Sanksi Penolak Vaksin Disusun Lewat Perda 

Masyarakat diharapkan mau divaksin tanpa perlu ada paksaan.

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Pemerintah mengeluarkan jurus baru agar program vaksinasi Covid-19 berjalan lancar. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2021 tentang Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 yang diteken Presiden Jokowi pada 9 Februari lalu, pemerintah membuka ruang penetepan sanksi administratif bagi masyarakat menolak divaksin.
Rep: Sapto Andika Candra Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengeluarkan jurus baru agar program vaksinasi Covid-19 berjalan lancar. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 yang diteken Presiden Jokowi pada 9 Februari lalu, pemerintah membuka ruang penetepan sanksi administratif bagi masyarakat menolak divaksin.

Baca Juga

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan aturan baru mengenai pengenaan sanksi dibuat untuk memastikan 181,5 juta penduduk Indonesia menjalani vaksinasi. Angka peserta vaksinasi Covid-19 ini perlu dicapai sebagai syarat mutlak terbentuknya kekebalan kelompok atau herd immunity terhadap penularan Covid-19. 

"Penerapan sanksi dilakukan di level pelaksana, dalam hal ini pemerintah daerah melalui perda (peraturan daerah)," ujar Nadia kepada Republika.co.id, Senin (15/2). 

Lampu hijau yang diberikan pemerintah pusat kepada pemda untuk menyusun sanksi administrasi bagi penolak vaksin Covid-19 juga mengantisipasi upaya kelompok tertentu untuk memasifkan gerakan antivaksin. Pemerintah, ujar Nadia, memang perlu menyiapkan langkah tegas agar program vaksinasi Covid-19 berhasil memunculkan herd immunity. Harapannya, pandemi bisa benar-benar hilang dari Tanah Air. 

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, penegakan hukum bagi masyarakat penolak vaksin sebenarnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak. Maksudnya, jika ada kejadian yang membuat pendekatan persuasif tak bisa diandalkan lagi seperti masifnya gerakan antivaksin di sebuah daerah. 

"Jika pendekatan persuasif tak bisa diandalkan berpotensi memperlambat kesuksesan pencapaian herd immunity. Di masa pandemi ini, segala sesuatu berjalan dinamis sehingga setiap momennya berharga demi keselamatan bersama," ujar Wiku. 

 

Ia juga berharap, masyarakat dengan sendirinya muncul kesadaran mendapat vaksin Covid-19 tanpa perlu ada paksaan. Namun dari sisi pemerintah, Wiku menilai, memang perlu ada upaya persuasif sekaligus promosi yang masif agar program vaksinasi Covid-19 diikuti seluruh masyarakat yang memenuhi kriteria. 

"Sanksi administratif ini otoritas setiap daerah. Namun kami berharap, tanpa adanya sanksi pun masyarakat mampu secara sukarela ikut vaksinasi sebagai partisipasi membentuk herd immunity," ujar Wiku.

Seperti diketahui, poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A Perpres nomor 14 tahun 2021. Dalam ayat 4 disebutkan, sanksi bisa diberikan berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, serta penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintaha. Opsi sanksi ketiga, diberikan dalam bentuk denda. 

Lantas pada ayat 5 juga dijelaskan bahwa pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Kendati begitu, baik Kemkes dan Satgas Penanganan Covid-19 menggarisbawahi bahwa penerapan sanksi lebih lanjut akan diatur lewat perda. 

 

Tak hanya itu, dijelaskan pula melalui Pasal 13B bahwa setiap warga yang memenuhi kriteria namun tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan Covid-19, bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang (UU) tentang wabah penyakit menular.

 
Berita Terpopuler