sejak Juli 2020. Anggaran penelitian berasal dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).

Terapi diberikan kepada pasien yang mendapatkan rekomendasi dari dokter penanggung jawab. Namun, pasien telah diberi tahun bahwa terapi tersebut untuk kepentingan riset. Bahkan, pasien juga diminta menandatangani dokumen persetujuan.

"Tingkat keberhasilan untuk kasus dengan gejala berat itu sekitar 70 persen. Kalau pasien yang kritis agak turun. Sama dengan plasma konvalesen angkanya juga segitu," ungkap Guru Besar dalam bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi tersebut.

Sementara Direktur RS UNS Hartono mengatakan, setelah riset tersebut selesai, maka tim peneliti akan melakukan publikasi atau melaporkan hasil riset. Selanjutnya, meminta rekomendasi melalui Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) agar dipertimbangkan masuk dalam protokol penanganan Covid-19.

"Baru setelah itu secara resmi kami implementasikan. Sekarang kami implementasikan, tapi berbasis riset. Kalau pasien butuh betul ya kami fasilitasi. Meskipun butuh biaya dan cukup tinggi karena tidak dicover BPJS Kesehatan maupun atau Kemenkes," terang Hartono.

Hartono menyebut, biaya terapi plasmapheresis mencapai Rp 25 juta. Hal yang membuat mahal yakni albumin dan pasien kit.

 

"Kalau pasien sedang itu bisa diobati terapi biasa. Ini tujuannya untuk mengurangi angka kematian. Di RS UNS saat ini melayani terapi plasma konvalesen dan plasmapheresis," ucap Hartono.

 
Berita Terpopuler