MUI Ingatkan Rezim Myanmar Soal Nasib Muslim Rohingya

MUI berharap tidak ada kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

Republika/Edwin Dwi Putranto
MUI Ingatkan Rezim Myanmar Soal Nasib Muslim Rohingya. Sejumlah anak muslim Rohingya membaca alquran di masjid kampung Char Pauk, Sittwe, Myanmar, Sabtu (2/6).
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempersilakan urusan politik di dalam negeri Myanmar diselesaikan dengan baik dan benar. MUI juga memperingatkan rezim yang berkuasa di Myanmar tidak lagi melakukan kejahatan kemanusiaan atau kekerasan terhadap minoritas Muslim. 

Baca Juga

Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Prof Sudarnoto mengatakan, yang menjadi kepedulian bersama adalah nasib minoritas, seperti etnis Rohingya. Maka, jangan sampai kudeta dan junta militer kembali memberlakukan tindakan kekerasan terhadap minoritas Muslim.

"MUI menyerukan persoalan politik (Myanmar) diselesaikan dengan baik, tetapi hak-hak minoritas Muslim jangan ditindas karena faktor apa pun, (penindasan terhadap minoritas ini) menjadi kejahatan kemanusiaan, jangan terulang peristiwa kemarin itu," kata Prof Sudarnoto kepada Republika.co.id, Selasa (2/2).

Ia menjelaskan, tokoh pergerakan Aung San Suu Kyi sudah ditangkap. Sebelumnya, wajahnya sempat tercoreng karena pada masa kepemimpinannya tidak sesuai harapan.

Aung San Suu Kyi terbukti tidak bisa melindungi Muslim minoritas. Untuk itu, MUI pernah menyeru untuk mencabut hadiah nobel yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi.

Prof Sudarnoto mengatakan, pascakudeta, dibentuk pemerintahan baru Myanmar. MUI mengingatkan agar jangan sampai pemerintahan baru ini lebih tidak manusiawi dari yang sebelumnya.

 

 

MUI juga mengajak kekuatan civil society dan pembela hak asasi manusia (HAM) di dunia bersama-sama mengingatkan rezim di Myanmar. Agar mereka tidak melakukan tindakan kekerasan atau kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas atau pihak yang berbeda pendapat.

"Baiknya memang kekuatan civil society, para ulama atau ormas-ormas atau gerakan-gerakan pembela hak asasi manusia mengingatkan dan menjaga jangan sampai pemerintah Myanmar yang baru ini melakukan tindakan kekerasan, khususnya terhadap Muslim, dan terhadap siapa saja yang berbeda pandangan," ujarnya. 

Prof Sudarnoto mengatakan, pihak yang berbeda pendapat harus dihargai, dan hak-hak beragama juga harus dihargai. Jangan sampai ada penghapusan etnis atas nama perbedaan pendapat.

Sebelumnya, militer Myanmar atau sering disebut Tatmadaw mengumumkan pengembalian pemerintahan militer dari pemerintahan Aung San Suu Kyi dan secara resmi mengakhiri transisi demokrasi di Myanmar. Militer mencopot 24 menteri dan deputi.

 

Melansir laman Channel News Asia, Selasa (2/2), militer juga menunjuk 11 pengganti dalam pemerintahan barunya setelah merebut kekuasaan dalam kudeta pada Senin (1/2). Pengumuman tersebut disiarkan melalui TV milik militer Myanmar, Myawaddy TV.

 
Berita Terpopuler