Beli Barang, Apakah Islam Bolehkan Mengambil Cashback?

Ada pandangan yang berbeda terkait cashback.

ANTARA/Makna Zaezar
Beli Barang, Apakah Islam Bolehkan Mengambil Cashback? Penjual melayani calon pembeli di salah satu gerai produk ponsel.
Rep: Rossi Handayani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara cara pedagang untuk melariskan barang dagangannya, yaitu dengan memberikan hadiah bagi pembeli. Terkadang hadiahnya dalam bentuk barang dan terkadang dalam bentuk uang tunai.

Baca Juga

Namun, bolehkah pembeli mengambil keuntungan dari cashback? Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, sebagai contoh iklan cashback yakni, "Beli rumah satu miliar dengan cara angsuran sekian per bulan, Anda mendapat hadiah uang tunai Rp 100 juta."

Bagaimana syariat Islam menanggapi transaksi seperti ini? Khalid Al Mushlih dalam tesisnya yang diajukan ke fakultas Syariah, Universitas Islam Muhammad bin Saud, Riyadh, Kerajaan Arab Saudi dengan judul Al Hawafiz At Tijariyyah At Taswiqiyyah (Daya Tarik dalam Marketing) mengharamkan transaksi ini dan mengategorikannya riba. 

Karena sesungguhnya yang terjadi dalam ilustrasi di atas adalah menukar rumah ditambah uang tunai Rp 100 juta dengan uang Rp 1 miliar. Maka, menukar Rp 100 juta dengan Rp 1 miliar merupakan riba fadhl, yaitu menukar mata uang yang sama dengan nominal yang berbeda.

Dan terkadang Rp 100 juta diterima tunai dan Rp 1 miliar dibayar dengan cara cicilan, maka yang terjadi juga riba nasi'ah, karena menukar uang disyaratkan serah terima fisiknya tunai. Dengan demikian terjadilah riba. 

 

Akan tetapi, pendapat yang terkuat dalam kasus ini, wallahu a'lam bahwa cashback dibolehkan. Karena kasus ini dapat ditakhrij dengan permasalahan yang dijelaskan dahulu oleh para ahli fiqih dikenal dengan "Mud ajwah wa dirham bi dirham" (satu mud kurma ajwa ditambah satu dirham ditukar dengan dua dirham). 

Dan yang terkuat dalam kasus "Mud ajwah wa dirham bi dirham" (satu mud kurma ajwa ditambah satu dirham ditukar dengan dua dirham) bahwa ini boleh. Pendapat ini merupakan mazhab Maliki dan didukung oleh Ibnu Taimiyah. 

Dalil pendapat ini bahwa ini adalah jual beli dan hukum asal jual beli boleh berdasarkan firman Allah, 

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

"Allah telah menghalalkan jual beli," (Al-Baqarah ayat 275). 

 

Hakikat jual rumah ditambahkan uang tunai Rp 100 juta  yang ditukar dengan uang Rp 1 miliar adalah, uang tunai 100 juta yang merupakan hadiah ditukar dengan uang tunai Rp 100 juta yang merupakan sebagian dari harga dan rumah ditukar dengan uang tunai Rp 900 juta. Ini adalah jual beli yang terpenuhi syarat beserta rukunnya, maka hukumnya boleh. 

Selain itu, juga dalil dari pendapat ini bahwa lbnu Umar radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang menjual budak dan budak tersebut memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan (bahwa harta budak menjadi miliknya)," (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dalam hadis di atas Nabi SAW tidak memerintahkan untuk memisahkan antara budak dengan hartanya, padahal kemungkinan harta bawaan budak tersebut berbentuk emas atau perak, yang ketika ditukar dengan harga uang emas dan perak haruslah mengikuti kaidah sharfagar tidak terjadi riba ba'i. 

 

Ketiadaan perintah Nabi SAW untuk memisahkan antara budak dengan harta bawaannya dikarenakan status harta hanyalah sebagai pengikut, sedangkan tujuan objek jual-beli adalah budak. Oleh karena itu, menjual rumah yang merupakan tujuan dari akad ditambah dengan uang tunai ditukar dengan uang tunai hukumnya boleh karena hadiah uang tunai hanyalah sebagai pengikut dalam akad jual beli rumah dan bukan tujuan. Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler