Meski Bukan Mayoritas, Mengapa Islam Kental di Nigeria?

Islam di Nigeria sangat kental meski populasi Muslim bukan mayoritas

The Nation
Islam di Nigeria sangat kental meski populasi Muslim bukan mayoritas. Ilustrasi Muslim Nigeria.
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA— Islam memang bukan agama mayoritas di Nigeria. Jumlah Muslim di negara yang berada di Benua Afrika tersebut, kurang lebih 50 persen. 

Baca Juga

Meski demikian, Nigeria adalah salah satu negara Muslim yang menerapkan akulturasi agama dalam budaya sehari-hari, seperti mengenakan jubah (gamis), hijab, burqa, dan simbol agama lain yang tidak umum untuk negara-negara di belahan dunia lain dengan agama berbeda. 

Di Eropa, hanya warga sekolah atau lembaga Islam yang menunjukkan perbedaan budaya dalam bentuk pakaian atau simbol keagamaan. Meski begitu, mereka harus tetap mematuhi hukum dan peraturan yang mencakup lembaga dan sistem pendidikan. 

“Singkatnya, meski di Inggris atau Jerman memiliki sekolah  pendidikan Islam tetapi para siswanya masih melakukan ujian yang sama dan belajar dari silabus yang sama seperti semua sekolah lain untuk mendapatkan standar pendidikan yang diakui negara, yang merupakan persyaratan untuk memasuki universitas dan perguruan tinggi,” jelas Dr Cole, OFR, mantan Duta Besar Nigeria untuk Brasil yang dikutip di The Guardian, Senin (15/2).

Namun di Nigeria, hampir seluruh aspek kehidupan berkaitan dengan Islam, mulai dari penunjukkan kader politik, hingga hal remeh lain. Cole menduga, cengkeraman kultus Islam pada politik Nigeria berawal dari teori konspirasi yang bahkan dimulai jauh sebelum kemunculan Usman Dan Fodio, seorang ulama dan pendiri negera Islam di Nigeria Utara yang lebih dikenal sebagai Kekhalifahan Sokoto.   

Cole menyebut orang-orang utara tersebut dituduh mengimpor jutaan Muslim Fulani dari Burkina Faso ke Nigeria, bersenjata lengkap untuk mendukung Utara: ada ledakan teori konspirasi yang dimulai jauh sebelum Usman Dan Fodio dan jihadnya, yang berpuncak pada saat para konspitorialis bersikeras, di pengkhianatan Inggris dalam penggabungan Nigeria Utara dan Selatan pada 1914 di bawah Lord Lugard sehingga elemen dan program Islam dapat terus berlanjut.

“Setiap masalah yang sekarang muncul di Nigeria dilihat dari sudut pandang Islam, dimana agama telah memasuki politik, konstitusi, dan lembaga politik Nigeria,” sambungnya.

Dia menggambarkan Arab, orang maupun budayanya sebagai suatu kekuatan dominan, dimana saat negara lain masih rentan serangan dan harus terus berjuang mempertahankan wilayah atau sekedar bertahan di tengah kesengsaraan, mereka justru dapat hidup makmur. Orang Arab dalam bahasa fonetik, menggambarkan diri mereka sebagai 'Tikus dengan Gigi Besi'. 

“Hewan pengerat dengan gigi besi dengan simbol ‘Arab’ yang melekat padanya, awalnya digambarkan sebagai tentara bayaran, kemudian sebagai perantara kekuasaan, bermetamorfosis menjadi perebut kekuasaan. Bahkan kemudian orang-orang Arab terus menunjukkan "pergerakan dinamis" yang melekat pada mereka, sebuah ciri utama yang bahkan terus dimainkan hingga hari ini. Jika bagi manusia umum, hidup adalah sebuah perjalanan, maka bagi orang Arab, hidup adalah jalannya,” jelas Cole.

Mobilitas selalu menjadi topik tersendiri dalam sejarah Arab dan dinubuatkan seperti itu. Sindrom mobilitas ini memanifestasikan dirinya sejak 1950-an dan 1960-an di Zeitgeist yang sekarang dikenal sebagai Arab Spring. Selain memiliki kecakapan mobilitas tinggi, orang Arab juga diberkasi dengan bahasa yang memiliki makna dalam dan sulit dikuasai. Bahasa inilah yang mempersatukan suku mereka, membentuk solidaritas, dan mempercepat penyebaran Islam.

“Legitimasi Arab tertanam dalam bahasa mereka, terutama dalam kendali mereka, bukan pada institusi tetapi retorika bahasa mereka. Jadi pada saat Alquran keluar, itu bukan hanya Kitab Suci Islam, itu juga teks pendiri Arab seperti yang kita kenal dengan semua bobot historis Pentateuch, Magna Carta, dan Deklarasi Kemerdekaan, semua bergulir menjadi satu,” ujar Cole.

Sumber: guardian

 
Berita Terpopuler